MAKNA ALIF-LAM-RAA & ALIRAN SUFISME ISLAM
Apakah makna 'Alif Laam Raa' &
Apakah Sufi Islam merupakan
Aliran yang Benar?
oleh MA Khan
Seorang Muslim pembaca website kami, yang menyatakan dirinya “sebentar lagi bakal jadi Murtadin,” mengirim beberapa pertanyaan kepada kami sebagai berikut.
---------------------------
Wahai Editor,
"Alif, Laam, Raa'. Ini ialah Kitab (Al-Quran) Kami turunkan ia kepadamu (wahai Muhammad), supaya engkau mengeluarkan umat manusia seluruhnya dari gelap-gulita kufur kepada cahaya iman dengan izin Tuhan mereka ke jalan Auwloh Yang Maha Kuasa lagi Maha Terpuji." [Qur'an 14:1]
Aku benar-benar ketagihan dengan website-mu sebab tampaknya kau bisa menjawab semua pertanyaan keraguan akan Islam yang kualami sepanjang 29 tahun hidupku. Akan tetapi, aku ingin kau melihat ayat-ayat Qur’an (misalnya tentang Alif Laam Raa) karena tampaknya kata-kata itu berhubungan dengan kode rumus matematika. Apakah memang benar begitu atau ini cuma kata-kata tanpa makna? Aku tertarik mengetahui apa pendapatmu tentang ini.
Mungkin inilah pertanyaanku terakhir akan Islam.
Salam hangat,
AS.
Note: Aku juga ingin tahu apakah kau menghargai aliran Sufisme. Saat ini aku punya pembimbing rohani golongan Muslim Ortodoks. Aku percaya adanya sisi rohani yang mendekatkan kita pada Illahi, tapi aku tidak percaya ayat-ayat keras Qur’an. Dapatkah aku memeluk Sufisme meskipun aliran ini merupakan bagian dari Islam?
---------------------------
---------------------------
Jawab Editor www.islam-watch.org:
Wahai AS,
Terima kasih atas kiriman suratmu. Pernyataan suratmu membangkitkan moral kami dan menambah bensin untuk membakar usaha perjuangan kami selanjutnya. Aku akan jawab pertanyaanmu tentang ‘Alif Laam Raa’ dan Sufisme.
Ajaran agama Sufi, yang berbeda dari Islam, dibentuk berdasarkan sebagian dari ayat-ayat Qur’an seperti Alif Laam Raa. Tiada seorangpun yang bisa menjawab makna kata-kata itu sampai sekarang. Golongan Sufi dari jaman awal Islam menggunakan ayat-ayat tak bermakna seperti itu dan menyatakan ada “makna terselubung” di balik ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, mereka lalu memperluas “makna terselubung” terhadap semua ayat-ayat lainnya – termasuk ayat-ayat yang dengan jelas memerintahkan pembunuhan terhadap kafir dalam keadaan-keadaan yang jelas ditetapkan. Bahkan beberapa penganut Sufi menyatakan semua ayat-ayat Qur’an mengandung enam makna yang berbeda. Mari telaah kebodohan ini: Mereka sendiri tidak bisa mengartikan satu makna dari kata-kata ‘Alif Laam Raa’ – bagaimana mungkin mereka tahu lima makna yang lainnya? Pendapat mereka jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa Auwloh berulangkali menyatakan di selusin ayat bahwa pesan-pesan dalam Qur’an itu jelas dan ditulis dalam bahasa yang sederhana sehinga semua orang dapat memahaminya dengan mudah – termasuk orang-orang di jaman Muhammad yang sudah jelas jauh lebih bodoh daripada orang-orang jaman sekarang.
Kaum Sufi kagum dengan kehidupan sederhana dan tidak mementingkan diri sendiri dari para agamawan Budha dan Kristen yang terdapat di sekitar daerah Arabia saat itu. Mereka berusaha menciptakan hal yang serupa dan beberapa agamawan Sufi awal bahkan terus-menerus mengunjungi monastri-monastri (tempat para agamawan belajar) Budha dan Kristen, terutama Kristen. Untuk bisa menjalani hidup monastrik gaya Kristen, mereka harus meninggalkan perintah Jihad dan perintah-perintah lain dalam Qur’an yang dikhotbahkan dan dipraktekkan Muhammad yang diwajibkan bagi setiap Muslim. Karena hal itu, penganut Sufisme mengarang sendiri teori mereka bahwa setiap ayat Qur’an mengandung enam makna yang bahkan mereka sendiri tidak tahu semuanya. Aku belum pernah melihat satupun ayat yang mengandung enam makna seperti yang mereka katakan, bahkan tidak pula tiga makna.
‘Alif Laam Raa’ dan kata-kata serupa lainnya dalam Qur’an memang tidak ada artinya. Sama dengan lagu favorit Hindi-ku yang berawal dengan kata-kata ‘La la laaa…’ Apakah arti ‘La la laaa…’ selain untuk menciptakan melodi kata di awal lagu? Muhammad sangat membenci penyair karena merekalah orang-orang yang berani menyindirnya dengan cerdas, tapi dia sendiri sedapat mungkin mencoba membuat ayat Qur’an tampak bagaikan syair. Itulah sebabnya mengapa ayat-ayat Qur’an tampak seperti komposisi syair meskipun kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. ‘Alif Laam Raa’ dan kata-kata sejenisnya seringkali dimasukkan di awal Sura untuk menciptakan kata-kata puitis yang memukau pembacanya. Kita harus mengerti bahwa di jaman Muhammad, masyarakat Arab senang sekali akan syair, dan memang inilah satu-satunya prestasi yang dihasilkan budaya Arab saat itu. Syair mereka hanya kalah satu tingkat dengan syair budaya Yunani saat itu. Muhammad mencoba sekuat tenaga untuk memanfaatkan kesukaan masyarakat Arab akan syair. Jika penyair lain menghasilkan syair yang lebih baik, terutama yang menyindir wahyu Muhammad, dia jadi marah dan mengutuki mereka.
Kuharap jawabanku menjelaskan keraguanmu tentang ‘Alif Laam Raa.’ Tentang hal kau ingin mengikuti aliran Sufisme, aku kira itu terserah dirimu saja. Kami anggota utama dari www.islam-watch.org adalah orang-orang sekuler dan humanis. Kami tidak percaya akan penggolongan-penggolongan umat manusia dalam sekte-sekte, kelompok-kelompok, sekat-sekat ras apapun. Kami percaya bahwa kita semua adalah umat manusia dengan gen yang 100% sama.
Terima kasih atas kiriman suratmu. Pernyataan suratmu membangkitkan moral kami dan menambah bensin untuk membakar usaha perjuangan kami selanjutnya. Aku akan jawab pertanyaanmu tentang ‘Alif Laam Raa’ dan Sufisme.
Ajaran agama Sufi, yang berbeda dari Islam, dibentuk berdasarkan sebagian dari ayat-ayat Qur’an seperti Alif Laam Raa. Tiada seorangpun yang bisa menjawab makna kata-kata itu sampai sekarang. Golongan Sufi dari jaman awal Islam menggunakan ayat-ayat tak bermakna seperti itu dan menyatakan ada “makna terselubung” di balik ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, mereka lalu memperluas “makna terselubung” terhadap semua ayat-ayat lainnya – termasuk ayat-ayat yang dengan jelas memerintahkan pembunuhan terhadap kafir dalam keadaan-keadaan yang jelas ditetapkan. Bahkan beberapa penganut Sufi menyatakan semua ayat-ayat Qur’an mengandung enam makna yang berbeda. Mari telaah kebodohan ini: Mereka sendiri tidak bisa mengartikan satu makna dari kata-kata ‘Alif Laam Raa’ – bagaimana mungkin mereka tahu lima makna yang lainnya? Pendapat mereka jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa Auwloh berulangkali menyatakan di selusin ayat bahwa pesan-pesan dalam Qur’an itu jelas dan ditulis dalam bahasa yang sederhana sehinga semua orang dapat memahaminya dengan mudah – termasuk orang-orang di jaman Muhammad yang sudah jelas jauh lebih bodoh daripada orang-orang jaman sekarang.
Kaum Sufi kagum dengan kehidupan sederhana dan tidak mementingkan diri sendiri dari para agamawan Budha dan Kristen yang terdapat di sekitar daerah Arabia saat itu. Mereka berusaha menciptakan hal yang serupa dan beberapa agamawan Sufi awal bahkan terus-menerus mengunjungi monastri-monastri (tempat para agamawan belajar) Budha dan Kristen, terutama Kristen. Untuk bisa menjalani hidup monastrik gaya Kristen, mereka harus meninggalkan perintah Jihad dan perintah-perintah lain dalam Qur’an yang dikhotbahkan dan dipraktekkan Muhammad yang diwajibkan bagi setiap Muslim. Karena hal itu, penganut Sufisme mengarang sendiri teori mereka bahwa setiap ayat Qur’an mengandung enam makna yang bahkan mereka sendiri tidak tahu semuanya. Aku belum pernah melihat satupun ayat yang mengandung enam makna seperti yang mereka katakan, bahkan tidak pula tiga makna.
‘Alif Laam Raa’ dan kata-kata serupa lainnya dalam Qur’an memang tidak ada artinya. Sama dengan lagu favorit Hindi-ku yang berawal dengan kata-kata ‘La la laaa…’ Apakah arti ‘La la laaa…’ selain untuk menciptakan melodi kata di awal lagu? Muhammad sangat membenci penyair karena merekalah orang-orang yang berani menyindirnya dengan cerdas, tapi dia sendiri sedapat mungkin mencoba membuat ayat Qur’an tampak bagaikan syair. Itulah sebabnya mengapa ayat-ayat Qur’an tampak seperti komposisi syair meskipun kualitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. ‘Alif Laam Raa’ dan kata-kata sejenisnya seringkali dimasukkan di awal Sura untuk menciptakan kata-kata puitis yang memukau pembacanya. Kita harus mengerti bahwa di jaman Muhammad, masyarakat Arab senang sekali akan syair, dan memang inilah satu-satunya prestasi yang dihasilkan budaya Arab saat itu. Syair mereka hanya kalah satu tingkat dengan syair budaya Yunani saat itu. Muhammad mencoba sekuat tenaga untuk memanfaatkan kesukaan masyarakat Arab akan syair. Jika penyair lain menghasilkan syair yang lebih baik, terutama yang menyindir wahyu Muhammad, dia jadi marah dan mengutuki mereka.
Kuharap jawabanku menjelaskan keraguanmu tentang ‘Alif Laam Raa.’ Tentang hal kau ingin mengikuti aliran Sufisme, aku kira itu terserah dirimu saja. Kami anggota utama dari www.islam-watch.org adalah orang-orang sekuler dan humanis. Kami tidak percaya akan penggolongan-penggolongan umat manusia dalam sekte-sekte, kelompok-kelompok, sekat-sekat ras apapun. Kami percaya bahwa kita semua adalah umat manusia dengan gen yang 100% sama.
Pengelompokan umat manusia dengan alasan apapun hanya menghasilkan pengalaman tak menyenangkan bagi kemanusiaan. Aku secara pribadi senang belajar dari tulisan-tulisan dan perkataan-perkataan orang-orang besar dalam sejarah seperti Aristotle, Plato, Socrates, Ibn Sina, Omar Khayyam, Jalauddin Rumi, Kant, Nietzche, Bertrand Russell, Einstein dan pemikir dan filsuf lainnya. Akan tetapi, aku berhati-hati dalam menilai mana yang layak dipercayai dan mana yang layak dibuang. Jika hanya belajar dari beberapa orang Sufi saja tentunya membatasi kemungkinan perkembangan kecerdasan diri sendiri.
Terlebih lagi, Sufisme sendiri punya masalah terselubung! Sufisme jenis apa yang ingin kau ikuti? Sufisme yang disebut oleh Imam al-Ghazzali yang adalah tokoh Sufi terbesar, atau Sufisme dari tokoh Sufi yang lebih kecil seperti Jalaluddin Rumi dan Hafiz? Mari kita lihat apa yang dikatakan Ghazzali tentang kafir dan Jihad:
“…Muslim harus melakukan Jihad setidaknya sekali setahun… Muslim dapat menggunakan pelontar batu melawan kafir ketika mereka berada di dalam benteng, bahkan juga terhadap kafir perempuan dan anak-anak. Muslim dapat membakar dan/atau menenggelamkan mereka… Muslim dapat memotong pepohonan (ladang-kebun) mereka… Muslim harus memusnahkan kitab suci mereka (Alkitab, Taurat, dll). Jihadis dapat mengambil harta jarahan apa saja yang mereka mau…”
Tentang cara penghinaan terhadap Dhimmi (non-Muslim yang hidup di negara Islam) ketika membayar Jizyah (pungutan yang harus dibayar non-Muslim kepada penguasa Islam), al-Ghazzali menulis:
“…kaum Yahudi, Kristen, dan Majian harus bayar Jizyah… Ketika membayar Jizyah, kaum Dhimmi harus menundukkan kepalanya dan petugas Muslim memegang jenggotnya dan memukulkan uang Dhimminya ke tulang menonjol di kupingnya.” [Andrew Bostom, Legacy of Jihad, p.199]
Jika tidak mau mengikuti al-Ghazzali, kau mungkin mau mengikuti tokoh Sufi besar lainnya seperti Nizamuddin Auliya dari India. Auliya berpendapat “berperang melawan kaum kafir (Jihad)” merupakan satu dari sepuluh perintah Islam. Dia berkata:
“Di hari kiamat, ketika kaum kafir menghadapi hukuman dan siksaan, mereka mencoba memeluk Islam tapi tiada gunanya… Mereka tetap masuk neraka, meskipun mereka saat itu sudah jadi Muslim.”
Nizamuddin Auliya adalah pendukung fanatik pemimpin Muslim Sultan Allauddin Khalji yang mengobarkan perang Jihad terhadap banyak kafir Hindu India. Nizamuddin Auliya tidak malu-malu menerima banyak harta jarahan yang dirampok dari hasil Jihad yang dilakukan sang Sultan. Dia bahkan dengan bangga mempertontonkan harta jarahan itu di tempat ibadahnya Sufi Ashram. [SAA Rizvi, History of Sufism in India, Vol.1, p.224]
Tentang kelompok-kelompok Sufi lainnya, misalnya Rumi dan Hafiz – mereka adalah orang-orang yang baik yang sama seperti orang-orang baik lainnya di masa lalu. Rumi sendiri tampaknya tidak termasuk golongan sekte agama apapun. Bagaikan sudah murtad dia menulis “Mengapa harus jadi Muslim? Aku sendiri tidak tahu… Aku bukanlah orang Kristen, Yahudi, Majian ataupun Muslim.”
Aku setuju bahwa tokoh-tokoh Sufi seperti Rumi dan Hafiz merupakan orang-orang yang bijak dan mereka pun dikritik habis-habisan dan bahkan dikutuk oleh tokoh-tokoh Muslim garis keras, terutama kaum ulama dan cendekiawan Muslim. Contohnya, Allam Iqbal (India/Pakistan), yang adalah pemikir Muslim besar di abad ke-20, menuduh ajaran-ajaran Hafiz “bid’ah beracun” yang dapat merusak ajaran Islam asli. Orang lain memang ada yang ingin mengikuti kegiatan mistik Rumi atau Hafiz tapi aku sendiri beranggapan bahwa upacara agama “berputar-putar” (aliran Rumi), “mengaum” (aliran Afrika Utara) atau “menjelajah” (India, Asia Tengah) dari Sufisme tidak menghasilkan prestasi spiritual apapun dan menghabiskan banyak duit saja.
Semua itu hanyalah khayalan dan impian belaka dan mereka kira inilah cara menyatukan diri dengan Illahi. Tiada yang lebih baik daripada hidup sehat dan normal: ‘lakukan pekerjaanmu sebaik mungkin, lakukan tanggung jawab rumah tanggamu, nikmati hidup bersama sanak keluarga dan kawan-kawanmu dan bermurah hatilah terhadap sesama manusia dan dunia secara keseluruhan.’
Jika Tuhan itu memang ada, orang yang menolong tetangga yang kesulitan atau memberi bantuan keuangan pada anak-anak kecil di Afrika yang sengsara tentunya lebih menyenangkan hati Tuhan daripada melakukan kegiatan-kegiatan kosong seperti “berputar” atau “mengaum” yang diajarkan Sufi.
Seperti yang kau tulis di e-mail yang lain:
“sungguh ngeri untuk jadi Murtadin karena sepanjang hidup aku diberitahu akan dibakar di neraka jika melakukan hal itu. Tapi ini jelas salah!! Menurut pendapatku, Tuhan kita yang maha besar, maha kasih tidak akan pernah memerintahkan pembunuhan dan kejahatan terhadap umat manusia seperti yang dinyatakan dalam Qur’an.”
Tampaknya kau sudah menemukan jawabanmu. Yang ingin aku tekankan adalah aku sangat percaya dan berharap tiada seorang pun –baik Muslim, Hindu, Kristen, atau Yahudi- yang mengalami siksaan seperti yang dinyatakan di Qur’an setelah mati. Jika Auwloh atau Tuhan itu memang ada, Dia yang menciptakan segalanya, baik yang jahat atau baik di jagad raya ini – Dia tidak akan menghukum ciptaannya karena melakukan perbuatan baik terhadap sesama di dunia.
Seperti yang kau tulis di e-mail yang lain:
“sungguh ngeri untuk jadi Murtadin karena sepanjang hidup aku diberitahu akan dibakar di neraka jika melakukan hal itu. Tapi ini jelas salah!! Menurut pendapatku, Tuhan kita yang maha besar, maha kasih tidak akan pernah memerintahkan pembunuhan dan kejahatan terhadap umat manusia seperti yang dinyatakan dalam Qur’an.”
Tampaknya kau sudah menemukan jawabanmu. Yang ingin aku tekankan adalah aku sangat percaya dan berharap tiada seorang pun –baik Muslim, Hindu, Kristen, atau Yahudi- yang mengalami siksaan seperti yang dinyatakan di Qur’an setelah mati. Jika Auwloh atau Tuhan itu memang ada, Dia yang menciptakan segalanya, baik yang jahat atau baik di jagad raya ini – Dia tidak akan menghukum ciptaannya karena melakukan perbuatan baik terhadap sesama di dunia.