MENAFSIRKAN QURAN DENGAN BENAR

HUKUMAN MATI BAGI PENCACI MAKI MUHAMMAD

Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa blog ini sengaja mengutip ayat2 Quran sepotong potong dan menafsirkannya secara sembarangan demi mengesankan keburukan Islam. Untuk meluruskan anggapan yang salah tersebut kami postingkan sebuah buku Islam dari ulama besar Islam masa lalu, sehingga kita dapat melihat bagaimanakah penafsiran ayat2 Quran yang benar, dan membandingkannya dengan penafsiran ulama2 munafik masa kini. Dari sini anda dapat melihat, mengapa kami meninggalkan Islam.

Judul: Pedang Terhunus : Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi SAW
Judul asli : Ash Sharimul maslul 'ala Syatim Ar Rasul
Penulis: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -rahimahullah-
Taqrib : Dr Shaleh Ash Shahawi
Fisik : Buku ukuran sedang (p=24 cm), 411 Hal
Penerbit Griya Ilmu

Anda dapat membeli buku tersebut di Gramedia, Gunung Agung (jika belum ditarik dari peredaran), atau di toko buku Islam online, dilink ini, atau link ini.

Siapakah Ibnu Taimiyah, sang penulis kitab / buku ini? Beliau adalah ulama besar Islam yang hidup pada abad ke 6 hijriah, untuk jelasnya anda dapat melihat keterangan di Wikipedia (klik disini).

Bagaimanakah tanggapan ulama2 besar lainnya terhadap beliau?

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib Ad-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain. Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah… dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam serta lebih ittiba` dibandingkan beliau.

Lalu apakah isi buku ini? Terdapat 3 point penting yang dapat kita ambil dari buku ini;

1. Buku ini menceritakan para korban pembunuhan Muhammad karena berani mengkritik / mengejek Muhammad dan ajarannya. (Mencaci maki hanyalah ungkapan hiperbolis saja, karena pada kenyataannya para korban tersebut hanyalah mengkritik)

2. Dalil dari Quran dan Sunnah untuk membunuh para kritikus / pencaci maki Muhammad, Quran, dan agama Islam.

3. Dalil dari Quran mengenai kewajiban kaum muslim untuk memerangi para non muslim sampai mereka mau tunduk pada Syariat Islam.

Anda juga dapat melihat topik serupa di situs MUSLIM SEJATI ini (klik), meskipun demikian di bagian catatan penting ada beberapa hal yang masih salah yaitu mengenai sikap Muhammad terhadap penghinanya di point 1, silahkan anda bandingkan bagaimanakah sebenarnya HINAAN tersebut di post KORBAN PEMBUNUHAN MUHAMMAD ini (klik).

Adakah kita menemukan kedamaian Islam setelah membaca buku dan artikel tersebut? Buku ini jelas menunjukkan seperti apakah watak dan sifat Muhammad sesungguhnya. Sang pembunuh ini memerintahkan untuk mencabut nyawa siapa saja yang berani mengkritik dirinya. Muhammad menggunakan Allah dan Quran ciptaannya sebagai alat untuk memanipulasi dan menutupi kebohongannya! Mengejek Muhammad sama dengan mengejek Sang Pencipta Alam Semesta sehingga wajib hukumnya untuk dibunuh. Bukankah ini gila?

Mungkinkah Sang Pencipta Alam Semesta tersinggung dan tersakiti karena ucapan makhluk ciptaannya, hingga Ia membutuhkan bantuan tangan para muslim untuk membunuh manusia yang mengejeknya tersebut? Dimanakah pengampunanNya? Bukankah hal yang mudah bagi Sang Pencipta Alam Semesta untuk memberikan hidayahNya agar manusia tersebut bertaubat? Dan andai Ia benar benar tersakiti, mengapa harus para muslim yang membunuhnya, bukan Allah sendiri?

Jelas! Semua ini hanyalah akal akalan dari seorang Muhammad untuk membungkam semua kritik yang dapat membongkar kebohongannya! Muhammad membunuhi saingannya yang sama2 mengaku nabi karena ia takut kalah berebut pengaruh dan kekuasaan. Modus kekerasan seperti ini kerap kita temui pada diktator2 didunia seperti Hitler, Saddam, ataupun Kim Jung Il untuk memaksakan kehendak dan ideologi mereka.

Islam yang ada sekarang ini telah dipoles sedemikian rupa sehingga nampak seperti agama damai. Islam menjiplak nilai2 baik yang ada pada agama lain sehingga yang nampak dimata kita hanyalah kemuliaannya. Mayoritas muslim adalah muslim yang baik, yang menjunjung persamaan, kemanusiaan, kebebasan beragama dan HAM, namun dengan bersikap demikian mereka sesungguhnya telah melecehkan perintah Muhammad dan Quran, karena dalil dan hukum Islam memerintahkan hal yang sebaliknya. Silahkan klik link KESESATAN CENDIKIAWAN ISLAM ini.

Di post tersebut disebutkan bahwa Islam menolak PLURALISME namun menerima PLURALITAS (keragaman agama)! Benarkah Islam Sejati menerima pluralitas / keragaman agama? Saat berada di Mekah, Muhammad masih menerima pluralitas, karena saat itu ia masih lemah dan tidak memiliki kekuasaan, hal ini tercemin dari ayat2 Mekah yang toleran. Namun setelah berada di Medinah, belang Muhammad mulai nampak, ayat2 damainya mulai berubah menjadi ayat perang. Pluralitas menurut Muhammad hanya jika kaum ahlul kitab (Yahudi dan Kristen) tunduk pada Hukum Islam yang dibuatnya (QS 9:29)! Jika mereka tidak mau tunduk wajib hukumnya untuk DIPERANGI dan DIBUNUH. Sedang untuk kaum lain selain ahlul kitab (Quraish Hindu Arab), wajib hukumnya untuk DIBUNUH jika tak mau menerima Islam.

Blog ini membuktikan bahwa Alloh, Quran dan Islam hanyalah kebohongan Muhammad belaka. Kebohongan seorang narsisis yang haus pemujaan dan kekuasaan sehingga ia memerintahkan membunuh terhadap siapa saja yang dapat menghalangi tujuannya! Karenanya saudaraku, TINGGALKANLAH MUHAMMAD DAN ISLAMNYA!

Ok, sekarang saatnya kita membaca buku tersebut!
Kami sengaja tidak menyensor isi buku ini, agar tidak dianggap fitnah. Selamat membaca!


PENGANTAR

Kondisi pencaci maki Nabi tak terlepas dari tiga hal. Yaitu dia berasal dari kelompok Islam, kelompok kafir dzimmi, atau dari kelompok kafir harbi.

Jika dia seorang Muslim, maka kaum Muslimin telah sepakat tentang kemurtadannya dan mewajibkannya untuk dibunuh. Al-Qadhi lyadh berkata, "Kaum Muslimin telah sepakat untuk membunuh orang Islam yang mencela dan memaki Rasulullah. Demikian pula kesepakatan kaum Muslimin agar membunuh dan mengkafirkan pelakunya ini, telah disebutkan dalam banyak riwayat." Imam Ishaq bin Rahuyah, salah seorang imam terkemuka berkata, "Kaum Muslimin telah sepakat bahwa orang yang mencaci Allah Swt dan Nabi , menolak sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah Swt atau membunuh salah seorang Nabi, dia menjadi kafir meskipun dia meyakini semua yang diturunkan oleh Allah Swt " Al-Khatthabi berkata, "Aku tidak mengetahui seorang Muslim pun yang berselisih pendapat tentang kewajiban untuk membunuhnya." Muhammad bin Sahnun berkata, "Para ulama telah sepakat bahwa pencaci dan pencela Nabi itu kafir. Ancamannya dia akan ditimpa dengan azab Allah Swt. Hukumnya menurut umat Islam adalah dibunuh, dan barangsiapa yang meragukan kekafiran dan siksanya, maka dia telah menjadi kafir."

Jika dia seorang kafir dzimmi, maka kebanyakan ulama sepakat bahwa sanksinya dibunuh. Hukum ini menjadi kesepakatan pula pada masa pertama dari generasi sahabat dan tabi'in. Lalu setelah itu, terjadilah perselisihan.

Jika dia seorang kafir harbi, maka kebanyakan riwayat (hadits) menyatakan bahwa Nabi menginginkan dan menganjurkan si pelaku dibunuh karena perbuatannya tersebut, meskipun di satu sisi beliau juga melarang hal itu diberlakukan atas orang lain yang berbuat sama. Ibnul Mundzir berkata, "Mayoritas ulama sepakat bahwa sanksi bagi orang yang mencaci Nabi adalah dibunuh. Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Al-Laits, Ahmad, dan Ishaq, dan ini juga sebagai mazhabnya Imam Asy-Syafi'i." Abu Bakar Al-Farisi, salah seorang pengikut Imam Asy-Syafi'i meriwayatkan tentang kesepakatan kaum Muslimin, bahwa sanksi bagi orang yang mencaci Nabi adalah dibunuh, sebagaimana sanksi bagi orang yang mencaci selain Nabi adalah didera. Dan, kesepakatan yang telah diriwayatkan ini sudah menjadi kesepakatan generasi sahabat dan tabi'in terdahulu. Atau, dia memaksudkannya di sini tentang kesepakatan mereka bahwa orang yang mencaci Nabi wajib dibunuh, jika dia seorang Muslim.

Kesimpulannya, bahwa pencaci tersebut bila ternyata dia seorang Muslim, maka dia dinyatakan kafir dan dibunuh menurut ijma', dan ini adalah pendapat keempat imam mazhab dan yang lainnya, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahuyah dan yang lainnya. Jika dia seorang kafir dzimmi, maka dia juga harus dibunuh menurut mazhabnya Imam Malik, Ahlul Madinah, Ahmad, dan para pakar hadits. Dan, kami telah memisahkan bab ini untuk menghadirkan dalil-dalil yang menyatakan kekufuran pencaci tersebut, batalnya janjinya, dan keharusan membunuhnya berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, ijma' para sahabat dan tabi'in, serta dalil i'tibar (qiyas).

Lalu, kajian terhadap dalil-dalil ini saya bagi kepada beberapa pembahasan berikut ini:

Pembahasan Pertama, dalil-dalil al-Quran yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.

Pembahasan Kedua, dalil-dalil as-Sunnah yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.

Pembahasan Ketiga, ijma' para sahabat dan tabi'in yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.

Pembahasan Keempat, dalil qiyas yang menyatakan bahwa mencaci menyebabkan batalnya iman dan hilangnya jaminan keamanan, serta mengharuskan si pelaku dibunuh.


PEMBAHASAN PERTAMA
Dalil-Dalil al-Quran yang Menyatakan Bahwa Mencaci Menyebabkan Batalnya Iman dan Hilangnya Jaminan Keamanan, serta Mengharuskan Si Pelaku Dibunuh


PASAL PERTAMA:
Dalil-Dalil al-Quran Tentang Batalnya Janji Seorang Kafir Dzimmi Karena Mencaci Serta Kewajiban Membunuhnya

Batalnya janji seorang kafir dzimmi karena mencaci Allah Swt , kitab-Nya, agama-Nya, dan Rasul-Nya, serta keharusan untuk membunuhnya merupakan tema yang telah dipaparkan oleh dalil-dalil al-Quran berikut ini:

Dalil Pertama:
Mencaci maki berbeda dengan ketundukan, yang bersama dengan membayar jizyah (upeti) dijadikan oleh Allah Swt sebagai tujuan memerangi Ahlul Kitab. Allah Swt berfirman:

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt dan tidak (pula) pada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah Swt), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka da/am keadaan tunduk." (at-Taubah: 29)

Kita diperintahkan untuk memerangi mereka (non-muslim) sampai mereka mau membayar jizyah (upeti) dan mereka dalam keadaan tunduk, dan tidak boleh menahan untuk memerangi mereka kecuali jika mereka dalam keadaan tunduk sewaktu membayar jizyah tersebut. Sudah dimaklumi, bahwa memberi jizyah itu dimulai sejak waktu mengeluarkan dan keharusannya hingga waktu menyerahkan dan memegangnya. Jika ternyata mereka tidak memenuhinya atau memenuhinya namun terhalang untuk menyerahkannya, maka mereka dianggap tidak membayar jizyah, mengingat hakikat memberi di sini tidak ada.

Dan, kalaupun ketundukan itu merupakan keadaan mereka sepanjang waktu, maka tentu bisa dipahami bahwa orang yang secara terang-terangan mencaci Nabi di hadapan kita, memaki Allah Swt pada forum-forum majelis kita, dan mencerca agama kita dalam perkumpulan kita, maka dia bukanlah orang yang tunduk. Karena, seorang yang tunduk adalah seorang yang merasa rendah dan hina, sedangkan caci maki ini adalah tindakan seorang yang gagah lagi perkasa, bahkan dia merupakan batas akhir dari perendahan dan penghinaan terhadap kita.

Para pakar bahasa mengatakan, bahwa ketundukaan memiliki arti kehinaan dan kelaliman. Berarti seorang yang tunduk adalah seorang yang ridha dengan kelaliman. Tidak samar lagi bagi orang yang mau berpikir, bahwa mencaci maki secara terang-terangan terhadap agama umat yang telah memperoleh kemuliaan di dunia dan akhirat, bukanlah tindakan seorang yang ridha terhadap kehinaan dan kerendahan, dan hal ini sangat terlihat jelas, tanpa samar lagi.

Jika memerangi mereka itu wajib bagi kita, kecuali jika mereka tunduk, sedang mereka bukan terbilang orang-orang yang tunduk, maka tentunya memerangi mereka itu sangat diperintahkan. Dan, setiap orang yang diperintahkan bagi kita untuk memeranginya dari golongan orang-orang kafir, maka dia harus dibunuh jika kita mampu melakukannya. Begitu pula, jika kita telah diperintahkan untuk memerangi mereka sampai terpenuhinya tujuan ini, maka tidak boleh diberlakukan kepada mereka perjanjian ahlu dzimmi tanpa adanya tujuan ini. Dan, kalaupun diberlakukan kepada mereka, maka itu dinyatakan perjanjian yang tidak sah, dan mereka tetap boleh diperangi.

Syubhat (keraguan/sanggahan):
Dikatakan, sesungguhnya orang-orang tersebut mengira bahwa mereka adalah golongan kafir mu'ahid, lalu muncul syubhat keamanan bagi mereka, dan syubhat keamanan ini seperti hakikat keamanan itu sendiri. Karena itu, sesungguhnya seorang (Muslim) yang mengatakan suatu ucapan yang dikira oleh seorang kafir sebagai bentuk keamanan, maka itu sebagai keamanan baginya, meskipun sebenarnya hal itu bukanlah yang dimaksud oleh seorang Muslim tersebut.

Bantahan:
Tidak samar lagi bagi mereka, bahwa kita tidak pernah rela bila mereka berada di bawah perlindungan kita, dengan adanya cacian terhadap agama kita dan makian terhadap Nabi kita oleh mereka secara terang-terangan. Dan, mereka juga mengetahui bahwa kita tidak akan membuat perjanjian kepada seorang pun kafir dzimmi atas dasar keadaan semacam ini.

Maka, pengakuan mereka bahwa mereka meyakini kita telah membuat perjanjian dengan mereka atas dasar hal semacam ini, disertai penjatuhan syarat oleh kita kepada mereka agar mereka tunduk, untuk bisa beriakunya hukum-hukum agama atas mereka, itu adalah bohong belaka dan tak periu ditanggapi.

Begitu pula, klaim bahwa orang-orang yang telah membuat perjanjian dengan mereka untuk pertama kalinya, adalah kalangan sahabat Rasulullah semisal Umar bin Khattab , sementara kita tahu betui bahwa beliau tidak mungkin membuat perjanjian bersama mereka dengan sesuatu yang menyelisihi perintah Allah Swt di dalam kitab-Nya. Kemudian kita sebutkan syarat-syarat Umar , dan bahwa syarat-syarat tersebut berisi bahwa orang yang secara terang-terangan mencerca agama kita, dihalalkan darah dan hartanya.


Dalil Kedua:
Caci maki bisa merusak kelurusan (istiqamah) yang dijadikan oleh Allah Swt sebagai syarat langgengnya perjanjian bersama kaum musyrikin. Allah Swt berfirman:

"Bagaimana bisa ada perjanjian (aman) dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram. Maka, selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Swt menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagai-mana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyirikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka menukar ayat-ayat Allah Swt dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah Swt. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu. Mereka tidak memelihara (hubungan) kekerabatan dengan orang-orang Mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, mafca (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang engetahui.Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan merefca mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (at-Taubah: 7-12)

Dalil yang terkandung ialah bahwa Allah Swt telah meniadakan perjanjian aman bagi seorang musyrik (paganis) dari golongan orang-orang yang pernah membuat perjanjian dengan Nabi, kecuali sekelompok orang yang telah Dia sebutkan di dalam ayat tersebut. Sesungguhnya Allah Swt menjadikan perjanjian aman bagi mereka itu, selama mereka tetap berlaku lurus terhadap kita.

Sudah dimaklumi, bahwa pernyataan mereka yang berbau cacian dan cemoohan terhadap Rabb, Nabi, kitab suci, dan agama kita secara terang-terangan di hadapan kita, bisa merusak kelurusan (istiqamah), sebagaimana halnya pernyataan mereka untuk memusuhi kita secara terbuka juga bisa merusak perjanjian.

Bahkan, hal itu lebih ditekankan bila ternyata kita termasuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya wajib bagi kita untuk menumpahkan seluruh darah dan harta kita demi tegaknya kalimat Allah Swt , dan tidak akan dibiarkan berkeliaran di negeri kita ini sedikit pun bentuk permusuhan terhadap Allah Swt dan rasul-Nya. Jika mereka tidak berlaku lurus terhadap kita dengan merusak dua hal yang sangat remeh (sepele), lalu bagaimana mungkin mereka akan berlaku lurus dengan merusak dua hal yang paling besar?

Hal itu diperjelas oleh firman Allah Swt :

"Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah Swt dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin), padahal mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian." (at-Taubah: 8)

Bagaimana mungkin ada perjanjian dengan mereka, dan kalau pun mereka memperoleh kemenangan terhadap kalian, maka mereka tidak akan pemah memelihara hubungan kekerabatan yang ada di antara kalian dan mereka, dan juga tidak akan mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kalian dan mereka?

Diketahui, bahwa orang yang jika meraih kemenangan, tidak pernah mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kita dan dia, maka tidak pernah ada perjanjian dengannya; dan bahwa orang yang secara terang-terangan mencerca agama kita, hal itu sebagai dalil bahwa dia jika mendapatkan kemenangan, tidak pemah mengindahkan perjanjian yang terjadi di antara kita dan dia.

Jika dia dengan adanya perjanjian dan kehinaan ini saja telah melakukan hal ini, lalu bagaimana bila dia memiliki kekuatan dan kemampuan? Berbeda dengan orang yang tidak pernah menyampaikan secara terang-terangan ucapan semacam ini kepada kita, maka dia bdeh saja menepati janji jikalau dia menang. Ayat di atas meskipun ditujukan kepada kelompok damai (ahlu hudnah) yang bermukim di negara mereka namun maknanya beriaku bagi golongan kafir dzimmi yang sedang bermukim di negara kita menurut skala prioritas.


Dalil Ketiga:
Petunjuk al-Quran al-Karim tentang kewajiban memerangi orang-orang yang mencerca agama. Sedangkan caci maki ini merupakan bentuk cercaan terhadap agama yang paling besar. Allah Swt berfirman:

"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir ftu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti." (at-Taubah: 12)

Adapun petunjuk ayat di atas yang mengarah kepada hal tersebut, bisa dilihat dari beberapa aspek berikut ini:

Aspek pertama,
Bahwa merusak sumpah (janji) saja, menuntut adanya perang. Adapun hanya disebutkan di sini kalimat 'mencerca agama' saja, adalah sebagai pengkhususan dan penjelasan baginya, dikarenakan dia merupakan faktor pemicu peperangan yang paling dominan. Oleh karena itu, sanksi bagi seorang pencerca agama itu lebih berat daripada sanksi yang diberikan kepada para perusak agama yang lainnya, sebagaimana hal itu akan kita bicarakan.

Atau, penyebutan kalimat tersebut lebih sebagai penjelasan baginya dan juga keterangan tentang sebab terjadinya peperangan. Karena, mencerca agama adalah sebagai pemicu untuk memerangi mereka demi tegaknya kalimat Allah Swt . Sedangkan merusak sumpah (janji) terkadang menyebabkan terjadinya peperangan yang dipicunya sekadar untuk keberanian, pembelaan, dan riya.

Atau juga, penyebutan kalimat tersebut lebih disebabkan karena dialah yang mewajibkan peperangan dalam ayat tersebut, yaitu dengan firman Allah Swt , "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu ...," dan dengan firman-Nya:

"Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama kali memulai memerangi kamu. Mengapa kamu takut kepada mereka, padahal Allah Swt-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang-orang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah Swt akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah Swt akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman," (at-Taubah : 13-14)

Ayat tersebut mengindikasikan bahwa orang yang tidak berbuat apa pun, selain hanya merusak sumpah (janji)nya, tidak boleh diberi keamanan dan perjanjian. Dalam kitab asli tertulis jor (boleh), tetapi melihat makna yang terkandung pada ayat di atas mengindikasikan makna sebaliknya sebagaimana yang kami cantumkan di atas.

Sedangkan orang yang mencerca agama, wajib diperangi. Dan, hal ini merupakan sunnah Rasulullah, yaitu bahwa beliau pemah mengeksekusi mati (membunuh) orang yang telah memusuhi Allah Swt beserta Rasul-Nya dan mencerca agama. Jika merusak perjanjian saja bisa menyebabkan peperangan, sekalipun tanpa dibarengi bentuk cercaan, maka tentu diketahui bahwa mencerca agama itu menjadi sebab lain atau faktor yang mengakibatkan batalnya suatu perjanjian. Maka, sudah seharusnya cercaan terhadap agama ini mempunyai pengaruh (dampak) terhadap kewajiban perang. Jika tidak, maka penyebutannya di dalam ayat di atas terbilang sia-sia.

Jika cercaan tersebut mengharuskan adanya eksekusi atau hukuman mati terhadap orang yang tidak ada perjanjian di antara kita dan dia, maka tentunya membunuh orang yang ada perjanjian (dzimmah) di antara kita dan dia, di samping itu dia juga diharuskan tunduk, lebih utama; untuk lebih jelasnya akan dibahas nanti. Diwajibkan bagi seorang kafir mu'ahid untuk menampakkan di negerinya sendiri apa yang dia inginkan dari urusan agamanya yang tidak berbau memusuhi kita, sedangkan seorang kafir dzimmi tidak diwajibkan untuk menampakkan di negeri Islam sesuatu pun dari agamanya yang batil, dan jika dia tidak memusuhi kita, maka keadaannya lebih ditekankan lagi.

Aspek kedua,
Bahwa jika seorang kafir dzimmi telah berani mencaci Rasulullah , atau mencaci Allah Swt, atau telah berani mencela agama Islam secara terang-terangan, maka sungguh dia telah merusak sumpahnya dan mencerca agama kita. Karena, tidak ada perselisihan di antara kaum Muslimin bahwa dia harus diberi hukuman dan sanksi. Maka, nyatalah bahwa dia tidak pernah disumpah. Karena jikalau kita membuat perjanjian dengannya, lalu dia melakukan sumpah tersebut, maka dia tidak boleh dijatuhi sanksi. Dan, jika kita telah menyumpahnya untuk tidak mencerca agama kita, lalu dia mencerca agama kita, maka sungguh dia telah merusak sumpah (janji)nya karenanya, dan dia wajib dibunuh berdasarkan petunjuk nash (teks) ayat di atas. Dan, ini merupakan petunjuk yang sangat kuat dan bagus.

Syubhat: Jika dikatakan, bahwasanya tidak semua yang diperlihatkan secara terang-terangan tentang perkara yang dilarang kepada seseorang, secara otomatis bisa membatalkan perjanjiannya, seperti memperlihatkan khamr (meminum minuman keras secara terang-terangan), babi (makan babi secara terang-terangan), dan yang semisalnya?

Jawaban: Kami katakan, pada diri orang ini ditemukan dua hal, yaitu: apa yang menjadi larangan dari perjanjian tersebut terhadap dirinya, dan cercaan terhadap agama, berbeda dengan orang-orang tersebut. Karena, tidak ditemukan dari diri mereka, selain hanya mengerjakan apa yang dilarang kepada mereka cukup dengan janji saja. Sedangkan al-Quran mewajibkan untuk membunuh orang yang merusak (melanggar) sumpah janjinya setelah dia berjanji dan mencerca agama. Dan, mustahil dia disebut 'tidak melanggar', karena esensi pelanggaran adalah menyelisihi perjanjian. Ketika mereka menyelisihi salah satu dari perjanjian damai yang telah mereka sepakati, maka itu berarti pelangaran.

Aspek ketiga,
Bahwa Allah Swt telah menamakan mereka sebagai para pemuka orang-orang kafir dikarenakan telah mencerca agama. Dan, seorang pemuka orang-orang kafir adalah seorang yang menyeru kepada tindakan yang diikuti tersebut (yaitu: mencerca agama), dan dia menjadi pemimpin dalam kekufuran dikarenakan telah mengeluarkan cercaan ini. Sebenamya merusak perjanjian saja tidak mesti mengharuskan adanya sebutan tersebut, meskipun itu sangat pantas, karena mencerca agama adalah dia mencela dan mencemooh agama, dan mengajak untuk menyelisihinya.

Dan, yang demikian ini adalah tugas seorang pemimpin. Maka, nyatalah bahwa setiap orang yang mencerca agama adalah sebagai pemimpin dalam kekufuran. Jika seorang kafir dzimmi mencela agama, maka dia menjadi pemimpin dalam kekufuran, sehingga dia pun harus dibunuh, berdasarkan firman Allah Swt , "Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu ...," dan menjadi batal sumpahnya. Karena, dia telah bersumpah kepada kita untuk tidak mencela agama secara terbuka, apalagi menentangnya. Dan, yang dimaksud dengan sumpah di sini adalah janji, bukan sumpah demi Allah Swt seperti yang telah disebutkan oleh kalangan mufasirin.

Menjadi jelaslah, bahwa setiap orang yang mencerca agama kita setelah sebelumnya kita telah membuat perjanjian dengannya untuk tidak melakukan hal itu, maka dia adalah seorang pemimpin di dalam kekufuran dan tidak berlaku lagi sumpahnya. Sehingga, dia wajib dibunuh berdasarkan ayat di atas. Dengan demikian, terlihat dengan jelas perbedaan antara dirinya dengan seorang yang merusak atau melanggar janji yang bukan sebagai seorang pemimpin, yaitu seorang yang telah melanggar dengan melakukan sesuatu yang bukan merupakan cercaan terhadap agarna dari apa yang telah dibuat perjanjian damai dengannya.

Aspek keempat,
Allah Swt telah berfirman:

"Mengapa kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras untuk mengusir Rasul dan mereka yang pertama kali mamulai memerangi kamu ...." (at-Taubah: 13)

Di sini, Allah Swt menjadikan bentuk kekerasan mereka dengan mengusir Rasulullah ,sebagai salah satu faktor pendorong adanya perintah untuk memerangi mereka. Hal itu tidak lain, dikarenakan di dalamnya terkandung unsur permusuhan. Sementara di satu sisi, mencaci maki Rasulullah itu lebih berat dari sekadar kekerasan mereka untuk mengusir beliau, dengan dalil bahwa Rasulullah pada peristiwa Fathu Makkah telah memaafkan orang-orang yang pemah bersikeras mengusirnya, namun beliau tidak mau memaafkan orang-orang yang mencaci makinya. Jadi, jika temyata seorang kafir dzimmi telah secara terbuka mencaci maki Rasulullah, maka sungguh dia telah melanggar sumpah (janji)nya dan melakukan apa yang lebih berat daripada hanya bersikeras untuk mengusir dan menyakiti beliau, sehingga orang itu pun wajib dibunuh

Aspek Kelima ,
Bahwa firman Allah Swt :

"...dan (Allah Swt) akan melegakan hati orang-orang yang beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang Mukmin." (at-Taubah: 14-15).

Ayat ini adalah sebagai dalil, bahwa kelegaan hati orang-orang Mukmin dari sakit hati yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap janji dan cercaan terhadap agama, juga hilangnya kedongkolan yang bergemuruh di dada mereka, itu adalah suatu hal yang dikehendaki dan diinginkan terjadi oleh Allah Swt, dan hal itu bisa tercapai dengan cara membunuh si pencaci maki tersebut dikarenakan beberapa faktor:

Pertama, bahwa menta'zir dan menjatuhkan sanksi terhadap si pencaci maki tersebut bisa menghilangkan kedongkolan hati mereka, jika temyata dia terbukti telah mencaci maki salah seorang dari kaum Muslimin atau melakukan hal yang sejenisnya. Jika kedongkolan hati mereka bisa dihilangkan pada saat si pencaci maki tersebut mencemooh Rasulullah ,maka kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada Rasulullah ini, tentunya seperti kedongkolan mereka akibat cemoohan kepada salah seorang dari mereka, dan ini adalah pendapat batil.

Kedua, bahwa mencaci maki Rasulullah itu lebih berat sanksinya menurut mereka dibanding bila salah seorang dari mereka ada yang dibunuh. Jika ada yang membunuh salah seorang dari mereka, dan hal itu tidak bisa membuat hati mereka merasa lega selain harus membunuh si pembunuhnya, maka tentunya hati mereka lebih tidak akan merasa lega jika belum bisa membunuh si pencaci maki Rasulullah tersebut.

Ketiga, bahwa Allah Swt menjadikan perintah untuk memerangi mereka, itu sebagai sebab adanya kelegaan hati mereka. Dan, pada dasamya tidak ada sebab lain yang bisa mewujudkannya. Sehingga, membunuh dan memerangi mereka adalah sebagai satu-satunya obat untuk menenangkan hati mereka dari tindakan semacam itu.

Keempat, bahwa Nabi ketika menaklukkan kota Makkah dan ingin mengobati luka atau sakit hati Bani Khuza'ah dan mereka adalah kaum mukminin terhadap Bani Bakar yang telah memerangi mereka, maka beliau pun memenuhi ambisi atau dendam Bani Khuza'ah tersebut terhadap Bani Bakar pada waktu siang hari belong dengan disertai jaminan keamanan dari beliau terhadap seluruh penduduk kota Makkah yang lain. Kalau saja kelegaan hati mereka dan hilangnya kedongkolan yang ada di dalam hati mereka itu bisa dipenuhi dengan tanpa membunuh orang-orang yang telah melanggar sumpah perjanjian dan mencerca agama, maka pastilah beliau tidak melakukan hal itu dengan disertai jaminan keamanan beliau terhadap penduduk kota Makkah.


PASAL KEDUA:
Dalil al-Quran Tentang Kemurtadan Seorang Muslim Karena Mencaci Maki dan Kewajiban untuk Membunuhnya

Seorang Muslim menjadi kafir karena mencaci maki Allah, kitab-Nya, agama-Nya, atau rasul-Nya, dan dia pun wajib dibunuh menurut kesepakatan seluruh kaum Muslimin. Dan, sungguh banyak dalil di dalam al-Quran al-Karim yang telah menjelaskannya. Di antaranya, adalah:

Dalil Pertama:
Menyakiti Rasulullah merupakan bentuk perlawanan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Sedangkan perlawanan tersebut hukumnya kafir dan mengharuskan si pelaku dibunuh. Allah Swt berfirman:

"Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya. " Katakanlah, "la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman di antara kamu." Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih. Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allah untuk mencari keridhaanmu, padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin. Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar. " (at-Taubah: 61-63)

Adapun bahwa menyakiti Rasulullah sebagai bentuk perlawanan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, ditunjukkan oleh hal-hal berikut ini:

1. Bahwa jika orang-orang yang menyakiti Rasulullah tidak bisa dikatakan sebagai golongan orang-orang yang menentang atau melawan Allah Swt dan Rasul-Nya, maka tidak sepantasnya mereka diberi ancaman, yaitu bahwa balasan bagi seorang yang menentang adalah Neraka Jahanam. Karena, bisa saja dikatakan pada waktu itu, mereka telah mengetahui betul bahwa balasan bagi seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya adalah Neraka Jahanam, akan tetapi mereka tidak pernah menentang, melainkan hanya menyakiti, sehingga apa yang terkandung di dalam ayat ini bukan sebagai ancaman bagi mereka. Karena itu, telah diketahui bahwa tindakan semacam ini haruslah berada dalam lansekap keumuman istilah perlawanan atau penentangan itu, agar ancaman yang diarahkan kepada seorang penentang itu juga berlaku bagi seorang yang menyakiti Rasulullah Sampai di sini, maka pembicaraan pun menjadi sinkron.

2. Apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam Shahih-nya dengan isnad yang shahih: Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah pemah berada dalam salah satu ruangan kamarnya, dan bersama beliau terdapat sejumlah kaum Muslimin, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya akan datang kepada kalian seorang manusia yang akan melihat dengan mata setan. Maka, jika dia telah datang kepada kalian, janganlah kalian berbicara kepadanya. " Kemudian, datanglah seorang lelaki yang sinar matanya tajam, lalu Rasulullah pun memanggilnya dan bertanya, "Mengapa kamu bersama si fulan dan si fulan mencaci makiku?" Kemudian lelaki itu pun pergi dan memanggil kawan-kawannya, lalu bersumpah atas nama Allah Swt , dan memohon maaf kepada beliau. Dikeluarkan oleh Imam Hakim di dalam kitab 'al-Mustadrak1 dalam pembahasan kitab tafsir, (2/482). Dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (1/267), dan telah disandarkan olem Imam Suyulhi di dalam 'ad-Durr al-Mantsuur' (8/85) kepada al-Bazzar, Ibnul Mundzir, Thabarani, Ibnu Abi hatim dan Baihaqi di dalam 'ad-Dalaail'. Di dalam isnadnya terdapat Simak bin Harb, dan dia adalah seorang yang jujur, hanya saja hapalannya berubah di akhir masa hidupnya. Ad-Daruquthni berkata: Jika dia menyampaikan hadits dari Syu'bah, ats-Tsauri dan Abul Ahwash, maka hadits-hadits mereka darinya (Simak bin Harb) adalah shahih, sedangkan jika hadits tersebut berasal dari riwayat Syarik dan Hafsh bin Jami', maka sebagian haditsnya ada yang munkar, namun isnadnya tetap shahih

Maka, Allah Swt menurunkan firman-Nya:

"(Ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang pendusta." (Al-Mujadalah: 18)

Setelah itu, Allah Swt berfirman lagi:

"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina." (Al-Mujadalah: 20)

Maka, diketahuilah bahwa tindakan semacam ini termasuk pula bentuk perlawanan. Sedangkan berkenaan dengan dalil bahwa perlawanan tersebut menyebabkan si pelakunya kafir dan harus dibunuh adalah:

Pertama, firman Allah Swt , "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina," (Al-Mujadalah: 20). Orang yang sangat hina ini jauh lebih rendah kedudukannya dari sekadar orang yang hina, dan dia tidak akan menjadi sangat hina sebelum dia merasa takut atau cemas terhadap keselamatan diri dan hartanya scwaktu dia menampakkan bentuk perlawanan ini. Sebab, jika darah dan hartanya sudah terjaga tak tersentuh, maka tidaklah dia menjadi sangat hina. Hal itu, dikarenakan seorang yang sangat hina adalah orang yang tidak punya kekuatan yang dengannya dia bisa melindungi dirinya dari tangan orang yang berniat jahat terhadapnya.

Jika memang dia punya ikatan janji dengan kaum Muslimin, maka semestinya kaum Muslimin dengan senang hati akan menolong dan melindunginya, sehingga dia tidak menjadi orang yang sangat hina. Dari sini, maka nyatalah bahwa orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, tidak punya ikatan perjanjian yang menjadi pcrlindungan baginya, sementara orang yang menyakiti Nabi sama dengan orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya. Maka, orang yang menyakiti Nabi juga tidak punya ikatan perjanjian yang bisa melindunginya.

Kedua, firman Allah Swt : "Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah: 5)

Kata al-kabt dalam ayat ini berarti penghinaan, peremehan, dan pengrusakan. Jadi, seorang yang menentang adalah seorang yang hina, rendah, cepat marah dan sedih, dan seorang yang rusak. Hal ini akan menjadi lengkap bila dia merasa takut dibunuh sewaktu menampakkan pcrlawanan tersebut. Jika tidak, maka orang yang memungkinkan baginya untuk menampakkan perlawanan, sedangkan dia merasa aman akan keselamatan darah dan hartanya, maka tidaklah dia seorang yang hina, melainkan dia adalah seorang yang merasa senang dan gembira.

Karena Allah Swt telah berfirman, "Pasti mereka mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan," (Al-Mujadalah: 5). Dan, orang-orang sebelum mereka dari golongan orang-orang yang menentang para rasul dan Rasulullah , sesungguhnya mereka telah dihinakan oleh Allah Swt dengan cara ditimpakan azab kepada mereka dari sisi Allah Swt atau melalui perantara tangan-tangan kaum Mukminin. Maka, orang-orang yang menentang akan dihinakan melalui kematian mereka yang disebabkan oleh kemarahan mereka.

Hal itu, mengingat mereka merasa khawatir bila mereka menampakkan apa yang ada di dalam hati mereka, maka mereka akan dibunuh, sehingga setiap penentang itu haruslah seperti demikian. Sedangkan seorang yang beriman tidak akan pemah dihinakan sebagaimana orang-orang yang mendustakan para rasul itu telah dihinakan.

Sesungguhnya Allah Swt telah memberitahu bahwa bagi seorang penentang adalah Neraka Jahanam dan dia akan kekal di dalamnya, dan Allah Swt tidak pemah mengatakan itu sebagai balasan bagi orang yang menyakiti Rasulullah. Dan di antara kedua konteks pembicaraan ini terdapat perbedaan. Hanya perlu diketahui di sini bahwa menentang (muhaaddah) sama dengan memusuhi (mu'aadah dan musyaaqqah), dan itu berarti kekufuran dan peperangan, dan dia lebih berat dari sekadar kekufuran.

Berarti orang yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya adalah seorang kafir dan musuh Allah Swt dan Rasul-Nya, dan juga seorang yang memerangi Allah Swt dan Rasul-Nya. Sebab, kata muhaaddah (menentang) adalah derivasi dari kata mubaayanah (melawan), yang mana masing-masing dari keduanya memiliki arti yang sama. Sebagaimana dikatakan bahwa musyaaqqah (memusuhi) itu berarti agar masing-masing bagiannya berada dalam satu kubu.

Kedua kata (muhaaddah dan musyaaqqah) sama-sama mempunyai arti pemutusan hubungan (muqaatha'ah) dan pemisahan diri (mufaashalah). Dan, itu berarti menuntut adanya pemutusan hubungan yang terjalin di antara semua pihak yang terlibat perjanjian (ahlul 'ahdi), jika ternyata salah satu pihak telah menentang pihak yang lain. Maka, tidak ada lagi ikatan bagi seorang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya.

Sungguh, al-Quran telah menjadikan balasan atas bentuk permusuhan tersebut dengan cara dibunuh dan disiksa di dunia.

Allah Swt berfirman:"

"... maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya ...." (Al-Anfal: 12-13)

Di sini Allah Swt memerintahkan untuk membunuh mereka dikarenakan oleh permusuhan dan penentangan mereka. Maka, setiap orang yang menentang dan memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya, itu wajib diberlakukan kepadanya syariat tersebut (dibunuh) karena adanya alasan semacam ini.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pemah ada seorang lelaki yang mencaci maki Nabi lalu beliau bersabda:

"Orang yang mencaci makiku adalah musuhku." Dikeluarkan oleh Abdurrazzaq di dalam Musftannaf-nya, (5/237, 307), dari Ibnu Jarir dari seorang lelaki dari Ikrimah (budaknya Ibnu Abbas). Di dalam isnadnya ada yang lemah (dha'if). Hal itu dikarenakan: (1) Hadits ini disampaikan oleh Ikrimah secara mursa/; (2) Tidak diketahui nama yang meriwayatkannya dari Ikrimah (di sini hanya disebut: seorang lelaki).

Dan, ini terlihat sangat jelas, sehingga orang tersebut pada waktu itu menjadi kafir yang halal darahnya, atau dengan kata lain halal dibunuh.

Hal itu berdasarkan kepada firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasulnya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. " (Al-Mujadalah: 20)

Di dalam ayat-ayat tersebut di atas juga terdapat petunjuk tentang batalnya sumpah (Janji) seorang kafir dzimmi oleh karena dia telah mencaci, scbagaimana hal itu tidak samar lagi.

Dalil Kedua:
Hilangnya keimanan seseorang yang menyukai orang yang telah menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, lalu bagaimana dengan orang yang menentang itu sendiri?

Allah Swt berfirman:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. " (Al-Mujadalah: 22)

Bukti dalilnya, jika seorang yang menyukai orang yang menentang itu saja bukanlah orang yang beriman, lalu bagaimana dengan orang yang menentang itu sendiri? Dan telah disepakati bahwa di antara sebab turunnya ayat ini adalah bahwa Abu Qahafah telah mencaci maki Nabi, lalu Abu Bakar ash-Shiddiq bermaksud membunuhnya. Atau, bahwa Abdullah bin Ubay pemah mencela Nabi , lalu puteranya yang bemama Abdullah meminta izin kepada Nabi untuk membunuhnya.

Dari sini, maka nyatalah bahwa orang yang menentang itu adalah kafir yang halal dibunuh. Begitu pula, Allah Swt telah memutuskan hubungan antara kaum Mukminin dan orang-orang yang menentang serta memusuhi Allah Swt dan Rasul-Nya. Allah Swt telah berfirman,:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya ...," (Al-Mujadalah: 22).

Allah Swt juga berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Rabbmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus." (Al-Mumtahanah: 1)

Dari sini, maka diketahui bahwa mereka bukanlah termasuk orang-orang yang beriman.

Dalil Ketiga:
Apa yang dinyatakan dalam beberapa ayat al-Quran bahwa mengejek (menertawakan) Allah Swt beserta ayat-ayat (firman)-Nya dan Rasul-Nya itu adalah kufur. Allah Swt berfirman:

"Orang-orang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka, "Teruskanlah ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)." Sesungguhnya Allah akan menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah, "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" [i]Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa."[/i] (at-Taubah: 64-66)

Bukti petunjuknya, bahwa ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mengejek Allah Swt beserta ayat ayatNya dan Rasul-Nya itu adalah tindakan kufur. Maka, tentunya mencaci maki itu lebih kufur lagi. Begitu pula, ayat-ayat di atas juga menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela Rasulullah baik itu dengan serius maupun bercanda, maka sungguh dia telah menjadi kafir.

Diriwayatkan dari beberapa ahli ilmu, di antaranya Ibnu Umar, Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Adam, dan Qatadah, yang mana hadits sebagian mereka ada yang masuk ke dalam hadits sebagian yang lainnya, yaitu bahwa pada perang Tabuk ada seorang lelaki dari kalangan munafik yang berkata, "Aku belum pemah melihat orang-orang seperti para ahli qira'at kami ini yang paling menyukai urusan perut, paling pendusta mulutnya, dan paling penakut sewaktu bertemu." yakni Rasulullah beserta para sahabatnya yang ahli qira'at Lalu 'Auf bin Malik pun berkata kepadanya, "Kamu telah berdusta, bahkan kamu adalah seorang munafik. Sungguh, aku akan laporkan kepada Rasulullah ."

Kemudian, 'Auf bergegas menghadap Rasulullah dengan menunggangi ontanya. Begitu sampai, dia pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami bermain-main dan mengobrol bersama rombongan hanya untuk menghilangkan kepenatan perjalanan." Ibnu Umar berkata, "Seolah-olah aku melihatnya bergantung pada pelana onta Rasulullah, namun ada batu yang menghalangi kedua kakinya, dan dia pun berkata, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main."

Lalu Rasulullah berkata kepadanya: "Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" tanpa berpaling kepadanya, tak lebih. Mujahid berkata, salah seorang munafik berkata, Muhammad berkata kepada kami bahwa onta si fulan berada di lembah ini dan ini. Apa memang dia mengetahuinya melalui ke-ghaib-an? Lalu Allah Swt pun menurunkan ayat ini. Ma'mar bin Qatadah berkata, sewaktu Nabi berada di tengah perang Tabuk, sementara serombongan kaum munafik berjalan di depannya sambil berkata, "Apakah orang ini (Muhammad) mengira bisa menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng pasukan Romawi?" Lalu, Allah Swt memberitahu-kan kepada Nabi-Nya atas apa yang telah mereka katakan, dan Nabi pun berkata, "Wajib bagiku untuk memanggil orang-orang tersebut. "4.4 Disampaikan oleh Ibnu Katsir di dalam Tafeir-nya, yaitu tafsir ayat 66 dari surat at-Taubah. (2/368).

Lalu, beliau memanggil mereka dan bertanya, "Apakah kalian mengatakan begini dan begini?" Lalu, mereka pun bersumpah dan berkata, "Tidaklah kami melakukan hal itu, melainkan hanya sebatas bersenda gurau dan bermain- main." Ma' mar juga berkata, al-Kalbi pernah berkata, konon salah seorang dari mereka (kaum munafik) yang tidak ikut terlibat dalam pembicaraan berjalan sambil mencela mereka, lalu turunlah ayat :

"Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)," (at-Taubah: 66).

Di sini dinamakan dengan 'golongan', padahal sebenarnya hanya satu orang saja. Saat orang-orang tersebut mencela Nabi dengan cara mencelanya beserta para sahabatnya dan meremehkan pemberitaannya, maka Allah Swt pun memberitahukan bahwa mereka telah menjadi kafir karenanya. Jika mereka mengucapkan hal itu sebagai bentuk ejekan, lalu bagaimana dengan tindakan yang lebih parah dari itu? Akan tetapi, had (sanksi) terhadap mereka tidak pernah ditegakkan, dikarenakan perintah unruk memerangi ketika itu belum ditetapkan. Bahkan, yang diperintahkan adalah agar beliau membiarkan caci makian mereka itu, di samping memang beliau sendiri telah memaafkan orang-orang yang telah mencelanya dan menyakitinya.


Dalil Keempat:
Petunjuk al-Quran bahwa siapa saja yang mencela Nabi , berarti munafik. Allah Swt berfirman:

"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (at-Taubah: 58)

Allah Swt berfirman:

"Di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." Katakanlah, "la mempercayai semua apa yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang-orang Mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman dl antara kamu." Dan orang-oang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih." (at-Taubah: 61)

Kata al-lamzu dalam ayat ini berarti 'mencela dan mencerca'. Mujahid mengatakan artinya adalah 'menuduh dan menghinakanmu', sedangkan 'Atha mengatakan artinya adalah 'menggunjingmu'. Adapun sebagai petunjuknya, ayat di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakitimu (Nabi ), termasuk golongan mereka (kaum munafik).

Hal itu, mengingat lafazh alladziina dan man adalah dua kata sambung (isim maushul) dan keduanya merupakan bentuk (sighat) umum. Ayat di atas walaupun sebab turunnya karena celaan terhadap suatu kaum dan penghinaan kepada golongan lain, namun hukum keduanya adalah umum seperti pada semua ayat-ayat yang turun berdasarkan adanya sebab (adbaabun nuzuul). Dan menurut sepengetahuan kami tidak ada perselisihan di antara para ulama, bahwa ayat-ayat tersebut berlaku umum bagi orang yang menyebabkan turunnya ayat tersebut dan juga orang-orang yang seperti keadaannya.

Adapun keadaan orang tersebut termasuk golongan kaum munafik, itu merupakan hukum yang berhubungan dengan lafazh yang merupakan derivasi (musytaq) dari kata 'mencela' (al-lamz) dan 'menyakiti' (al-adza), dan dia pun sangat pantas untuk menjadi golongan mereka. Sehingga, kata apa saja yang punya bentuk derivasi, menjadi sebab (illat) bagi hukum tersebut. Maka, hukumnya juga harus bersifat umum. Sesungguhnya Allah Swt, meskipun telah mengetahui kemunafikan mereka sebelum adanya ucapan ini, akan tetapi Nabi-Nya tidak pemah, mengetahui satu per satu orang yang tidak mau menampakkan kemunafikannya. Bahkan, Allah Swt di dalam surat yang sama berfirman:

"Di antara orang-orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka." (at-Taubah: 101)

Selanjutnya, Allah Swt menguji orang-orang tersebut dengan berbagai hal yang bisa membedakan antara orang-orang yang beriman dan orang-orang munafik, sebagaimana Allah Swt berfirman:

"Dan sesungguhnya Allah Swt benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman; dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang munafik." (al-Ankabut: 11)

Dan juga berfirman:

"Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)." (Ali Imran: 179)

Hal itu dikarenakan keimanan dan kemunafikan itu berasal dari dalam hati, sedangkan perkataan ataupun perbuatan yang tampak itu hanya sebagai cabang dan bukti akan isi hatinya. Jika terlihat pada diri seseorang salah satu unsur tersebut, maka tentu diberlakukan hukum (munafik) ini terhadapnya. Maka, ketika Allah Swt memberitahukan bahwa orang-orang yang mencela dan menyakiti Nabi itu berasal dari golongan orang-orang munafik, menjadi nyatalah bahwa itu sebagai dalil (bukti) atas bentuk kemunafikan dan sekaligus sebagai salah satu cabangnya.

Sudah diketahui, bahwa jika cabang dan dalil tentang sesuatu telah terjadi, maka berarti hukum asal yang menunjukkan kepadanya juga telah terjadi. Dari sini terlihat jelas, bahwa di mana saja tindakan mencela dan menyakiti Nabi itu berada, maka pasti pelakunya adalah seorang munafik, baik dia sudah menjadi munafik sebelum ucapannya tersebut atau dia menjadi munafik akibat ucapannya tersebut.
Syubhat (Sanggahan) : Jika dikatakan, mengapa ucapan ini tidak boleh menjadi dalil bagi Nabi atas kemunafikan orang-orang yang dengan lisan mereka sendiri telah mengucapkannya semasa beliau masih hidup, meskipun ucapan ini bukanlah sebagai dalil dari selain mereka?

Jawaban: Kami katakan, jika ucapan ini menjadi dalil bagi Nabi yang sebenarnya bisa saja Allah Swt mencukupkannya dengan wahyu-Nya tanpa harus mencari bukti, maka bagi orang yang tidak mampu mengetahui masalah-masalah yang batin tentunya itu menjadi lebih prioritas dan utama.

Kemudian, jika memang petunjuk tersebut tidak berlaku umum bagi semua orang yang mengatakan ucapan semacam ini, maka tentu di dalam ayat ini tidak pemah ada larangan untuk mengatakan ucapan semacam ini bagi orang-orang selain mereka, juga tidak pemah ada pengagungan terhadap ucapan itu sendiri. Karena, petunjuk mengenai diri seorang munafik, itu terkadang khusus bagi dirinya sendiri, meskipun sebenamya itu adalah perkara yang boleh-boleh saja.

Seperti jikalau di antara orang-orang munafik itu ada yang disebut sebagai 'pemihk onto merah' atau 'pemilik baju hitam' dan lain sebagainya. Ketika al-Quran menunjukkan tercelanya ucapan semacam itu dan ancaman terhadap pengucapnya. Maka, diketahui bahwa yang dimaksudkan al-Quran tidak hanya petunjuk mengenai orang-orang munafik itu sendiri, melainkan juga dalil tentang jenis orang-orang munafik.

Sesungguhnya ucapan semacam ini sangat pantas dihukumi munafik. Karena, mencela dan menyakiti Nabi tidak akan dilakukan oleh seseorang yang meyakini bahwa beliau adalah utusan Allah Swt yang sebenamya, juga bahwa beliau lebih mulia daripada dirinya sendiri, juga bahwa beliau tidak akan mengucapkan selain ucapan yang benar (al-haq) dan tidak akan menghukumi kecuali dengan adil, juga bahwa menaatinya itu semata-mata karena Allah Swt, dan juga bahwa wajib bagi seluruh makhluk yang ada untuk mengagungkan dan memuliakannya. Jika ucapan semacam ini bisa menjadi dalil atas kemunafikan itu sendiri, maka di manapun ucapan ini terjadi, tentu di situlah kemunafikan terjadi.

Dan tidak diragukan lagi, bahwa ucapan semacam ini sangat diharamkan. Dia bisa berbentuk dosa yang tidak berakibat pada kekufuran dan bisa pula berupa kekufuran. Yang pertama dinyatakan batil, karena Allah Swt telah menyebutkan di dalam al-Quran berbagai golongan pelaku maksiat dari mulai pezina, penuduh zina (qaadzif), pencuri, orang yang curang dalam takaran (muthaffif), dan pengkhianat, namun Allah Swt tidak pernah menjadikan hal-hal yang demikian itu sebagai dalil atas kemunafikara secara tertentu maupun mutiak. Ketika para pelontar ucapan-ucapan semacam ini dikategorikan sebagai golongan orang-orang munafik, maka dari situ bisa diketahui bahwa yang demikian itu dikarenakan ucapan semacam ini lebih sebagai bentuk kekufuran, bukan sekadar sebagai kemaksiatan semata.

Hal itu, karena mengkhususkan sebagian perbuatan maksiat dan bukan sebagian lainnya, dengan menjadikannya sebagai dalil atas suatu kemunafikan, tidak akan terjadi sebelum dalil mengenai kemunafikan itu hanya khusus dengan hal-hal yang bisa menimbulkan sifat munafik tersebut. Jika tidak, maka setidaknya dalil tersebut sebagai bentuk pengunggulan yang tanpa tertandingi (tarjiih bilaa murajjah). Dari sini tampak nyata bahwa seharusnya ucapan-ucapan semacam ini hanya khusus dengan sifat yang bisa menjadikannya sebagai dalil tentang kemunafikan akibat suatu kekufuran. Dan, manakala yang terjadi seperti demikian, maka itu tidak lain adalah kekufuran. Sesungguhnya Allah Swt telah menyebutkan beberapa ayat yang dengannya Allah Swt menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang munafik, yaitu firman-Nya:

"Di antara mereka ada yang berkata, "Berilah saya keijinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah." (at-Taubah: 49)

Juga, firman-Nya sebelum ayat tersebut:

"Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, tidak akan meminta ijin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa. Sesungguhnya yang meminta ijin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya" (at-Taubah: 44-45)

Dalam ayat ini, Allah Swt, tanpa diragukan lagi telah menjadikan keengganan orang ini untuk berjihad bersama Rasulullah setelah sebelumnya meminta agar tidak dilibatkan di dalamnya, juga pengakuan seorang yang bisa berdiri bahwa dia sudah tidak sanggup lagi berdiri, padahal alasan yang sebenamya dia tidak mau ikut berperang. Sebagai salah satu simbol umum akan hilangnya keimanan. Maka, tentunya celaan dan penyiksaan yang dilakukannya lebih layak untuk menjadi sebuah dalil umum, dikarenakan yang pertama sebagai penghinaan, sedangkan yang kedua sebagai permusuhan terhadap Nabi , dan hal ini sangat jelas sekali.

Secara tegas dinyatakan bahwa setiap orang yang mencela dan menyakiti Nabi termasuk golongan mereka (yakni: orang-orang munafik), mengingat dhamir (kata ganti) 'hum' sebagaimana yang dimaksud oleh ayat-ayat di atas ditujukan kepada orang-orang munafik dan orang-orang kafir. Maka, ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang di-dhamir- kan di sini adalah orang-orang yang telah mengingkari Allah Swt dan Rasul-Nya. Dan, sungguh orang yang mencela dan menyakiti Nabi telah dikelompokkan sebagai golongan mereka.

Al-Quran telah menyatakan kekufuran orang-orang munafik di dalam banyak tempat, dan menjadikan mereka sebagai golongan orang-orang kafir yang paling buruk keadaannya. Selain itu, al-Quran juga menegaskan bahwa mereka nanti berada di neraka yang paling dasar, dan bahwa mereka pada Hari Kiamat nanti akan berkata kepada orang-orang yang beriman:

"Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahaya-mu." Dikatakan (kepada mereka), "Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)." Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luamya dari situ ada siksa. Orang-orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata, "Bukankan kami dahulu bersama-sama dengan kamu?" Mereka menjawab, "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (syaitan) yang amat penipu. Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir." (Al-Hadid: 13-15)

Akhimya, Allah Swt memerintahkan kepada Nabi-Nya agar tidak menshalati jenazah salah seorang dari mereka dan memberitahukan bahwa Dia tidak akan pemah mengampuni dosa-dosa mereka. Sebaliknya, Dia memerintahkan kepada Nabi-Nya agar memerangi mereka, dan memberitahukan bahwa jika mereka tidak mau berhenti dari kemunafikan mereka, niscaya Allah Swt akan menyuruh Nabi-Nya untuk menghabisi mereka sampai-sampai mereka boleh dieksekusi di sembarang tempat.

Dalil Kelima:
Petunjuk dari berbagai ayat dalam al-Quran bahwa berpaling dari hukum Rasulullah , dan sebaliknya menghendaki untuk berhukum kepada yang selainnya. Itu merupakan bentuk kekufuran dan kemunafikan. Lalu, bagaimana dengan hukum mencaci maki dan mencela beliau? Allah Swt berfirman :

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)

Bukti petunjuknya, sesungguhnya Allah Swt telah bersumpah atas nama Dzat-Nya bahwa mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan Nabi sebagai hakim dalam berbagai persengketaan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka tcrhadap putusannya, bahkan secara zahir dan batin, mereka dengan senang hati menerima putusannya. Pada ayat sebelumnya, Allah Swt berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahaJ mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu tthat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu." (an-Nisa: 60-61)

Di sini, Allah Swt menjelaskan bahwa orang yang diajak untuk berhukum kepada kitab Allah Swt dan sunnah Rasul-Nya, lalu temyata dia malah menentang Rasul-Nya, maka dia dicap sebagai seorang munafik. Lalu, bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan yang sejenisnya? Allah Swt berfirman:

"Dan mereka berkata, "Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami pun ta'at," Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman." (an-Nur: 47)

"Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul mengadili di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit; atau (karena) mereka ragu-ragu atau (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka. Sebenamya, mereka itulah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadiii di antara mereka, ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (an-Nur: 48-51)

Dalil petunjuknya adalah sesungguhnya Allah Swt telah menjelaskan di sini, bahwa orang yang tidak patuh terhadap Rasulullah, dan sebaliknya, berpaling dari hukumnya, itu termasuk golongan orang-orang munafik, dan dia bukanlah seorang yang beriman. Allah Swt juga menjelaskan, bahwa seorang yang beriman adalah orang yang mengucapkan, "Kami mendengar dan kami patuh." Jika kemunafikan bisa muncul, dan sebaliknya, keimanan bisa hilang dengan hanya berpaling dari hukum Rasulullah dan dengan menghendaki untuk berhukum kepada selainnya, padahal yang demikian ini hanya berupa pengabaian semata, dan terkadang disebabkan oleh kuatnya hawa nafsu, lalu bagaimana dengan hukum mencela Nabi , mencacinya dan yang sejenisnya?

Hal itu diperkuat oleh riwayat yang menyebutkan bahwa dua orang lelaki yang saling bertikai menghadap kepada Nabi. Di-takhrij oleh Imam Suyuthi di dalam ad-Durr al-Mantsuur, (2/180), dan beliau menyandarkannya kepada Abu Hatim ar-Razi dan Ibnu Mardawaih. Ibnu Katsir di dalam Tafsir-nya (1/351) berkata, hadits ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Mardawaih dari jalur Ibnu Abi Lahi'ah, dan riwayat ini merupakan sebuah atsar yang gharib lagi mursal. Sedangkan Ibnu Abi Lahi'ah sendiri dinyatakan lemah (dha'if)., lalu beliau memutuskan pihak yang benar atas pihak yang salah. Kemudian, pihak yang dikalahkan tersebut mengatakan ketidakpuasannya. Lalu rivalnya pun berkata, "Apa sebenamya yang kamu inginkan?!" Dia pun menjawab, "Hendaknya kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq." Maka, pergilah keduanya kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu pihak yang dimenangkan itu pun bercerita kepadanya, "Kami membawa pertikaian kami ke hadapan Nabi , lalu beliau memenangkan saya atas dia." Lalu Abu Bakar pun berkata, "Kalian harus menerima apa yang telah diputuskan oleh Nabi " Akan tetapi, pihak yang dikalahkan tetap saja tidak merasa puas dan berkata, "Kita mesti mendatangi Umar bin Khattab."
Lalu, pihak yang menang itu pun bercerita lagi, "Kami telah membawa pertikaian di antara kami kepada Nabi , lalu beliau memenangkan saya atas dia. Namun, dia ini tidak mau menerima putusannya. Lalu, kami pun mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq dan beliau berkata, 'Kalian harus menerima apa yang telah diputuskan Nabi ,' tapi dia masih bersikeras untuk tidak mau terima." Lalu Umar pun bertanya kepada orang yang tidak puas tadi dan dia pun menjawabnya.

Selanjutnya, Umar masuk ke dalam rumah untuk kemudian keluar dengan menghunus sebilah pedang, lalu menghujamkannya ke arah kepala orang yang tidak mau menerima putusan Nabi tersebut. Sehingga, akhimya Allah Swt menurunkan ayat:

"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65)

Hukum riwayat ini mursal, namun dikuatkan oleh riwayat lain dari jalur berbeda yang cukup layak untuk digunakan sebagai petunjuk.

Dalil Keenam:
Petunjuk dari berbagai ayat dalam al-Quran yang menyatakan bahwa orang yang telah menyakiti Rasulullah berarti dia juga telah menyakiti Allah. Dan, hal itu tanpa diperdebatkan lagi merupakan bentuk kekufuran. Allah Swt berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata." (al-Ahzab: 57-58)

Adapun petunjuknya bisa dilihat dari beberapa aspek. Di antaranya:

Pertama. Allah Swt di dalam ayat ini telah menyertai penentangan terhadap Nabi dengan siksaan-Nya, sebagaimana Dia telah menyertakan ketaatan kepadanya (Nabi) dengan ketataan kepada-Nya. Jadi, barangsiapa yang telah menyakiti Nabi , berarti dia telah menyakiti Allah Swt , dan hal itu telah ditetapkan di dalam ayat ini. Lalu, barangsiapa yang telah menyakiti Allah Swt , berarti dia seorang kafir yang halal darahnya.

Hal itu diperjelas lagi bahwasanya Allah Swt telah menjadikan kecintaan kepada-Nya dan Rasul-Nya, juga mencari ridha-Nya dan Rasul-Nya, serta menaati-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal. Allah Swt telah berfirman:

"Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan / keputusan-Nya." Dan Allah tidak member/ petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (at-Taubah: 24)

Dalam beberapa tempat yang berbeda, Allah Swt berfirman, di antaranya:

"Dan ta'atilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat" (Ali Imran: 132)

"Padahal Allah dan Rasul-Nya yang lebih patut mereka cari keridhaannya jika mereka adalah orang-orang yang mukmin." (at-Taubah: 62)

Lalu Allah Swt dengan cara menunggalkan dhamir (kata ganti)nya-juga telah berfirman. Begitu pula, Allah Swt telah menjadikan permusuhan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, juga penentangan terhadap-Nya dan Rasul-Nya, dan kedurhakaan terhadap-Nya dan Rasul-Nya sebagai sesuatu yang tunggal. Allah Swt telah berfirman:

"(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya. (al-Anfat: 13)

"Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah Swt dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. " (al-Mujadalah: 20)

"Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah Swt dan rasul-Nya." (an-Nisa: 14)

Di dalam ayat ini dan yang lainnya terdapat penjelasan tentang saling keterikatan antara dua hak (Allah Swt dan Rasul-Nya), dan bahwa bentuk pemuliaan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya itu merupakan bentuk yang tunggal. Maka, barangsiapa yang telah menyakiti Rasulullah berarti dia telah menyakiti Allah Swt. Dan sebaliknya, barangsiapa yang telah menaati (perintah) beliau, berarti dia telah menaati (perintah) Allah Swt.

Hal itu, karena umat Islam tidak bisa melakukan shalat antara mereka dan Rabb mereka kecuali dengan perantara Rasulullah , dan tidaklah salah seorang mereka mempunyai cara dan sebab yang selainnya. Sungguh, Allah Swt telah memposisikan beliau pada posisi-Nya dalam hal perintah, larangan, pemberitahuan dan penjelasan-Nya. Maka, tidak boleh membedakan antara Allah Swt dan Rasul-Nya dalam salah satu dari semua hal ini.

Kedua, Allah Swt membedakan antara orang yang menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya dan antara orang yang menyakiti kaum Mukminin dan Mukminat. Maka, terhadap tindakan yang terakhir ini, Allah Swt menjadikan orang tersebut telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata, sementara pada tindakan yang pertama Dia menimpakan laknat terhadap orang tersebut di dunia dan akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Diketahui bahwa menyakiti kaum Mukminin terkadang digolongkan ke dalam dosa-dosa besar dan mengharuskan pelakunya didera. Dan, tidak ada yang melebihi dosa tersebut selain melakukan kekufuran dan membunuh.

Ketiga, Sesungguhnya Allah Swt di sini menuturkan bahwa Dia telah melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. Melaknat artinya menjauhkan mereka dari rahmat-Nya,dan barangsiapa yang Dia jauhkan dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat, maka tidak lain dia adalah seorang yang kafir. Sedangkan seorang Mukmin pada beberapa kesempatan akan didekatkan kepada rahmat-Nya dan tidak dihalalkan darahnya. Karena, suntikan darah ini merupakan rahmat yang amat besar dari Allah Swt , sehingga orang yang dilaknat tersebut tidak berhak mendapatkan suntikan darah ini. Hal itu diperkuat oleh firman Allah Swt :

"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya, dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebat-hebatnya." (al-Ahzab: 60-61)

Dalam ayat ini, 'penangkapan dan pembunuhan terhadap mereka' sebagai penjelasan sifat 'pelaknatan terhadap mereka' dan sebagai penyebutan hukumnya. Maka, dia tidak memiliki kedudukan i'rab dan tidak pula sebagai bentuk 'haal' yang kedua. Karena, jika mereka menjadi tetangga Nabi dalam keadaan terlaknat, lalu tidak tampak adanya dampak pelaknatan terhadap mereka di dunia, maka berarti di situ tidak ada ancaman terhadap mereka, padahal laknat tersebut nyata sebelum dan setelah adanya ancaman ini.

Maka, sudah seharusnya penangkapan dan pembunuhan ini menjadi salah satu dampak pelaknatan yang telah diancamkan kepada mereka. Sehingga, penangkapan dan pembunuhan ini menjadi hak orang yang telah dilaknat oleh Allah Swt di dunia dan akhirat. Hal itu juga diperkuat oleh firman Allah Swt :

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepadajibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)

Seandainya orang tersebut dilindungi darah atau keamanannya, niscaya wajib bagi kaum Muslimin untuk menolongnya dan dia pun berhak mempunyai penolong. Diperjelas lagi, bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan laknat terhadap Ibnu al-Asyraf, yang di antara laknat tersebut adalah dia dibunuh karena telah menyakiti Allah Swt dan Rasul-Nya.

Syubhat (bantahan/sanggahan) Tentang Adanya Laknat Terhadap Orang yang Tidak Boleh Dibunuh. Ketahuilah, sesungguhnya hal ini tidak disangkal lagi bahwa Allah telah melaknat orang yang tidak boleh dibunuh. Hal itu lebih dikarenakan bcberapa faktor berikut ini:

Pertama, bahwa berkaitan dengan orang ini telah dikatakan, "Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat." Maka, di sini Allah menjelaskan bahwa Dia telah menjauhkan orang tersebut dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat. Dan, berkenaan dengan seluruh orang yang terlaknat, sebenarnya telah dikatakan pula, "Allah akan melaknatinya," atau, "kepadanya laknat Allah." Hal itu terrealisir dengan dijauhkannya mereka dari rahmat Allah dalam beberapa kesempatan. Hanya saja, Allah membedakan antara orang yang dilaknati-Nya atau yang kepadanya ditimpakan laknat yang abadi dan bersifat umum dan membedakan antara orang yang telah dilaknatnya dengan laknat yang mutiak.

Kedua, bahwa seluruh orang-orang yang telah dilaknat oleh Allah di dalam kitab-Nya semisal orang-orang yang menyembunyikan sesuatu dari al-Kitab yang telah diturunkan oleh Allah , juga semisal orang-orang zalim yang merintangi dakwah di jalan Allah (fi sabilillah) dan sebaliknya menghendaki jalan tersebut menjadi bengkok, dan juga semisal orang yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja itu bisa jadi dia seorang kafir atau seorang yang dihalalkan darahnya. Berbeda dengan sebagian orang yang telah dilaknat dalam Sunnah Rasulullah .

Ketiga, bahwa ungkapan (sighat) ini sebagai pemberitahuan tentang laknat Allah terhadapnya. Oleh karena itu, kalimat, "... dan Dia menyediakan bagi mereka siksa yang menghinakan. " di-'athaf-kan atau disertakan kepadanya. Scdangkan seluruh orang-orang terlaknat yang tidak boleh dibunuh dan tidak menjadi kafir, sebenarnya mereka telah dilaknat dalam bentuk ungkapan doa, semisal sabda Nabi :

"Semoga Allah melaknat orang yang telah merubah penunjuk jalan. " Imam Muslim dalam pembahasan tentang hewan kurban, (3/1567); Nasa'i (7/232); dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (1/108). "Semoga Allah melaknat seseorang yang mencuri. " Imam Muslim dalam pembahasan sanksi (hudud) (3/1314); dan Ibnu Majah (2/862). Dan: “Semoga Allah melaknat pemakan hasil riba dan pemberinya." Imam al-Bukhari dalam pembahasan tentang jual beli (4/314); Imam Muslim dalam pembaahasan tentang Musaaqah (3/1219); dan At-Tirmidzi (3/513). Dan lain sebagainya. Akan tetapi, pemyataan semacam ini dibantah oleh firman Allah :

"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar." (an-Nur: 23)

Karena, dalam ayat ini Allah menyebutkan laknat terhadap mereka itu terjadi di dunia dan akhirat, mengingat sekadar menuduh berzina saja itu tidak bisa dikatakan sebagai kekufuran dan juga tidak sampai menghalalkan darah si penuduhnya.

Sedangkan jawaban terhadap kedua ayat ini melalui dua cara, yaitu secara global (mu/ma/) dan secara terperinci (mufasshal). Adapun jawaban secara global (mujmal), adalah bahwa menuduh berzina seorang Mukmin saja merupakan salah satu hal yang bisa menyakitinya, dan jika temyata dia berbohong, maka itu adalah suatu kebohongan yang sangat besar. Sebagaimana Allah telah berfirman

"Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu, "Sekali-kali tidaklah pantos bagi kita memperkatakan ini. Mahasuci Engkau (ya Rabb kami), ini adalah dusta yang besar. " (an-Nur: 16)

Sungguh, al-Quran telah menetapkan perbedaan antara menyakiti Allah dan Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum Mukminin. Allah berfirman:

"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. " (al-Ahzab: 57-58)

Maka, sebatas menyakiti kaum Mukminin tanpa haq saja tidak boleh . dijadikan sebagai penyebab adanya laknat Allah di dunia dan akhirat dan turunnya siksa yang menghinakan. Sebab, jikalau demikian adanya, berarti tidak dibedakan antara menyakiti Allah dan Rasul-Nya dan antara menyakiti kaum Mukminin, dan juga tentunya laknat Allah tersebut tidak dikhususkan bagi orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Namun, di sini balasan bagi orang yang menyakiti kaum Mukminin adalah bahwa dia akan menanggung kebohongan dan dosa yang sangat nyata. Sebagaimana firman Allah dalam tempat yang berbeda:

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata." (an-Nisa: 112)

Sedangkan jawabannya secara terperinci bisa melalui tiga aspek: Aspek pertama, bahwa ayat ini turun berkaitan dengan istri-istri Nabi menurut pendapat mayoritas ulama. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas pemah menafsirkan surat an-Nur. Ketika beliau sampai pada ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar," (an-Nur: 23), beliau berkata, "Ayat ini turun berkenaan dengan 'Aisyah beserta para istri Nabi pada khususnya, dia masih berbentuk samar (mubham) dan tidak ada taubat (pengampunan dosa) di dalamnya.

Sedangkan bagi orang yang menuduh berzina terhadap seorang wanita Mukminah, sungguh Allah telah memberikan pintu taubat baginya." Lalu, beliau (Ibnu Abbas) membaca ayat, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya)." (an-Nur: 4-5).

Maka, orang-orang yang tersebut dalam ayat ini masih diberi pintu taubat, sedangkan orang-orang yang tersebut dalam ayat sebelumnya (an-Nur: 23) tidak diberi kesempatan untuk bertaubat. Selanjutnya Ibnu Abbas bercerita, kemudian seorang lelaki pun bergegas untuk berdiri, lalu mengecup kepalanya karena terkagum atas apa yang telah beliau tafsirkan.

Ibnu Abbas , telah menjelaskan bahwa ayat ini (an-Nur: 23) turun hanya berkaitan dengan orang yang menuduh 'Aisyah berzina beserta para istri Nabi lainnya, mengingat menuduh mereka berzina itu sarna dengan mencerca dan mencela Nabi sendiri. Karena, menuduh seorang istri berzina berarti menyakiti suaminya, sebagaimana hal itu juga menyakiti anaknya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abul Jauza' berhubungan dengan ayat ini, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat." (an-Nur: 23). Beliau berkata, ayat ini hanya khusus bagi Ummahatul Mukminin (para istri Nabi ).

Bukti dalilnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu, yaitu bahwa laknat Allah di dunia dan akhirat itu tidak terjadi hanya cukup dengan dosa karena menuduh orang lain berzina (qadzaf). Sehingga, huruf 'a/' dalam firman Allah , "Wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman," ini untuk me-ma'rifah-kan yang bersangkutan, dan mereka adalah para istri Nabi , mengingat pembicaraan di sini seputar hadits al-ifk (dusta) dan peristiwa yang menimpa Ummul Mukminin, 'Aisyah , atau tentang pembatasan lafazh umum hanya kepada sebabnya saja, mengingat adanya dalil yang mengharuskan hal itu.

Pendapat ini diperkuat lagi, bahwa Allah telah mengurutkan ancaman ini atas tuduhan berbuat zina kepada para wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, dan Dia telah berfirman di awal surat, "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) danmereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." (an-Nur: 4).

Di sini, Allah mengurutkan hukuman dera, penolakan kesaksian dan kcfasikan hanya scmata-mata karena menuduh para wanita yang baik-baik berbuat zina. Maka, sudah semestinya jika para wanita yang baik-baik, yang Icngah lagi beriman memiliki keistimewaan atas para wanita yang baik-baik saja. Hal itu dikarenakan para istri Nabi tidak diragukan lagi keimanan mereka, mengingat mereka adalah Ummahatul Mukminin (ibunya kaum Mukminin), di samping mereka adalah para istri Nabi di dunia dan akhirat.

Sedangkan kebanyakan para wanita Muslimat biasanya hanya diketahui keimanan mereka secara zahir saja. Ketahuilah, bahwa ayat ini (an-Nur: 4) juga menjadi hujjah seperti halnya ayat tersebut (an-Nur: 23) berdasarkan pendapat ini. Karena, ketika menuduh para istri Nabi itu sama saja dengan menyakti Nabi , maka tentu pelakunya juga dilaknat di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, "Di dalamnya tidak ada taubat." Karena, seorang yang menyakiti Nabi itu tidak diterima taubatnya, sewaktu dia bertaubat dan menuduh tersebut, sehingga dia hams masuk Islam mulai dan awal lagi. Atas dasar inilah, maka menuduh para istri Nabi telah berbuat zina adalah bentuk kemunafikan yang bisa menghalalkan darah si pelakunya, jika dengan menuduh itu dia bermaksud menyakiti Nabi , atau bermaksud menyakiti para istri Nabi karena mengetahui bahwa mereka adalah para istri Nabi di akhirat nanti. Sesungguhnya tidak seorang pun istri Nabi yang dilaknat.

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa menuduh mereka berbuat zina sama saja menyakiti Nabi , adalah hadits al-ifk yang telah ditakhrij oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim di dalam ash-Shahiihain dari Aisyah yang berkata: "Lalu Rasulullah pun berdiri dan merasa berhalangan untuk membunuh Abdullah bin Ubay bin Salul. Kemudian Rasulullah berkhutbah di atas mimbar:

"Wahai kaum Muslimin, siapakah yang mau memaafkanku terhadap seseorang (maksudnya: Abdullah bin Ubay bin Salul) yang menyakitiku dalam urusan keluargaku?! Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui keluargaku selain kebaikan, dan sungguh mereka telah menyebutkan seorang lelaki yang tidak kuketahui selain orang yang baik, dan dia tidak pernah menemui keluargakau kecuali bersamaku."9 .Lalu, Sa'ad bin Mu'adz al-Anshari berdiri seraya berkata, "Aku memaafkanmu dari orang tersebut, wahai Rasulullah, jika dia berasal dari suku Aus, maka kami pasti telah memenggal lehemya, dan jika dia berasal dari suku Khazraj yang merupakan saudara-saudara kami, maka cukup engkau memerintahkan kepada kami, niscaya akan kami laksanakan perintahmu."
9.D\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab asy-Syahadat (5/294, 319), hadits no. 2637, 2661; Imam Muslim di dalam kitab at-Taubah, (4/2133); dan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (6/196).

Perkataan Nabi H'man yu'dzirunii" di sini berarti, "Siapakah yang mau memperlakukanku secara adil dan memaafkanku jika aku berlaku adil terhadap orang tersebut ketika dia menyakitiku dalam urusan keluargaku sedangkan Allah berada di pihak keluargaku?" Di sini, nyatalah bahwa Nabi sangat tersakiti dengan tindakan orang tersebut, namun beliau merasa berhalangan untuk membunuhnya. Lalu, kaum Mukminin yang tidak terbawa arus berkata, "Perintahkanlah kepada kami, niscaya kami akan memenggal leher mereka, karena kami akan memaafkanmu jika engkau memerintahkan kami untuk memenggal leher mereka." Dan, Nabi tidak melarang Sa'ad ketika dia minta diperintahkan untuk memenggal leher para pemfitnah tersebut. Dan, beliau bersabda, "Sesungguhnya kamu akan dimaafkan jika melakukan hal itu. "

Syubhat Bahwa Sebagian Orang-Orang yang Terlibat dalam Haditsul Ifk Tidak Pernah Dibunuh dan Dihukumi Munafik. Persoalan yang tersisa adalah bahwa di antara orang-orang yang terlibat dalam hadits al-ifk ini ada yang bemama Misthah, Hassan, dan Hirnnah, dan mereka ini tidak pemah dihukumi munafik, di samping Nabi sendiri tidak pemah membunuh seorang pun karena sebab ini. Hanya saja, terjadi perselisihan dalam hal hukuman dera terhadap mereka.

Jawaban: Bahwa orang-orang tersebut tidak pemah bermaksud menyakiti Nabi , dan tidak pemah terlihat adanya bukti mereka mcnyakitinya. Maksudnya, tidak pernah ada, baik melalui ucapan maupun tindakan mereka, yang menunjukkan bahwasanya mereka bermaksud menyakiti Nabi . Akan tetapi, maksud semacam itu ada pada diri Ibnu Ubay. Kemudian, barangsiapa yang menuduh para istri Nabi berbuat zina setelah tahu mereka adalah para istri Nabi di akhirat nanti, maka dia adalah seorang kafir lagi zindiq yang sungguh bermaksud menyakiti Allah dan Rasul-Nya.

Berbeda dengan Ibnu Ubay yang sebenarnya hanya bermaksud menyakiti Nabi. Kemudian, pada waktu itu mereka belum pernah tahu bahwa istri-istri beliau di dunia adalah mereka yang menjadi istri-istri beliau di akhirat nanti, di samping peristiwa semacam itu secara rasio mungkin saja terjadi pada istri-istri Nabi . Karena itu, Nabi memilih sikap diam dalam menanggapi masalah ini hingga beliau meminta pendapat Ali dan Zaid, dan bahkan sampai bertanya kepada Barirah. Lalu, Nabi tidak mau memvonis munafik orang-orang yang tidak pemah bermaksud menyakiti beliau, karena mungkin saja beliau menceraikan istrinya yang tertuduh itu (dalam hal ini adalah Aisyah). Adapun setelah nyata bahwa mereka adalah para istri beliau di akhirat nanti, dan bahwa mereka adalah Ummahatul Mukminin (ibu bagi kaum Mukminin), maka menuduh mereka berbuat zina berarti sama saja menyakiti beliau dalam keadaan apa pun. Karena itu, tidak boleh terjadi perzinaan dengan mereka, sebab hal itu berarti membolehkan Nabi tinggal serumah atau berumah tangga dengan seorang wanita pelacur, dan juga berarti ibu bagi kaum Mukminin dicap sebagai pelacur, dan yang semacam ini adalah batil. Oleh karena itu, Allah berfirman:

"Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman." (an-Nur: 17)

Aspek kedua, bahwa ayat ini (an-Nur: 23) berlaku umum. Adh-Dhahhak berkata, yang dimaksud dengan 'wanita-wanita' di dalam firman Allah , "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)." (an-Nur: 23), adalah para istri Nabi saja. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa wanita-wanita tersebut adalah para istri kaum Mukminin secara umum. Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, "Menuduh para wanita yang baik-baik termasuk di antara hal-hal yang bisa menyebabkan adanya laknat Allah di dunia dan akhirat dan turunnya azab (siksa) yang sangat besar. Kemudian beliau membacakan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)."

Dan ini adalah pendapat kebanyakan orang dan zahir dari khitab Allah di sini, yaitu bahwa ayat ini berlaku umum bagi seluruh istri kaum Mukminin. Sehingga, ayat ini hams diberlakukan secara umum, karena tidak ada alasan yang bisa membuatnya berlaku khusus bagi para istri Nabi. Dan berdasarkan kesepakatan ulama, ayat ini tidak hanya terkhusus pada sebabnya saja. Hal itu, karena memberlakukannya terhadap seluruh istri Nabi|, selain Aisyah, termasuk bentuk keumumannya, mengingat pemberlakuan hukum tersebut bukan merupakan sebab turunnya ayat ini.

Selain itu, juga karena lafazh yang dipakai di sini berbentuk jamak (plural), sedang sebab turunnya hanya berkenaan dengan satu orang saja (yakni: Aisyah). Di samping itu, juga karena membatasi keumuman ayat-ayat al-Quran hanya pada sebab-sebab turunnya semata, itu adalah suatu kesalahan. Sebab, kebanyakan ayat-ayat al-Quran turun dengan sebab-sebab yang menuntut keumumannya. Dan sebagaimana sudah diketahui, bahwa tidak ada satu pun ayat al-Quran yang dibatasi pemberlakuannya hanya pada sebab turunnya semata.

Perbedaan antara kedua ayat (an-Nur: 4) dan (an-Nur: 23) adalah bahwa ayat yang pertama menyebutkan sanksi-sanksi yang diberlakukan kepada para penuduh yang sudah mukallaf berupa hukuman dera, penolakan kesaksian dan pem-fasikan. Sedangkan ayat kedua menjelaskan tentang hukuman yang berasal langsung dari Allah, yaitu turunnya laknat Allah di dunia dan akhirat dan juga siksa yang sangat besar.

Terdapat riwayat yang tidak sedikit dari Nabi dan dari para sabahatnya, bahwa menuduh para wanita yang baik-baik berbuat zina termasuk salah satu dosa besar. Dan redaksi yang ada dalam ash-Shahih adalah, "Menuduh para wanita yang baik-baik yang lengah lagi beriman.” Sebagian ulama ada yang menakwilkan ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina)," kepada makna ini, untuk selanjutnya mereka berselisih pendapat sebagai berikut; Fathul Ban, pembahasan tentang wasiat, (5/462), hadits no. 2766. D\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam pembahasan tentang iman, (1/92). Abu Daud dalam pembahasan tentang wasiat, hadits no. 2874.

Abu Hamzah ats-Tsumali berkata, "Kami mendengar bahwa ayat ini turun di tengah orang-orang musyrik di Makkah, yaitu jika seorang wanita keluar dari Makkah untuk berhijrah ke Madinah guna menghadap Rasulullah, maka orang-orang musyrik dari penduduk Makkah menuduhnya telah berbuat zina, dan mereka mengatakan bahwa wanita tersebut keluar dari Makkah hanya untuk berzina.

Berdasarkan hal inilah, orang yang telah menuduh para wanita Mukminat berbuat zina yang akhimya menghalangi mereka untuk beriman kepada Nabi , sementara di balik itu dia bermaksud mencela kaum Mukminin agar supaya orang-orang menjauhi ajaran Islam, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin al-Asyraf, dan atas dasar ini pula, maka barangsiapa yang melakukannya, berarti dia adalah seorang kafir dan hukumnya disetarakan dengan orang yang mencaci maki Nabi. Dan orang-orang semacam ini lebih menyerupai orang-orang yang mencaci maki para wanita yang memakai cadar pada masa kita sekarang, dan mereka menuduh para wanita tersebut hanya menggunakan cadar sebagai kedok untuk melakukan berbagai kejahatan, dan ini adalah caci makian yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang dari cadar, dan juga merintangi para wanita tersebut untuk menggunakan hijab yang merupakan syariat Allah tlf kepada para wanita Muslimah. Renungkanlah!

Di antara ulama ada yang memberlakukan ayat ini secara zahir dan umum, mengingat sebab turunnya dipicu adanya tuduhan kepada Aisyah bahwa dia telah berbuat serong. Di antara orang-orang yang menuduh tersebut ada yang beriman dan ada yang munafik. Dan, sudah seharusnya sebab turunnya ayat (sababun nuzul) ini berlaku umum, mengingat tidak ada alasan yang membuatnya berlaku khusus. Jawaban atas persoalan ini adalah bahwa Allah berfirman di sini, "Mereka kena laknat di dunia dan akhirat," (an-Nur: 23) dalam bentuk binaa al-fi'li lil-mafuul atau binaa lil-majhuul, tanpa disebutkan siapa yang melaknat mereka (la'in).

Sementara pada ayat tentang orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Dia berfirman, "Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat," (al-Ahzab: 57) dengan menyebutkan siapa yang melaknat mereka (fa'il). Jika yang melaknat mereka (fa'il) tidak disebutkan di sini, berarti siapa saja selain Allah , baik dari golongan malaikat ataupun manusia, boleh melaknat mereka. Juga, berarti boleh saja Allah melaknat mereka pada suatu ketika, lalu sebagian makhluk-Nya melaknat mereka pada waktu yang berbeda.

Dan, juga berarti boleh saja Allah menimpakan laknat kepada salah seorang mereka, yaitu orang yang tuduhannya bertujuan untuk mencerca agama, sementara makhluk-Nya menimpakan laknat kepada orang-orang yang selainnya. Jika orang yang melaknat tersebut adalah seorang makhluk, maka bentuk laknatnya bias berupa doa jelek kepada mereka, dan bisa dalam artian 'agar mereka dijauhkan dari rahmat Allah .

Kesemuanya ini termasuk di antara sebab-sebab yang membuat seorang penuduh tersebut dilaknat. Dan di antara sebab-sebab yang membuatnya dilaknat, adalah dia didera (80 kali), ditolak kesaksiannya, dan dihukumi sebagai orang fasik, mengingat hal itu sebagai hukuman dan penjauhan baginya dari rasa aman dan diterima, yaitu dari rahmat Allah. Yang demikian ini, berbeda dengan orang yang diberitakan Allah telah dilaknat-Nya di dunia dan akhirat, mengingat laknat Allah kepadanya bisa menyebabkan hilangnya pertolongan baginya dari segala arah, dan jauhnya dia dari sebab-sebab rahmat di dunia dan akhirat.

Kemudian, di antara dalil yang bisa menguatkan perbedaan ini, adalah bahwa Allah telah berfirman di sini, "... dan Dia (Allah) menyiapkan bagi mereka siksa yang menghinakan. " Dan, ungkapan di dalam al-Quran tentang penyiapan siksa yang menghinakan tidak pernah diperuntukkan selain bagi orang-orang kafir saja. Firman Allah, "Dan untuk orang-orang yang kaflr siksaan yang menghinakan." (al-Baqarah: 90), dan firman-Nya, "Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan," (an-Nisa: 37). Adapun ayat tentang siksa yang sangat besar, maka ada yang berbentuk ancaman bagi orang-orang yang beriman, seperti firman Allah: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil." (al-Anfal: 68) Dan firman-Nya: "Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu." (an-Nur: 14)

Juga, ada yang berupa ancaman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya, "Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, " (al-Maidah: 3). Lalu, ada pula yang berupa ancaman bagi orang yang membunuh, ".dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya," (an-Nisa: 93). Ancaman semacam ini juga terdapat dalam firman Allah: "Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan bagimu azab yangpedih." (an-Nahl: 94) Sungguh, Allah telah berfirman: "Dan Barangsiapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya." (al-Hajj: 18)

Hal itu karena penghinaan sama saja dengan perendahan, pengejekan dan peremehan, dan itu sebagai beban tambahan atas pedihnya siksa ter-sebut. Hanya terkadang seorang yang mulia itu disiksa, tapi tidak dihinakan. Ketika dalam ayat ini (al-Ahzab: 57), Allah tH berfirman, "... dan Dia menyiapkan bag! mereka siksa yang menghinakan." Maka, dari situ bisa diketahui bahwa yang demikian itu termasuk jenis siksa yang diancamkan kepada orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sedangkan ketika Dia berfirman pada ayat tersebut, "... dan bagi mereka adalah siksa yang sangat besar," (an-Nur: 23), maka bisa saja hal itu termasuk jenis siksa yang terdapat di dalam ayat, ". . . niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu, " (an-Nur: 14).

Adapun dari sisi lain, maka siksa yang menghinakan ini hanya dipersiap-kan bagi orang-orang kafir saja. Karena, Neraka Jahanam diciptakan hanya untuk mereka, mengingat mereka harus masuk ke dalamnya dan tidak akan pemah lagi dikeluarkan darinya. Berbeda dengan orang-orang yang mendapat ancaman dari kalangan kaum Muslimin, maka bisa saja mereka tidak jadi masuk ke dalamnya, jika dosa-dosa mereka telah diampuni. Dan, kalaupun mereka jadi memasukinya, maka pasti mereka akan keluar darinya meskipun itu setelah beberapa saat lamanya.


Dalil Ketujuh
Mengangkat suara melebihi suara nabi saja, sipelakunya di khawatirkan bisa menjadi kufur karenanya, maka tentunya menyakiti beliau secara sengaja itu lebih kufur lagi. Allah berfirman :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari." (al-Hujurat: 2)

Dalil perunjuknya adalah bahwa Allah telah melarang mereka untuk meninggikan suara mereka melebihi suara Nabi , dan juga melarang untuk mengeraskannya seperti halnya sebagian dari mereka ada yang telah mengeraskan suara kepada sebagian yang lain. Karena, meninggikan dan mengeraskan suara ini terkadang menyebabkan terhapus atau batalnya amalan, tanpa disadari oleh pelakunya.

Sesungguhnya Allah menjadikan alasan di balik larangan mengeraskan suara ini, adalah semata-mata agar bisa terkabulnya suatu amalan, mengingat amalan tersebut bisa terhapus karena melakukan suatu kekufuran. Allah berfirman: "Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati da/am kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat...." (al-Baqarah: 217) Allah juqa berfirman: "Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya .,.." (al-Maidah: 5)

Jika telah nyata bahwa meninggikan suara melebihi suara Nabi dan mengeraskan ucapan dikhawatirkan bisa menyebabkan pelakunya menjadi kafir tanpa sadar, dan juga membuat amalannya menjadi batal, dan bahwa hal itu diduga kuat sebagai pendorong terjadinya semua itu, atau bahkan sebagai penyebab yang sebenarnya, maka bisa dimaklumi bahwa larangan tersebut seyogianya dimaksudkan untuk memuliakan, menghormati, serta mengagungkan beliau, dan bahwa meninggikan suara terkadang bisa menyakiti dan meremehkan beliau, meskipun pelakunya tidak pemah bermaksud demikian.

Jika menyakiti dan meremehkan Nabi yang merupakan buah dari budi pekerti yang jelek saja meski pelakunya tidak bermaksud demikian bisa disebut kufur, maka tentunya menyakiti dan meremehkan Nabi dengan cara disengaja lebih layak disebut kufur.

Dalil Kedelapan:
Adanya ancaman bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu menjadi kafir dan musyrik, mengingat hal itu mengandung unsur peremehan terhadap Nabi. Maka, tentunya orang yang mencela beliau lebih layak untuk diancam demikian. Allah berfirman:

"Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih."(an-Nur:63)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang yang menyelisihi perintah-Nya agar merasa takut akan terjadinya fitnah. Dan, yang dimaksud dengan fitnah di sini adalah murtad dan syirik. Firman Allah , "Dan perangi/ah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi ...," (al-Baqarah: 193). Juga firman-Nya, "Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh," (al-Baqarah: 217). Juga firman-Nya, "Kalau (Yatsrib) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya; dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat," (al-Ahzab: 14).

Dalil petunjuknya, bahwa orang yang menyelisihi perintah Nabi itu diancam menjadi kafir dan musyrik, atau akan ditimpa azab yang pedih.Dan, sudah diketahui bahwa yang menyebabkannya diazab itu hanya karena dia melakukan perbuatan maksiat. Sedangkan yang bisa menyebabkannya menjadi kafir tidak lain karena sewaktu melakukan maksiat tersebut dia mengikutinya dengan unsur peremehan terhadap Nabi , seperti yang pernah dilakukan oleh Iblis terhadap Nabi Adam .

Lalu, bagaimana dengan perbuatan yang lebih berat daripada hal itu, semisal mencaci maki dan mencela Nabi dan yang sejenisnya? Dalam riwayat Fadhal bin Ziyad, Imam Ahmad berkata, "Aku membaca Mushaf (al-Quran) dan mendapati ayat tentang ketaatan kepada Rasulullah terdapat di 33 tempat." Kemudian beliau membaca ayat, "... maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih," (an-Nur: 63). Beliau berulang-ulang kali membacanya dan bertanya-tanya apakah yang dimaksud dengan fitnah di sini? Yaitu syirik (menyekutukan Allah ). Bisa saja kalau dia menolak sebagian firman-Nya akan timbul di dalam hatinya suatu keraguan, sehingga membuat hatinya bimbang dan menghancurkannya. Lalu, beliau pun bergegas membaca ayat, "Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya," (an-Nisa: 65).

Dalil Kesembilan:
Petunjuk al-Quran tentang keharaman menikahi para istri Nabi ,mengingat di dalamnya terkandung unsur menyakiti Nabi dan merusak kehormatannya. Dan, sungguh terdapat sunnah yang menyatakan bahwa orang yang melakukan hal itu harus dibunuh. Jika memang demikian, maka tentunya orang yang mencaci maki Nabi lebih berhak untuk dibunuh. Allah telah berfirman:

"Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah." (al-Ahzab: 53)

Dalil petunjuknya, bahwa diharamkan bagi umat Islam untuk menikahi para istri Nabi setelah beliau wafat, dikarenakan hal itu bisa menyakiti beliau. Juga, bahwa dijadikan dosa dari tindakan tersebut amat besar di sisi Allah , itu semata-mata demi menghormati beliau. Disebutkan bahwa ayat ini turun pada saat ada orang yang berkata, "Jikalau Rasulullah meninggal nanti, aku akan menikahi Aisyah." Kemudian ditegaskan bahwa orang yang menikahi para istri Nabi hukumannya adalah dibunuh. Hal itu, sebagai balasan atas tindakannya yang telah merusak kehormatan Nabi . Jika demikian halnya, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau lebih berhak untuk dibunuh.

Di antara dalil lain yang menyatakan tentang dibunuhnya orang yang merusak kehormatan Nabi , karena menikahi salah seorang istri beliau, adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya dari Anas , bahwa pernah ada seorang lelaki yang mengaku berzina dengan salah seorang istri Nabi , lalu beliau berkata kepada Ali , "Pergilah dan penggal leher orang itu." D\-takhrij oleh Muslim dalam pembahasan tentang taubat, (4/2139). D\-takhrij pula oleh Hakim di dalam al-Mustadrak dalam pembahasan tentang mengenali para sahabat Nabi, (4/40).

Kemudian, Ali pun berangkat mendatangi orang tersebut, dan ternyata dia sedang berada di suatu pojok ruangan sambil mencaci maki. Lalu Ali berkata kepadanya, "Keluarlah!" Ali pun merengkuh tangannya dan mengeluarkannya. Namun, ternyata dia adalah seorang lelaki yang terpotong kemaluannya. Maka, Ali pun mengurungkan niatnya, lalu segera menghadap Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia adalah seorang lelaki yang terpotong kemaluannya." Di sini, Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki ini ketika dia merusak kehormatan beliau dengan mengaku telah berzina dengan salah seorang istri Nabi, dan beliau pun tidak menyuruh untuk diberlakukan sanksi (had) zina terhadapnya. Sebab, jika yang diberlakukan sanksi zina, maka berarti yang terjadi bukan pemenggalan kepala. Melainkan, jika dia seorang muhshan (sudah menikah tetapi berzina-ed.), maka dia harus dirajam, sedangkan bila dia bukan muhshan, maka dia harus didera (dicambuk) 100 kali.

Di samping itu, sanksi zina ini tidak bisa dijatuhkan tanpa adanya empat orang saksi atau pengakuan yang terpecaya. Dari sini bisa diketahui, bahwa ketika Nabi memerintahkan untuk memenggal leher lelaki tersebut, tanpa ada rincian apakah dia seorang muhshan atau bukan, Itu tidak lain dikarenakan orang tersebut telah merusak kehormatan beliau. Dan, bisa saja ada dua orang saksi yang telah bersaksi di sisi beliau, bahwa mereka telah melihat lelaki tersebut mempergauli istri Nabi , atau bersaksi dengan yang semisalnya, sehingga beliau pun memerintahkan untuk membunuh lelaki tersebut.

Namun, ketika terbukti bahwa lelaki tersebut tidak memiliki kemaluan (terpotong zakarnya), maka secara pasti diketahui bahwa kerusakan atau perzinaan tersebut tidak mungkin diperbuat lelaki tersebut. Atau, bahwa beliau telah mengutus Ali untuk mengklarifikasi kisahnya, yang mana jika ternyata apa yang beliau dengar dari pengakuan lelaki tersebut benar, maka Ali harus membunuhnya.

Kemudian terdapat riwayat lain, bahwa Nabi telah menikahi Qailah binti Qais bin Ma'dikarib, saudara perempuan dari al-Asy'ats. Namun, Nabi lebih dulu wafat sebelum sempat mempergaulinya dan sebelum dia pun menghadap kepada beliau. Dikatakan, sesungguhnya Nabi telah memberi pilihan kepadanya antara dia diwajibkan memakai hijab dan haram dinikahi oleh kaum Mukminin, dan antara dia dicerai lalu boleh menikah lagi dengan lelaki mana pun yang dikehendakinya. Maka, Qailah pun memilih untuk menikah lagi.

Maksudnya, dia minta diceraikan. Para perawi berkata, setelah Nabi meninggal, wanita ini (Qailah) dinikahi oleh Ikrimah bin Abu Jahal di Hadhramaut, dan Ikrimah pun mengabarkan hal itu kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar berkata, "Sungguh, aku ingin sekali membakar mereka berdua di dalam rumah mereka." Namun, Umar pun menimpali, "Dia (Qailah) tidak termasuk ibu bagi kaum Mukminin (Ummahatul Mukminin), dan Nabi pun belum sempat mempergaulinya, dan dia juga tidak diwajibkan memakai hijab." Dikatakan, sesungguhnya dia telah murtad (keluar dari agama Islam), lalu Umar pun berdalih kepada Abu Bakar bahwa dia bukan termasuk di antara istri-istri Nabi akibat kemurtadannya tersebut.

Dalil petunjuknya, Abu Bakar ash-Shiddiq bertekad membakar Qailah dan lelaki yang menikahinya (Ikrimah), ketika beliau menganggap bahwa dia termasuk di antara istri-istri Nabi , hingga akhimya Umar bin Khattab mendebatnya bahwasanya dia bukan termasuk di antara istri-istri Nabi , dan mencegah niat Abu Bakar tersebut terhadap mereka. Dari sini bisa diketahui, bahwa mereka berpendapat untuk membunuh orang yang merusak kehormatan Nabi dengan cara menikahi istri beliau.


PEMBAHASAN KEDUA
Dalil-Dalil dari As-Sunnah Bahwa Mencaci Maki Bisa Menghapus Iman dan Rasa Aman, Serta Mewajibkan Pelakunya untuk Dibunuh

Pendahuluan

Dalam pembahasan ini, Syaikhul Islam memaparkan 15 hadits yang dijadikan sebagai dalil atas beberapa hal berikut ini:

1. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh seorang wanita yang berani mencaci maki Nabi , baik dia seorang wanita Muslimah ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi.

2. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas kewajiban untuk membunuh seorang kafir dzimmi atau mu'ahid yang telah mencaci maki Nabi , serta menjadi batal sumpah janjinya karenanya.

3. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas bolehnya membunuh seorang kafir harbi yang telah mencaci maki Nabi , meskipun dia datang untuk bertaubat dan menjadi seorang Muslim. (Hal itu setelah mampu melakukannya).

4. Sebagian di antaranya dijadikan sebagai dalil atas murtadnya seorang Muslim yang telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya sebagai konsekuensi dari tindakannya ini, meskipun dia telah bertaubat.

Demikianlah, bahwa seorang yang mencerca Rasulullah atau mencerca semua penjelasan dan petunjuk yang telah dibawanya, tidak terlepas dari apakah dia seorang Muslim, atau seorang kafir dzimmi, mu'ahid dan harbi. Secara keseluruhan, juga tidak terlepas dari apakah dia seorang laki-laki ataupun perempuan.

Dan, untuk mempermudah bagi pembaca, saya mencoba untuk membagi pembahasan ini menjadi beberapa pasal, antara lain:

Pasal pertama, Syariat untuk membunuh seorang wanita karena mencaci maki Nabi .

Pasal kedua, batalnya sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid karena telah mencaci maki Nabi , serta kewajiban untuk membunuhnya.

Pasal ketiga, seorang Muslim yang menjadi kafir karena telah mencaci maki Nabi , serta syariat untuk membunuhnya meskipun dia telah bertaubat dan kembali masuk Islam.
Pasal keempat, anjuran membunuh seorang kafir harbi karena telah mencaci maki Nabi, meskipun dia telah bertaubat dan menjadi seorang Muslim.

PASAL PERTAMA:
Syariat untuk Membunuh Seorang Wanita Karena Telah Mencaci Maki Nabi, Baik yang Berasal dari Kalangan Kafir Dzimmi, Mu'ahid dan Harbi, Maupun Mengaku Muslimah.

Telah diketahui bersama, bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya karena kekufurannya, tidak diperbolehkan menurut ijma' ulama. Sungguh, terdapat sunnah Rasulullah yang telah membahas masalah ini. Di antaranya, disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, sebuah riwayat dari 'Umar yang berkata, "Aku menemukan ada seorang wanita yang dibunuh dalam beberapa peperangan Nabi, lalu beliau pun melarang untuk membunuh para wanita dan anak-anak kecil.". Fathul Bari, dalam pembahasan tentang jihad dan as-sair, (6/172), hadits no. 3015; Muslim dalam pembahasan tentang jihad, (3/1364); Ibnu Hajar juga telah menyebutkannya di dalam kitab al-Mathaalib al-'Aaliyah, (2/149); al-Bushairi berkata, para rijalnya adalah rijal yang shahih; dan ath-Thahawi telah menyebutkannya di dalam kitab Ma'aanii al-Aatsaar, (3/220, 221).

Hanya saja, berkenaan dengan wanita yang telah mencaci maki Nabi dan mencerca beliau ini terdapat sebuah hadits shahih yang menyatakan adanya syariat untuk membunuh wanita tersebut, baik dia seorang wanita Muslimah ataupun berasal dari komunitas kafir dzimmi dan harbi. Karena, barangsiapa yang telah berani mencela dan mencaci maki Nabi , maka dia boleh dibunuh dalam kondisi apa pun. Adapun di antara dalil-dalil yang menyatakan adanya syariat untuk membunuh wanita yang telah mencaci maki Nabi «H ini adalah sebagai berikut.

Dalil Pertama:
Yaitu kisah tentang seorang tunanetra yang membunuh seorang wanita beragama Yahudi yang berani mencaci maki Nabi. Lalu Nabi pun menghalalkan darahnya.

Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh asy-Sya'bi dari Ali, seorang wanita beragama Yahudi telah mencela Nabi . Lalu, datanglah seorang lelaki yang mencekik lehernya hingga wanita tersebut tewas. Lalu, Rasulullah menghalalkan darah wanita itu. Di-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab: sanksi hukuman (hudud), bab: hukum orang yang mencaci maki Nabi M, hadits no. 4367. Isnad hadits ini shahih, namun terjadi perselisihan pendapat: apakah asy-Sya'bi meriwayatkannya dari Ali atau bukan? Di dalam kitab al-'llal karya ad-Daruquthni (1/132) disebutkan bahwasanya asy-Sya'bi mendengar dari Ali hanya satu huruf, namun di dalam Jaami'at-Thashiil pada terjemah (322) disebutkan bahwasanya dia telah meriwayatkannya dari Ali .

Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Abu Daud di dalam Sunan-nya, dan oleh Ibnu Batthah di dalam Sunan-nya. Hadits ini juga termasuk di antara yang dijadikan dalil oleh Imam Ahmad dalam riwayat anaknya, Abdullah, dan dia berkata, Jarir telah menceritakan kepada kami, dari Mughirah, dari asy-Sya'bi, dia berkata, "Pernah ada seorang lelaki maksudnya lelaki tunanetra dari kalangan umat Islam yang mencari pertolongan kepada seorang wanita Yahudi, lalu wanita itu pun memberinya makan dan memperlakukannya dengan baik, namun wanita tersebut tidak henti-hentinya mencaci maki Nabi dan menyakitinya. Pada suatu malam, lelaki itu pun mencekik leher wanita tersebut hingga tewas. Maka, pada pagi harinya, lelaki itu bercerita kepada Nabi , lalu orang-orang bercerita perihal kematian wanita tersebut, sehingga lelaki itu pun berdiri seraya menceritakan wanita tersebut yang sebenamya. Dari situ, maka Nabi pun menghalalkan darah wanita tersebut." Maksudnya, membolehkan wanita tersebut dibunuh, dan bahkan dalam masalah ini beliau tidak mewajibkan adanya diyat dan tidak juga kafarat.

Kedudukan hadits ini jayyid karena asy-Sya'bi pernah melihat Ali dan meriwayatkan hadits tentang Syurahah al-Hamadani darinya. Pada masa khalifah Ali, usia asy-Sya'bi hampir mendekati 20 tahun. Dia berasal dari Kufah, dan pemah bertemu dengan Ali, sehingga hadits ini bersambung atau tidak terputus sanadnya. Kalau pun hadits ini dinyatakan mursal, itu karena asy-Sya'bi tinggal sangat jauh dari Ali. Ini merupakan alasan yang telah disepakati oleh para ulama. Juga, karena asy-Sya'bi di mata mereka adalah perawi hadits-hadits mursal yang dikategorikan shahih. Mereka tidak mengetahui hadits mursal darinya selain itu adalah hadits yang shahih.

Di samping itu, asy-Sya'bi adalah rawi yang paling mengetahui hadits Ali dan mengenali para sahabatnya yang tsiqah (terpecaya). Haditsnya ini dikuatkan oleh hadits Ibnu Abbas yang akan dibahas setelah ini. Karena, kisahnya bisa jadi cuma satu atau secara maknanya saja yang satu, sebagaimana telah disampaikan oleh kebanyakan para ulama. Di samping itu, juga terdapat riwayat hadits lain dari para sahabat Nabi yang sama dengannya. Dan, hadits mursal yang semacam ini, tidak pernah diragukan lagi oleh kalangan ahli fiqih untuk dijadikan sebagai hujjah.

Dalil petunjuknya adalah hadits ini sebagai penetapan atas bolehnya membunuh seorang wanita karena telah mencaci maki Nabi, sekaligus sebagai dalil untuk membunuh seorang lelaki dari kalangan kafir dzimmi, dan juga sebab dalil untuk membunuh seorang lelaki Muslim dan wanita Muslimah ketika mereka mencaci maki Nabi sebagai tindakan yang lebih diutamakan lagi. Hal itu, karena wanita pencaci maki ini dulunya seorang wanita yang tidak dimusuhi (muwada'ah), mengingat Nabi sewaktu tiba di Madinah telah menjamin keamanan bagi seluruh kaum Yahudi dengan jaminan yang mutlak, dan tidak mewajibkan kepada mereka untuk membayar upeti (jizyah).

Dan, hal ini menurut para ulama sangat mosyru' dan menempati kedudukan hadits mutawatir yang ada di antara mereka. Sampai-sampai Imam asy-Syafi'i pemah berkata, "Saya tidak pemah tahu di antara para sejarawan ada yang menentangnya. Semua mengatakan bahwa Nabi sewaktu tiba di Madinah, beliau langsung menjamin keamanan bagi seluruh kaum Yahudi, tanpa membebani mereka dengan jizyah." Dan, kenyataannya sebagaimana yang disampaikan oleh Imam asy-Syafi'i. Dalam hadits asy-Sya'bi ini dijelaskan pula bahwa wanita tersebut berasal dari komunitas kafir dzimmi, dan ini berdasarkan dua faktor:

Faktor pertama, asy-Sya'bi mengatakan bahwa wanita Yahudi ini telah mencaci maki Nabi , lalu lelaki buta itu pun mencekik lehernya, maka Nabi pun telah menghalalkan darahnya. Di sini, Ali mengurutkan penghalalan darah wanita tersebut yang disebabkan oleh karena mencaci maki Nabi dengan huruf Jaa'. Maka, dari situ bisa diketahui, bahwa caci makian terhadap Nabi itulah yang menyebabkan darah wanita tersebut menjadi halal. Hal itu, karena mengaitkan suatu hukum (vonis) dengan suatu tindakan yang sesuai dengannya melalui perantara huruf Jaa', menunjukkan tentang kualitas kalimat tersebut, meskipun ini hanya ucapan seorang sahabat Nabi.

Hal itu diperjelas bahwa Nabi sewaktu dikatakan kepada beliau bahwa wanita tersebut telah dibunuh orang-orang pun bertanya-tanya perihal kematian wanita tersebut. Namun, ketika dikatakan kepada beliau tentang dosa yang diperbuat wanita tersebut, seketika Nabi menghalalkan darahnya. Padahal, jika beliau memutuskan suatu perkara setelah diceritakan kepadanya duduk perkaranya, maka berarti hal itu menunjukkan bahwa penuturan cerita itulah yang menjadi penyebab lahirnya hukum tersebut. Dan, mengingat itu adalah suatu hukum yang baru muncul, maka sudah seharusnya dia memiliki sebab yang memicunya. Sementara di sini, tidak ada sebab lain kecuali apa yang telah diceritakan kepada beliau, dan itu sangatlah layak. Maka dari itu, wajib di sini menyandarkan hukum itu kepada cerita tersebut.

Faktor kedua, pertanyaan-pertanyaan yang diutarakan orang-orang perihal kematian wanita tersebut kepada Nabi , yang kemudian disusul dengan penghalalan darahnya. Itu sebagai dalil bahwa wanita tersebut sebelumnya mendapat perlindungan keamanan, dan bahwa darahnya merupakan sebab adanya jaminan keamanan tersebut. Dan, darah tersebut akan tetap terjamin keamanannya jika saja Nabi tidak menghalalkan darahnya. Karena, jika dia seorang wanita kafir harbi, maka tentunya Nabi tidak akan mengumumkan kepada orang-orang perihal kematiannya, dan tidak perlu lagi harus menghalalkan darahnya, mengingat penghalalan darah tersebut hanya berlaku bagi darah yang menjadi sebab adanya jaminan keamanan saja.

Jika Nabi telah membuat perjanjian dengan orang-orang Yahudi dengan tidak membebani mereka dengan jizyah, lalu ada lelaki buta yang telah membunuh seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang tidak dibebani jizyah tersebut dikarenakan telah mencaci maki Nabi , maka tentunya membunuh seorang wanita Yahudi dari orang-orang yang diwajibkan membayar jizyah dan yang harus mematuhi hukum-hukum agama dikarenakan telah mencaci maki Nabi, lebih utama dan ditekankan lagi. Kalau memang membunuh wanita tersebut tidak diperbolehkan, maka pastilah nyata bagi seorang lelaki buta tersebut kejelekan apa yang telah diperbuatnya, mengingat Rasulullah telah bersabda: "Barangsiapa yang membunuh seorang wanita dari komunitas kafir mu'ahid dengan tanpa haq, maka dia tidak akan pemah menghirup wanglnya surga. Di-takhrij oleh Imam Bukhari dalam pembahasan tentang diyal, (12/270), hadits no. 6914. Di-takhrij pula oleh Hakim di dalam al-Mustadrak dalam pembahasan tentang iman, (1/44); dan di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Afusnad-nya, (5/36, 38, 50). Dan juga pasti diwajibkan baginya jaminan atau kafarat, yakni kafarat atas pembunuhan terhadap seseorang yang telah dijamin keselamatannya. Namun, ketika Nabi menghalalkan darahnya, maka dari situ bisa dipahami bahwa membunuh wanita tersebut diperbolehkan.

Dalil Kedua:
Yaitu Kisah tentang lelaki tunanetra yang telah membunuh budak wanitanya (ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi , lalu Nabi pun menghalalkan darahnya.

Terdapat riwayat dari Isma'il bin Ja'far dari Israil dari Utsman asy-Syiham dari Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwa seorang lelaki tunanetra mempunyai seorang budak wanita (ummu walad) yang telah mencaci maki Nabi, lalu lelaki itu pun mencegahnya, tapi wanita tersebut tidak mau berhenti mencaci. Maka, pada suatu malam di saat wanita tersebut mulai mencaci maki Nabi , lelaki itu pun mengambil pedang, lalu diletakkan pada perut wanita tersebut, untuk kemudian menindihnya hingga wanita itu pun terbunuh. Ketika hari sudah pagi, dia menceritakannya kepada Nabi , dan Nabi pun mengumpulkan orang-orang seraya bersabda: "Aku mencari seorang lelaki yang telah melakukan apa yang diperbuatnya. Aku punya hak atas dirinya kecuali jika dia mau berdiri." Ibnu Abbas berkata, "Kemudian, lelaki buta itu pun berdiri dan berjalan ke arah orang-orang sambil memakai tongkatnya, hingga dia pun duduk di depan Nabi dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah tuan dari wanita tersebut. Dia telah mencaci makimu, lalu aku mencegahnya tapi dia tetap bersikeras mencaci makimu. Aku punya dua anak lelaki darinya seperti dua permata, dan dia dulu pemah menemaniku. Pada suatu malam di saat dia mulai mencaci makimu, aku pun mengambil pedang lalu aku taruh di perutnya dan aku menindihnya hingga dia pun terbunuh." Kemudian, Nabi bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya darah wanita tersebut halal," (Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan Abu Daud).

Kisah ini mengandung makna bahwa wanita tersebut lebih berhak untuk dibunuh. Hal itu berdasarkan perkataan Imam Ahmad dalam riwayat Abdullah ketika dikatakan kepadanya, "Dalam hal membunuh seorang kafir dzimmi sewaktu dia mencaci maki Nabi , terdapat beberapa hadits. Beliau berkata, "Benar, dan di antaranya adalah hadits tentang seorang lelaki buta yang telah membunuh seorang wanita." Beliau berkata, "Lelaki itu mendengar wanita tersebut sedang mencaci maki Nabi " Selanjutnya, Abdullah meriwayatkan dari beliau kedua hadits di atas (hadits asy-Sya'bi dan Ibnu 'Abbas). Dalam riwayat itu disebutkan bahwa lelaki buta ini telah mencekik leher wanita tersebut dan membelah perutnya dengan sebilah pedang. Atau, dia membunuhnya dengan cara yang tidak diketahui secara pasti di dalam salah satu riwayatnya.

Hal itu diperkuat, bahwa alur kedua kisah ini sama persis menimpa kedua lelaki buta tersebut, yaitu keduanya telah diperlakukan oleh wanita tersebut secara baik dan bahwa wanita tersebut selalu mengulangi caci makiannya terhadap Nabi juga keduanya telah membunuh wanita tersebut sendirian, dan juga keduanya telah diumumkan oleh Nabi perihal wanita tersebut di hadapan banyak orang. Kesemuanya itu jauh sekali dari kebiasaan yang terjadi. Dan, bisa saja kisah ini sebenamya tidak demikian.

Dalil petunjuknya adalah wanita ini bisa jadi dia istri dari lelaki buta tersebut dan bisa pula dia seorang budaknya. Berdasarkan dua perkiraan ini, maka kalau bukan karena membunuhnya itu diperbolehkan, niscaya Nabi akan menjelaskan kepada lelaki tersebut bahwa membunuh wanita ini diharamkan, dan bahwa darahnya telah dijamin keselamatannya, dan sebaliknya, dia akan dikenai kafarat karena telah membunuh seseorang yang telah dijamin keselamatannya, atau dikenai diyat (denda) jika ternyata wanita tersebut bukan budaknya.

Ketika Nabi bersabda, "Ketahuilah bahwa darah wanita tersebut halal hukumnya," dan ini merupakan kehalalan darah yang tidak dikenakan sanksi qishas (eksekusi mati), diyat (denda), maupun kafarat (tebusan dosa), maka dari sini bisa diketahui bahwa membunuh wanita tersebut diperbolehkan, sekalipun dia berasal dari komunitas kafir dzimmi. Juga, bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu bisa berakibat penghalalan darah wanita tersebut. Terlebih lagi, Nabi telah menghalalkan darah wanita tersebut setelah diberitahukan bahwa dia dibunuh karena telah mencaci maki beliau. Serta, bisa diketahui bahwa caci makian itulah penyebab adanya penghalalan darah tersebut. Dan, kisah ini telah secara jelas menunjukkan akan hal itu.

Dalil Ketiga:
Yaitu kisah tentang Ashma binti Marwan yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh karena mencela beliau.

Terdapat sebuah riwayat tentang kisah Ashma binti Marwan dari Ibnu Abbas, dia berkata: Seorang wanita dari suku Khathmah telah mencela Nabi, lalu beliau bersabda, "Siapa yang mau membunuhnya untukku?" Lalu, seorang lelaki dari suku Khathmah berkata, "Saya, wahai Rasulullah." Kemudian lelaki itupun bangun dan membunuh wanita tersebut. Setelah itu, Nabi memberitahu dan berkata, "Dalam masalah ini, tidak mungkin dua kambing saling bertandukan."

Sebagian ulama penulis kitab al-Maghazi (peperangan) dan yang lainnya telah menyebutkan kisah ini secara panjang lebar. Al-Waqidi berkata, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin al-Harist bin al-Fudhail, dari ayahnya, bahwa Ashma binti Marwan berasal dari Bani Umayyah bin Zaid. Dia adalah seorang istri dari Yazid bin Zaid bin Hishn bin al-Khathma, dan dia telah menyakiti Nabi , mencela Islam, dan menghasut Nabi . Ketika ucapan dan hasutan Ashma ini terdengar oleh Umair bin 'Adi al-Khathma, maka Umair pun berkata, "Ya Allah, aku bemadzar kepada-Mu, bahwa setelah aku mengantarkan Rasulullah ke Madinah nanti, aku akan membunuh Ashma."

Saat itu, Rasulullah sedang berada di Badar. Maka, sekembalinya beliau dari Badar, Umair pun mendatangi Ashma pada tengah malam dan masuk ke dalam rumahnya. Sementara Ashma pada saat itu dikelilingi oleh anak-anaknya yang sedang tidur pulas. Salah satu dari mereka ada seorang bayi yang sedang disusui di dadanya. Umair meraba-raba tubuh Ashma dengan tangannya dan mendapati seorang bayi yang sedang menyusu kepadanya. Umair kemudian menjauhkan bayi tersebut dari tubuh Ashma dan meletakkan pedangnya di dada Ashma. Lalu dia pun menusukkan pedang itu ke tubuh Ashma hingga menembus punggungnya. Setelah itu, Umair bergegas keluar untuk melaksanakan shalat Shubuh bersama Nabi Ketika Nabi telah selesai shalat, beliau memandangi Umair dan berkata, "Apakah kamu sudah membunuh bintu Marwan (yakni Ashma-ed.)?" Umair menjawab, "Demi Allah, aku sudah melakukannya, wahai Rasulullah." Dan, Rasulullah pun khawatir Umair merekayasa telah membunuhnya. Lalu Umair bertanya, "Apakah saya dikenai sanksi, wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Dalam masalah ini, tidak mungkin dua kambing saling bertanbukan." Maka, ucapan yang pertama kali terdengar dari mulut Rasulultah adalah ucapan ini. Umair berkata, kemudian Rasulullah berpaling kepada orang-orang di sekelilingnya seraya bersabda, "Jika kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya secara ghaib, maka lihatlah Umair bin 'Adi." Lalu Umar bin Khatthab berkata, "Coba lihatlah seorang lelaki buta yang punya gundik ini dalam menaati Allah " Namun, Rasulullah menimpalinya, "Jangan katakan dia orang buta, tapi katakan dia orang yang melihat!".Di-takhrij oleh al-Khatib di dalam kitab Taariikh Bagdaad, (13/99); D\-takhrij Ibnul Jauzi di dalam kitab al-'llal al-Mutanaahiyah, (1/175), Ibnu 'Adi berkata, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin al-Hajjaj, dan dia dituduh membuat hadits palsu. AI-'Ajluni menyebutkan hadits ini di dalam Kasyf al-Khafaa, (2/524). Isnad hadits ini maudhu'. Di dalamnya terdapat Muhammad bin al-Hajjaj al-Lakhmi, yang dikatakan oleh Imam al-Bukhari sebagai orang yang harus diingkari haditsnya, dan dikatakan oleh ad-Daruquthni sebagai orang yang sangat pembohong. Sedangkan Ibnu Ma'in menyebutnya sebagai orang yang sangat pembohong lagi busuk.

Sekembalinya Umair dari sisi Nabi , dia mendapati anak-anak Ashma berada dalam jamaah orang-orang yang menguburkan Ashma. Kemudian mereka menyambut Umair sewaktu melihatnya datang dari Madinah dan berkata, "Wahai Umair, apakah engkau yang telah membunuhnya?" Umair menjawab, "Benar, maka musuhilah aku, lalu kalian tidak ada yang mem-perhatikan lagi! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan pedangku ini, sehingga akulah yang mati atau kalian yang terbunuh." Pada saat itulah, Islam mulai tampak di tengah-tengah Bam Khathmah, dan di antara mereka ada sejumlah orang yang menyembunyikan keIslamannya karena takut dari kaumnya.

Dalil petunjuknya adalah bahwa wanita ini (Ashma) dibunuh tidak lain hanya karena telah menyakiti dan mencerca Nabi semata. Dan, ini terlihat jelas dalam perkataan Ibnu Abbas, seorang wanita berasal dari Bani Khathmah telah mencerca Nabi , lalu beliau pun berkata, "Siapakah yang man membunuhnya untukku?" Dari sini bisa diketahui, bahwa beliau menyuruh untuk membunuhnya hanya karena orang tersebut telah mencerca beliau. Begitu pula dalam hadits lain disebutkan, "Lalu, ketika terdengar perkataan dan hasutan Ashma ke telinga Umair, maka dia pun berkata, "Ya Allah, sungguh aku bernadzar kepada-Mu, jika aku telah mengantarkan Rasulullah ke Madinah, niscaya aku akan membunuhnya." Dalam hadits ini disebutkan bahwa ketika kaumnya Umair berkata kepadanya, "Apakah kamu yang telah membunuhnya?" Dia pun menjawab, "Benar, maka musuhilah aku, dan selanjutnya kalian pun tidak akan mendapat perhatian. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian semua mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Ashma, niscaya aku akan membunuh kalian dengan pedangku ini, sehingga akulah yang akan mati atau kalian yang terbunuh." Maka, yang demikian ini adalah sebagai mukadimah.

Ashma Tidak Dibunuh Karena Telah Memprovokasi untuk Perang, Melainkan Semata-Mata Karena Dia Telah Mencaci Maki Nabi Mukadimah yang lainnya adalah, bahwa syair (hijaa) yang diucapkan oleh Ashma tidak berisi ajakan untuk memerangi Nabi, sehingga dikatakan bahwa memprovokasi orang untuk perang itu berarti telah memerangi. Akan tetapi, di dalam syairnya hanya berisi ajakan untuk meninggalkan agama Nabi dan caci makian terhadap Nabi beserta para pengikutnya. Target maksimal dari semua itu adalah, agar orang-orang yang belum masuk Islam tidak akan memeluk agama Islam, atau agar orang-orang yang telah masuk Islam keluar dari agama Islam. Dan ini merupakan tujuan semua orang yang mencaci maki Nabi .

Hal itu diperjelas lagi bahwa Ashma mencerca Nabi di Madinah, padahal kebanyakan kabilah-kabilahnya telah masuk Islam. Dan, jadilah seorang Muslim dari kabilah tersebut lebih kuat daripada seorang kafir. Sudah diketahui bahwa orang yang mencaci maki Nabi dalam kondisi semacam ini tidak bermaksud memerangi Nabi beserta para sahabatnya, melainkan dia hanya bermaksud untuk membuat mereka marah dan agar tidak mau lagi mengikuti Nabi .

Begitu pula, bahwa Ashma tidak pernah ingin memprovokasi untuk perang. Karena, tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama sejarah bahwa seluruh kabilah Aus dan Khazraj tidak ada yang memerangi Nabi melalui tangan maupun lisannya. Dan, tidak ada seorang pun di Madinah yang berani menampakkan hal itu. Akan tetapi, tujuan orang kafir dan munafik dari golongan mereka adalah menghalangi orang-orang untuk mengikuti Nabi , atau berusaha memulangkan beliau kembali dari Madinah ke Makkah, dan melakukan tindakan-tindakan lainnya yang mengandung unsur penghinaan terhadap Nabi dan ajakan untuk mengingkari ajaran beliau, bukan untuk memerangi beliau.

Karena, jikalau cercaan itu dikategorikan ke dalam jenis perang, maka pastilah sumpah janji itu menjadi batal, dan seorang kafir dzimmi itu pun harus dibunuh karenanya. Sesungguhnya jikalau dia memerangi Nabi, maka itu berarti sumpah janjinya telah batal, mengingat sumpah janji itu menuntut tidak adanya perang. Jika dia memerangi Nabi melalui tangan atau lisan, maka berarti dia telah melakukan sesuatu yang bisa membatalkan sumpah janjinya. Dan, tidak ada lagi yang paling bisa merusak sumpah janji tersebut setelah perang.

Jika hal itu telah nyata, maka tentunya yang dapat diketahui dari sirah Nabi bagi siapa saja yang punya wawasan sejarah adalah bahwa Nabi ketika tiba di Madinah, beliau tidak pernah memusuhi seorang pun dari penduduk Madinah. Bahkan, beliau telah menjamin keamanan mereka sampai-sampai terhadap kaum Yahudi, khususnya mereka yang ada di tengah-tengah suku Aus dan Khazraj. Sesungguhnya beliau telah membuat perjanjian damai dan mengikat tali persaudaraan dengan mereka dalam segala hal.

Sementara kaum imigran atau pendatang ketika datang di Madinah, mereka terdiri dari berbagai lapisan. Di antara mereka terdapat orang yang beriman dan mereka inilah yang terbanyak (mayoritas), dan di antara mereka ada yang masih bertahan pada agama lamanya, dan orang semacam ini dibiarkan dan tidak diperangi. Orang ini bersama orang-orang yang beriman dari kabilahnya, juga mereka yang telah mengucapkan janji adalah kelompok yang dijamin keamanannya (alnlu as-silmi), bukan kelompokyang harus diperangi (ahlu al-harbi).

Sampai-sampai kalangan Anshar yang berjani juga telah diakui janji mereka oleh Nabi . Jika Nabi telah mengakui janji mereka, maka wanita ini (Ashma) adalah termasuk golongan orang-orang kafir mu'ahid. Meskipun demikian, Nabi tetap memerintahkan orang-orang untuk membunuh wanita yang telah mencercanya ini.

Beliau bersabda mengenai orang yang telah membunuh wanita tersebut, "Jika kalian senang melihat seseorang yang telah membela Allah dan Rasul-Nya melalui cara yang tidak tampak (gaib), maka lihatlah pemuda ini (Umair)." Dengan demikian, terbuktilah bahwa mencerca dan mencela Nabi itu menyebabkan pelakunya dibunuh, selain perbuatan kufur. Selain itu, bahwa orang yang mencaci maki Nabi tersebut wajib dibunuh, meskipun dia termasuk golongan orang-orang yang telah mengucapkan sumpah (hulafa) dan membuat perjanjian (mu'ahidiin).

Jika Nabi telah menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma), maka bisa jadi dikatakan bahwa cercaannya itu merupakan bentuk memerangi Nabi , dan ini artinya cercaan seorang kafir dzimmi kepada Nabi itu sebagai bentuk memerangi beliau, sehingga hal itu bisa membatalkan sumpah janjinya dan menghalalkan darahnya.

Atau, bisa jadi dikatakan bahwa cercaannya itu bukan termasuk bentuk memerangi beliau,dan pendapat inilah yang paling benar, mengingat apa yang telah kita katakan di muka bahwa cercaan Ashma tersebut tidak berisi ajakan untuk memerangi Nabi , dan tidak pula berpendapat ke arah perang. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa mencaci maki merupakan bentuk kejahatan (jinayah) yang bisa merugikan kaum Muslimin, selain kejahatan perang, dan bisa menyebabkan pelakunya dibunuh seperti halnya orang-orang yang membegal perjalanan kaum Muslimin.

Selain itu, bahwa mencaci maki Nabi bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, ini lebih dikarenakan oleh beberapa faktor. Antara lain:

Faktor pertama, jika caci makian terhadap Nabi tidak menyebabkan pelakunya dibunuh, niscaya hukum membunuh wanita (Ashma) ini adalah tidak boleh, meskipun dia seorang wanita dari komunitas kafir harbi. Karena, seorang wanita kafir harbi, jika tidak memerangi Nabi melalui tangan dan lisannya, maka dia tidak boleh dibunuh. Kecuali, jika dia melakukan bentuk kejahatan yang mengharuskannya dibunuh. Dan, hal inilah yang saya kira bertentangan, terutama bagi orang yang berpendapat hukum membunuh wanita ini seperti halnya hukum membunuh seorang begal (perampok).

Faktor kedua, wanita pencaci maki Nabi (Ashma) ini termasuk salah seorang kafir mu'ahid pada waktu itu. Maka, jikalau caci makiannya terhadap Nabi tidak menyebabkan halal darahnya, niscaya dia tidak akan dibunuh dan tidak boleh dibunuh. Oleh karena itu, seorang yang telah membunuhnya khawatir bila terjadi fitnah hingga akhirnya Nabi bersabda, "Dalam masalah ini, tidaklah dua kambing saling bertandukan." Padahal, saling bertandukannya kedua kambing itu tidak lain seperti saling berciuman.
Di sini, Nabi menjelaskan bahwa tidak akan ada fitnah sama sekali akibat tindakan tersebut, sebagai bentuk rahmat dari Allah kepada kaum Mukminin, dan juga sebagai pembelaan terhadap Rasul-Nya dan agama-Nya. Seandainya pun di sana tidak ada larangan untuk membunuh wanita ini, dan tidak ada caci makian terhadap Nabi tersebut, niscaya fitnah ini tidak akan dikhawatirkan terjadi.

Faktor ketiga, sesungguhnya hadits ini menjelaskan bahwa Ashma dibunuh semata-mata karena telah mencaci maki Nabi (di dalam syairnya). Sementara seluruh kaumnya tidak dibunuh karena mereka tidak mencaci maki Nabi. Dan jika mereka mencaci maki Nabi, niscaya mereka akan diperlakukan seperti apa yang ditimpakan kepada Ashma. Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa caci makian terhadap Nabi saja bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, baik si pencaci maki tersebut seorang kafir harbi, seorang Muslim, ataupun seorang kafir mu'ahid. Oleh karena itu, beliau boleh membunuh seseorang yang tidak akan beliau bunuh bila tidak melakukan hal itu.

Faktor keempat, bahwa kaum Muslimin sebelum hijrah dan pada awal-awal hijrah itu dilarang memulai perang. Dan, memerangi orang-orang kafir pada waktu itu diharamkan. Karena, hal itu bisa dikategorikan membunuh jiwa dengan tanpa haq, sebagaimana firman Allah : "Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanhh shalat dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang ...." (an-Nisa1: 77) Karena itu, kandungan ayat al-Quran yang pertama kali diturunkan oleh Allah ilf itu membolehkan perang, mengingat firman Allah , "Telah dilzinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menohng mereka itu," (al-Hajj: 39). Nabi tidak pernah memerangi seorang pun dari penduduk Madinah, dan juga tidak pernah memerintahkan untuk membunuh salah seorang dari pemimpin mereka yang telah mengumpulkan mereka untuk berbuat kekufuran dan yang selain mereka. Adapun ayat-ayat yang turun pada waktu itu, tidak lain hanya memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang telah mengusir mereka (dari Makkah), memerangi mereka, dan melakukan tindakan-tindakan yang sejenisnya.

Pada waktu itu beliau tidak pemah mengizinkan kaum Muslimin untuk lebih dulu membunuh orang-orang kafir dari penduduk Madinah. Dan, jika akhirnya beliau menyuruh untuk membunuh wanita ini (Ashma) yang telah mencaci maki beliau, padahal beliau tidak diperkenankan untuk membunuh orang-orang kafir dari kabilah wanita tersebut, maka dari sini tentunya bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu bisa menyebabkan pelakunya dibunuh, meskipun sebenamya di sana terdapat faktor yang mencegahnya seandainya bukan karena caci makian ini. Semisal adanya ikatan janji, dia seorang wanita, dan adanya larangan membunuh seorang kafir yang sangat taat, atau tidak diperbolehkannya membunuh orang kafir tersebut. Dan, faktor keempat ini adalah faktor yang sangat bagus dan tepat.

Jika temyata Nabi membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya dari golongan orang-orang kafir Madinah tersebut, padahal di mata beliau mereka bukanlah orang-orang kafir harbi yang boleh diperangi secara mutiak, maka tentunya membunuh seorang wanita yang telah mencaci makinya dari komunitas kafir dzimmi itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, karena kita telah membuat perjanjian dengan wanita dari komunitas kafir dzimmi ini untuk tidak mencaci maki Nabi «!f, dan agar dia merasa hina (tunduk). Sedangkan terhadap wanita dari komunitas kafir Madinah tersebut, kita tidak pernah membuat perjanjian atas suatu apa pun.


Dalil Keempat:
Yaitu kisah dua orang biduanita yang menyanyikan lagu berisi ejekan terhadap Nabi dan beliau pun menghalalkan darah mereka.

Musa bin 'Uqbah dalam kitab Maghazi-nya dari az-Zuhri berkata, Rasulullah telah menyuruh mereka (para sahabat) agar menahan diri dan tidak memerangi seorang pun melainkan orang yang telah memerangi mereka. Dan, beliau pun menyuruh untuk membunuh empat orang. Musa bin 'Uqbah berkata, Nabi telah menyuruh untuk membunuh dua orang biduanita, anak dari Ibnu Khathal, yang menyanyikan lagu berisi ejekan kepada Nabi. Kemudian salah seorang biduanita itu pun dibunuh, sedangkan yang lainnya disembunyikan hingga dimintakan perlindungan untuknya. Telah d\-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab Pembahasan Sejarah, (9/121). Sanad hadits ini hasan. Hal ini juga telah disebutkan oleh Muhammad bin 'Aidz al-Qurasyi di dalam kitab Maghaozii-nya. Hadits tentang dua orang biduanita ini termasuk hadits yang telah disepakati oleh para ulama sejarah dan telah banyak diriwayatkan, tidak cukup satu riwayat saja.

Dalil petunjuknya adalah bahwa membunuh seorang wanita dengan sengaja hanya karena kekufurannya saja tidak diperbolehkan menurut ijma' (konsensus ulama). Hal itu sebagaimana telah dinyatakan secara masyhur oleh sunnah Rasulullah. Para wanita penyanyi ini sebelumnya adalah orang-orang yang dilindungi jiwanya karena unsur kewanitaannya. Kemudian, Nabi menyuruh untuk membunuh mereka hanya karena mereka telah mengejek beliau, sementara mereka berada di daerah perang (claor al-harbi). Sehingga dari sini bisa diketahui, bahwa orang yang mengejek dan mencaci maki Nabi boleh dibunuh dalam keadaan apapun. Semua itu diperkuat oleh beberapa faktor berikut ini:

Faktor pertama, para wanita ini sebelumnya termasuk bagian dari komunitas kafir harbi. Mereka telah menyakiti Nabi di daerah perang, lalu Nabi pun membunuh mereka hanya karena caci makian mereka itu, sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadits. Dari sini, tentunya membunuh seorang wanita dari komunitas kafir dzimmi, itu lebih diprioritaskan dan ditekankan seperti halnya seorang wanita Muslimah. Karena, di antara kita (kaum Muslimin) dan wanita dari kafir dzimmi tersebut terdapat ikatan perjanjian yang melarangnya untuk melontarkan caci makian kepada Nabi .

Juga, perjanjian yang mengharuskannya bersikap rendah dan tunduk. Oleh karena itu, dia akan dihukum mati, dikenai sanksi harta (materi) atau dirampas kehormatannya atas kesalahan yang diperbuatnya terhadap seorang Muslim. Sedangkan seorang wanita dari komunitas kafir harbi tidak dikenai hal-hal tersebut. Jika diperbolehkan membunuh seorang wanita dikarenakan dia telah berani mencaci maki Nabi , padahal dia berasal dari komunitas kafir harbi yang notabenenya bebas mencaci maki beliau tanpa ada larangan, maka tentunya membunuh wanita dari kalangan kafir dzimmi yang dilarang mencaci maki beliau itu lebih diutamakan.

Jika dikatakan: Perlindungan terhadap kafir dzimmi itu lebih ditekankan, karena dia mendapat jaminan keselamatan, sedangkan kafir harbi tidak dijamin keselamatan nyawanya. Maka, di sini kami jawab: Seorang kafir dzimmi itu juga menjamin keselamatan seorang Muslim, sedangkan seorang kafir harbi tidak menjamin keselamatannya. Jadi, dia menjamin keselamatan orang Islam dan juga dijamin keselamatannya. Karena, perjanjian yang terjadi di antara kita menuntut adanya hal tersebut. Sedangkan wanita dari komunitas kafir harbi tidak punya ikatan perjanjian dengan kita yang menuntut adanya hal tersebut.

Dengan demikian, seorang kafir dzimmi tidak lagi wajib dijaga keselamatannya akibat tindakannya yang merusak kehormatan Nabi . Bahkan, hal itu lebih berat dari dosa-dosanya, dan dia sangat layak diazab (dibunuh) atas tindakannya tersebut yang menyakiti kita. Kami tidak mengetahui adanya wanita dari komunitas kafir harbi dibunuh dengan sengaja karena mencaci maki Nabi , selain bahwa membunuh seorang wanita dari komunitas kafir dzimmi yang telah mencaci maki Nabi itu lebih ditekankan lagi.

Faktor kedua, para wanita ini tidak ikut memerangi sewaktu peristiwa Fathu Makkah, bahkan mereka termasuk di antara para wanita yang tunduk dan menyerah. Ejekan (melalui syair) jika dikategorikan bentuk perang, maka dia sebenamya sudah ada sebelum peristiwa itu. Sementara wanita dari komunitas kafir harbi ini dilarang untuk dibunuh pada peperangan di mana dia menyerah dalam perang tersebut, meskipun sebelum itu dia ikut memerangi. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu pada esensinya bisa menghalalkan darah mereka, bukan karena mereka pemah memerangi beliau.

Faktor ketiga, Nabi telah menjamin keselamatan bagi seluruh warga kota Makkah, kecuali mereka yang melawan atau memerangi, meskipun mereka pemah memusuhi beliau, membunuh para sahabatnya, dan merusak perjanjian yang terjadi di antara mereka dan Nabi. Kemudian, temyata Nabi menghalalkan darah para wanita ini sebagai pengecualian, hanya karena mereka telah berani menyakiti beliau, meskipun sebenamya mereka tidak pernah ikut memerangi beliau.

Dengan demikian nyatalah bahwa dosa orang yang menyakiti Nabi dengan cara mencaci maki dan yang sejenisnya, lebih berat dari sekadar dosa memerangi dan yang lainnya, dan bahwa dia boleh dibunuh pada kondisi apapun, bahkan pada saat dilarang memerangi orang yang telah membunuh dan memerangi sekalipun.

Faktor keempat, dua wanita penyanyi ini adalah dua budak wanita yang disuruh untuk mengejek Nabi . Padahal, membunuh wanita budak itu kurang ditekankan dibanding bila membunuh wanita merdeka. Hal itu, mengingat Nabi telah melarang untuk membunuh seorang buruh (pekerja)20. Selain itu, keadaan wanita tersebut disuruh untuk mencaci maki Nabi juga merupakan dosa yang lebih ringan mengingat dia tidak pemah bermaksud melakukannya. Meskipun demikian, Nabi tetap menyuruh untuk membunuh mereka berdua. Dari sini bisa diketahui bahwa mencaci maki Nabi itu lebih mengharuskan pelakunya untuk dibunuh.. Di-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, dalam kitab pembahasan tentang sejarah, (9/91). Disebutkan oleh Ibnu Abdil Barr di dalam at-Tamhiid, (9/75); Sunan Sa'id bin Manshur, no. 2628; dari jalur Ayyub as-Sikhtiyani dari seorang lelaki dari bapaknya. Isnadnya tidak shahih mengingat tidak diketahuinya guru (syaikh)nya Ayyub dan bapaknya. Maka, tidak diputuskan bahwasanya dia adalah seorang sahabat. Namun, hadits ini mempunyai penguat (syaahid) di dalam Sunan Abu Daud, no. 2669. Abu Daud berkata: Hadits hasan shahih.

Faktor kelima, bisa jadi para wanita ini dibunuh karena telah mengejek Nabi , mengingat mereka melakukannya bersamaan dengan adanya perjanjian antara Nabi it dan penduduk Makkah. Sehingga, hal itu bisa dikategorikan jenis ejekan kepada Nabi dari seorang kafir dzimmi. Atau, bisa jadi mereka dibunuh hanya karena mengejek semata, tanpa adanya perjanjian apapun. Jika yang benar adalah yang pertama, maka itulah memang yang seharusnya.

Dan jika yang benar adalah yang kedua, maka itu berarti jika membunuh wanita pencaci maki Nabi yang tidak ada perjanjian antara kita dan dia yang bisa melarang tindakan tersebut, itu saja diperbolehkan, maka tentunya membunuh wanita yang dilarang mencaci maki Nabi oleh karena adanya ikatan perjanjian, itu lebih diutamakan lagi. Hal itu, mengingat semata-mata karena kekufuran wanita itu saja dan juga karena dia berasal dari komunitas kafir harbi tidak serta merta bisa menghalalkan darahnya menurut kesepakatan para ulama. Apalagi, caci makiannya tersebut tidak bertujuan untuk memerangi Nabi .


MENJAWAB FITNAH ATAS MUHAMMAD & ISLAM


PASAL KEDUA:
Dalil dari as-Sunnah Tentang Kafirnya Seorang Muslim Karena Mencaci Maki Nabi dan Kewajiban Membunuhnya Meskipun Telah Bertaubat

Dalil Pertama:
Yaitu kisah Ibnu Abi Sarh. Sebuah kisah yang juga telah disepakati oleh para ulama dan telah masyhur di kalangan mereka, tidak hanya diriwayatkan oleh perorangan saja. Hadits ini lebih mantap dan kuat daripada riwayat yang disampaikan oleh satu orang saja yang adil. Kami akan sebutkan di sini dengan memberi syarahnya agar dalil petunjuknya bisa terlihat secara jelas, di antaranya:

Dari Mush'ab bin Sa'ad, dari Sa'ad bin Abi Waqqash yang berkata:
"Ketika terjadi peristiwa Fathu Makkah, Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarh bersembunyi di rumah Utsman bin Affan. Lalu, Utsman menyeretnya hingga memberdirikannya di hadapan Nabi . Utsman berkata, "Wahai Rasulullah, bai'atiah Abdullah!" Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan memandang kepadanya tiga kali. Semuanya menunjukkan keengganan beliau untuk membai'atnya. Setelah pandangan yang ketiga itu, barulah beliau mau membai'atnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabatnya dan berkata, "Tidakkah ada di antara kalian seorang yang bijaksana (rasyiid) yang berdiri kepada orang ini, sehingga jika dia melihatku, maka kugenggam tanganku dari memba'iatnya, lalu kubunuh dia." Telah disebutkan oleh Ibnu Hajardi dalam Fathul Ban, (11/9); di-takhrij oleh al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (3/45); di-takhrij oleh an-Nasa'i dalam kitab pembahasan tentang pengharaman darah, bab: hukum berkaitan dengan seorang yang murtad, (7/106); dt-takhrij oleh Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits no. 2683; Adapun isnad hadits ini adalah hasan.

Para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa yang terbersit dalam benakmu. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami dengan matamu?!" Beliau bersabda, "Sesungguhnya tidak seyogianya bagi seorang Nabi untuk mempunyai mata yang khianat." Hadits riwayat Abu Daud dengan isnad yang shahih

Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibrahim bin Sa'ad, Ibnu Ishaq pemah berkata, "Sebagian ulama kami telah berkata kepadaku bahwa Ibnu Abi Sarh telah kembali ke Quraisy, lalu dia berkata, 'Demi Allah, kalau aku menghendaki, niscaya aku akan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Muhammad, dan menyampaikan sesuatu yang seperti dibawanya. Sungguh, dia mengatakan sesuatu, dan aku membelokkannya kepada sesuatu yang lain, lalu dia (Nabi ) berkata, 'Kamu benar.'" Dalam hal ini, Allah telah menurunkan ayat, "Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata, "Telah diwahyukan kepada saya," padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya," (al-An'am: 93). Oleh karena itu, Rasulullah memerintahkan untuk membunuhnya.

Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Abi Sarh adalah bahwa Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sarh telah mengada-ada atas nama Nabi yaitu bahwa dia telah menyempurnakan wahyu Nabi dan menulis untuk beliau sesuatu yang dikehendakinya, lalu Nabi menyepakatinya. Juga, bahwa dia membiaskan wahyu itu sesuka hatinya dan merubah perintah Nabi yang bersumber dari wahyu itu, lalu Nabi menyetujui tindakannya itu. Dia juga mengaku bahwa tulisannya itu akan turun seperti apa yang telah diturunkan oleh Allah , mengingat dalam pengakuannya itu, Allah telah memberi wahyu kepadanya seperti Dia telah memberi wahyu kepada Nabi . Penghinaan semacam ini sudah lebih dari sekadar kufur dan keluar dari agama, dia termasuk salah satu bentuk caci makian.

Ketika Nabi sudah mampu untuk mengadili Ibnu Abi Sarh, maka beliau pun langsung menghalalkan darah Ibnu Abi Sarh manakala terbukti dia telah berani mencerca kenabian dan membuat kebohongan terhadapnya, meskipun sebenamya beliau telah menjamin keselamatan bagi seluruh penduduk kota Makkah yang pemah memerangi dan memusuhinya dengan sekuat tenaga, dan meskipun sunnah beliau menyatakan bahwa orang yang murtad itu tidak boleh dibunuh sebelum terlebih dulu diminta untuk bertaubat (istitab), baik secara wajib ataupun sunnah. Hal ini sebagai dalil bahwa dosanya orang yang mencaci maki Nabi itu lebih besar daripada dosanya orang yang murtad.Adapun penghalalan darah Ibnu Abi Sarh oleh Nabi setelah dia bertaubat dan masuk Islam, dan juga sabda beliau, "Tidakkah kalian membunuhnya," lalu pengampunan beliau setelah itu terhadapnya, adalah sebagai dalil bahwa Nabi sebelumnya berhak untuk membunuhnya, lalu beliau memaafkan kesalahannya, dan melindungi keselamatannya. Hal itu juga sebagai dalil bahwa beliau berhak untuk membunuh orang yang telah mencaci makinya, meskipun sebenamya orang itu telah bertaubat dan kembali kepada agama Islam. Sunatullah untuk menolong Nabi-Nya terhadap orang-orang yang telah memfitnah beliau, jika memang belum ditegakkan sanksi (had) terhadap orang tersebut.

Begitu pula, tidak ada penulis lain yang mencoba memfitnah Nabi seperti hinaan rekaan ini, selain bahwa Allah pasti akan membuka aibnya dan mengazabnya dengan siksaan yang tidak lazim bagi setiap orang yang telah berbuat fitnah seperti itu. Hal itu, mengingat tindakan semacam ini akan menimbulkan di dalam hati yang sakit suatu keragu-raguan, yaitu dengan mengucapkan, "Penulisnya adalah orang yang paling tahu mengenai batinnya dan esensi permasalahannya. Sungguh, dia telah memberitakan darinya apa yang telah beliau beritakan." Maka, di antara pertolongan Allah terhadap Rasul-Nya, adalah Dia menampakkan dalam diri Rasul-Nya suatu tanda yang karenanya terbuktilah bahwa orang tersebut melakukan kedustaan.

Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dari Anas bin Malik yang berkata, "Pemah ada seorang lelaki Nasrani, dia masuk Islam dan membaca surat al-Baqarah dan Ali Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi , lalu dia menjadi Nasrani kembali. Dia pernah berkata, "Muhammad tidak akan tahu, kecuali apa yang telah aku tulis untuknya." Kemudian, Allah mematikannya dan orang-orang pun menguburnya. Namun, temyata bumi memuntahkannya. Lalu mereka berkata, "Ini adalah ulah Muhammad dan para sahabatnya. Galilah lobang untuk sahabat kami, lalu lemparkan dia ke dalamnya." Kemudian, mereka menggali tanah sebisanya. Namun, tanah itu tetap memuntahkannya. Seketika mereka mengetahui, bahwa dia bukanlah manusia, maka mereka pun membuangnya.

Imam Muslim juga telah meriwayatkan hadits ini dari Sulaiman bin Mughirah, dari Tsabit, dari Anas yang berkata, "Pemah di antara kita ada seorang lelaki dari Bani Najjar yang membaca surat al-Baqarah dan AH Imran. Dia pemah menulis surat kepada Nabi ,lalu dia pergi kabur hingga bertemu dengan kaum Ahlu Kitab. Anas berkata, "Kemudian mereka menyanjungnya. Mereka berkata, 'Ini adalah orang yang pernah menulis surat kepada Muhammad .Maka, mereka pun merasa heran kepadanya. Tidak begitu lama, Allah mematikannya. Lalu, mereka menggali kubur untuknya dan menguburkannya. Namun, ternyata tanah tersebut memuntahkannya ke atas permukaannya, sehingga mereka pun membiar-kannya dalam keadaan tergeletak begitu saja. Lihat Fathul Bari, dalam kitab pembahasan sifat-sifat terpuji (AI-Manaaqib) 7/722, hadits no. 3617; Muslim dalam kitab pembahasan tentang sifat-sifat kaum munafik (4/2145).

Orang terlaknat yang telah mengada-ada terhadap Nabi ini, yaitu dia mengaku bahwa Nabi tidak mengetahui selain apa yang telah dia tulis untuknya, dia telah dibinasakan oleh Allah dan dibuka aibnya dengan cara dimuntahkan dari liang kubur setelah berulang-ulang kali diupayakan untuk dikubur. Ini adalah suatu hal yang tidak lazim yang menunjukkan kepada setiap orang bahwa hal ini sebagai hukuman (sanksi) atas apa yang telah dia ucapkan, dan bahwa dia telah berkata bohong. Hal itu, mengingat umumnya orang-orang yang mati tidak ada yang mengalami nasib seperti ini.

Di samping bahwa tindakannya ini lebih berat daripada sekadar keluar dari agama atau murtad. Karena, kebanyakan orang-orang yang murtad itu meninggal dan mereka tidak mengalami nasib semacam ini. Hal ini juga menunjukkan bahwa Allah akan membalaskan untuk Rasul-Nya atas orang-orang yang telah mencerca dan mencaci makinya, juga akan memenangkan agamanya dan memperlihatkan kebohongan para pendusta, mengingat adanya kemustahilan bagi orang-orang untuk menjatuhkan hukuman (had) terhadapnya.

Dan, kisah yang semisal dari kisah ini adalah apa yang telah dituturkan kepada kami oleh sejumlah kaum Muslimin yang adil, yang ahli di bidang fiqih dan sekaligus orang-orang yang berpengalaman atas berbagai percobaan yang telah mereka lakukan berulang-ulang kali sewaktu mengepung beberapa benteng dan kota yang berada di perbatasan negeri Syam, yaitu ketika kaum Muslimin mengepung Bani al-Ashfar pada zaman kami (maksudnya: masa Ibnu Taimiyah).

Mereka berkata, "Kami pemah mengepung benteng (atau kota) selama satu bulan atau lebih. Namun, benteng tersebut menjadi penghalang masuk bagi kami hingga kami merasa frustasi. Namun, pada saat itu penduduk kota tersebut mencaci maki Rasulullah dan merusak kehormatan beliau. Lalu, kami pun dapat melobangi benteng tersebut dengan mudah. Tidak butuh waktu lama selain hanya jangka sehari, dua hari, atau kira-kira sekian waktunya. Kemudian tempat itu pun dibuka secara paksa, dan selanjutnya terjadilah prahara yang sangat besar di tengah-tengah mereka. Menurut penuturan mereka, "Hingga di mana pun kami berada, kami dengan segera dapat membuka benteng tersebut, ketika kami mendengar mereka mencaci maki (Nabi ) dengan hati penuh amarah kepada mereka atas apa yang telah mereka katakan terhadap Nabi."


Dalil Kedua:
Yaitu Kisah Ibnu Khathal. Dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim telah disebutkan hadits az-Zuhri dari Anas bin Malik : "Bahwa Nabi masuk Makkah pada tahun Fathu Makkah, sementara beliau mengenakan topi besi. Ketika beliau melepasnya, maka datanglah seorang lelaki dan berkata, "Ibnu Khathal bergantung pada penutup Ka'bah. Lalu beliau berkata, 'Bunuhtah dia.'". Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang balasan dari berburu (jazaa ash-shaid) (4/70, 71; hadits no. 1846).. Di-takhrij pula oleh Baihaqi di dalam kitab as-Sunan dalam kitab pembahasan tentang orang yang murtad (8/205).

Ini berdasarkan riwayat yang masyhur (beredar) di antara kalangan ulama, dan mereka telah bersepakat bahwa Rasulullah menghalalkan darah Ibnu Khathal pada waktu Fathu Makkah dikarenakan dia telah membunuh orang, dan diapun dibunuh. Al-Waqidi telah menuturkan bahwa Ibnu Khathal datang dari ketinggian dataran Makkah sambil mengenakan baju besi, lalu dia keluar hingga sampai di Khandamah. Tiba-tiba dia melihat tentara kaum Muslimin dan melihat bau peperangan. Dia pun langsung diselimuti rasa takut hingga badannya gemetar luar biasa. Setibanya dia di Ka'bah, dia langsung turun dari kudanya dan melemparkan senjatanya, lalu lari menuju Ka'bah dan masuk di antara penutup-penutup Ka'bah.

Sungguh, kejahatan Ibnu Khathal adalah bahwa Rasulullah telah menyuruhnya untuk membagi-bagikan sedekah dengan ditemani seseorang yang membantunya. Suatu ketika, dia marah terhadap temannya itu karena tidak dibuatkan makanan yang dimintanya. Akibatnya, dia pun tega membunuhnya. Namun, dia takut akan dibunuh pula. Maka, dia pun keluar dari agama Islam (murtad) dan menggiring/memboyong unta sedekah. Selain itu, dia juga melantunkan syair yang berisi cercaan terhadap Rasulullah dan bahkan dia menyuruh kedua budak wanitanya agar menyanyikan syair itu.

Dengan demikian, dia telah melakukan tiga kejahatan sekaligus yang bisa menghalalkan darahnya, yaitu: membunuh nyawa manusia, murtad, dan mencerca Nabi. Ibnu Musayyib mengisahkan bahwa Abu Barzah telah mendatanginya, sementara Ibnu Khathal dalam keadaan bergantung pada penutup-penutup Ka'bah, lalu dia pun segera membelah perutnya. Begitu pula, al-Waqidi meriwayatkan dari Abu Barzah yang berkata, "Telah turun berkaitan dengan diriku ayat ini, "Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Makkah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Makkah ini, (al-Balad: 1-2)." Aku telah mengeluarkan Abdullah bin Khathal dan dia saat itu sedang bergantung pada penutup-penutup Ka'bah. Seketika, aku langsung menebas lehemya, yaitu tepatnya berada di antara rukun dan maqam di Ka'bah.

Dalil petunjuk dari kisah Ibnu Khathal, bahwa bagi orang yang berhujah dengan kisahnya Ibnu Khathal ini akan mengatakan, bahwa dia tidak dibunuh karena telah melakukan pembunuhan terhadap nyawa orang lain. Sebab, kebanyakan yang wajib dilakukan terhadap seorang yang telah membunuh lalu keluar dari agama (atau murtad), dia akan dibunuh dengan cara digantung (qisas). Sedangkan orang yang mati karena dibunuh itu mempunyai wali. Maka hukumnya, jikalau dia dibunuh dengan cara digantung, dia terlebih dulu diserahkan kepada wali dari orang yang dibunuh, lalu mereka bisa saja membunuhnya, memaafkannya atau hanya menuntut diyat (denda) saja. Begitu pula, dia tidak dibunuh karena kemurtadannya. Sebab, orang yang murtad sebelum dibunuh terlebih dulu diminta untuk bertaubat atau yang disebut dengan "proses istitabah". Jika dia telah dimintai hal tersebut barulah diputuskan perkaranya. Sedangkan Ibnu Khathal, dia lari menuju Ka'bah, berlindung di dalamnya, mencari keselamatan, menghindari peperangan dan membuang pedangnya hingga dilihat duduk masalahnya.

Sementara itu, Nabi setelah mengetahui semua duduk perkaranya, langsung menyuruh untuk membunuhnya. Dan, bukanlah hal ini sebagai sunnah Nabi terhadap orang yang dibunuh karena kemurtadannya. Dengan demikian, tampak nyatalah bahwa pemberatan dalam perintah untuk membunuh Ibnu Khathal ini lebih disebabkan dia telah mencaci dan mencerca Nabi , dan bahwa orang yang mencaci Nabi itu, sekalipun dia telah murtad, namun dia tidak diposisikan sebagai orang yang murtad. Dia akan dibunuh tanpa melalui proses istitabah terlebih dulu, selain bahwa pembunuhannya itu tidak perlu ditunda-tunda. Hal itu juga sebagai legalisasi tentang bolehnya membunuh orang ini setelah dia bertaubat.

Beberapa ulama fiqih telah menjadikan kisah Ibnu Khathal ini sebagai dalil, yaitu bahwa kaum Muslimin yang mencaci maki Nabi juga harus dibunuh, meskipun dia sungguh-sungguh beragama Islam. Pendapat mereka ini disangkal oleh pendapat lain yang mengatakan bahwa Ibnu Khathal adalah seorang kafir harbi, dan dia dibunuh karena statusnya itu. Namun, riwayat yang benar menurut kesepakatan para ulama sirah (sejarah) adalah dia seorang yang murtad. Dan, pendapat ini diperkuat oleh riwayat yang menyebutkkan, bahwa Nabi pada saat Fathu Makkah telah menjamin keamanan seluruh kalangan kafir harbi, kecuali orang-orang yang melakukan kejahatan tertentu (khusus). Dan, Ibnu Khathal termasuk orang yang dihalalkan darahnya oleh Nabi , dan bukan yang selainnya. Dengan demikian, nyatalah bahwa Ibnu Khathal tidak dibunuh hanya semata-mata karena kekufuran dan status kafir harbinya itu.

Dalil Ketiga:
Yaitu Perintah Nabi untuk membunuh orang yang telah membuat kebohongan terhadapnya yang bisa mencoreng nama baiknya. Al-Baghawi telah meriwayatkan dari Abu Buraidah dari bapaknya, bahwa Nabi pemah mendengar seorang lelaki yang berkata kepada suatu kaum: "Sesungguhnya Nabi telah menyuruhku untuk memutuskan perkara kalian dengan pendapatku, dan harta-harta kalian dcngan begini dan begini ...." Sungguh, lelaki ini telah meminang seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka menolak untuk menikahkannya. Kemudian, lelaki ini pun bergegas pergi hingga tinggal serumah dengan wanita itu. Lalu, kaum tersebut mengirim surat kepada Rasulullah dan seketika Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah!"

Lalu Rasulullah mengutus seorang lelaki (utusan) dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih hidup, maka bunuhlah dia! Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah dia" Utusan itu segera berangkat, dan ternyata dia mendapati lelaki tersebut telah disengat (binatang berbisa) hingga mati. Lalu dia pun membakarnya dengan api. Pada saat itulah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang membuat kebohongan atas namaku dengan sengaja, maka dia mempersiapkan tempatnya di neraka. " Hadits ini telah d\-takhrij oleh Ahmad di dalam Musnad-nya, (3/244); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Ban, (1/37); dan telah d\-takhhj pula oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam at-Tarikh, (3/155).

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Abu Ahmad bin 'Adi di dalam kitabnya al-Kaamil dengan isnadnya dari Ibnu Buraidah, dari bapaknya yang berkata, pernah ada perkampungan dari Bani Laits yang berjarak dua mil dari kota Madinah. Di sana, pemah ada seorang lelaki yang berusaha melamar seorang wanita dari mereka pada masa Jahiliyah, namun mereka tidak berkenan untuk menikahkannya. Lalu lelaki itu pun mendatangi mereka dengan membawa perhiasan.

Dia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah telah memakaikan perhiasan ini kepadaku, dan menyuruhku untuk menghukumi harta dan darah kalian." Setelah itu, dia bergegas pergi dan tinggal serumah dengan wanita yang dia sukai itu. Kemudian kaum itu mengirim surat kepada Rasulullah dan Rasulullah pun menjawab, "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian, Rasulullah mengutus seseorang dan berkata kepadanya, "Jika kamu mendapatinya masih hidup dan aku tidak melihat kamu akan mendapatinya masih hidup, maka penggallah lehernya. Namun, jika kamu mendapatinya telah mati, maka bakarlah mayatnya." Dikatakan, demikianlah sabda Rasulullah , "Barangsiapa yang berbohong atas namaku dengan sengaja, maka berarti dia mempersiapkan tempatnya di dalam neraka." Hadits ini isnadnya shahih menurut syarat hadits dalam kitab ash-Shahih. Kami tidak mengetahui cacatnya.

Abu Bakar bin Mardawaih telah meriwayatkan hadits dari Wazi', dari Abu Salamah, dari Usamah yang berkata, Rasulullah telah bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan sesuatu yang tidak pernah aku sabdakan, maka dia telah menyiapkan tempat untuk dirinya di neraka." Telah di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, (2/501); Isnad hadits ini hasan, namun kedudukan haditsnya (atau matannya) shahih. Di dalam isnadnya, terdapat Muhammad bin Ishaq, dan dia adalah seorang mudallis, dan telah membuat hadits mu'an'an. Hanya saja, hadits ini mempunyai banyak riwayat. Dia merupakan hadits mutawatir yang telah diriwayatkan oleh lebih dari tujuh puluh sahabat. Hal itu, karena beliau telah mengutus seseorang untuk mendustakan lelaki ini. Lalu ternyata utusan itu mendapatinya telah mati. Lelaki ini telah dibelah perutnya, dan tanah pun tidak mau menerima jasadnya. Selain itu, juga terdapat riwayat lain, bahwa ada seorang lelaki yang telah mendustakan beliau, lalu beliau mengutus Ali dan Zubair untuk membunuhnya.

Dalil petunjuknya: Berkenaan dengan hadits ini terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama, mengambil yang zahir dari makna hadits, yaitu membunuh orang yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah . Di antara ulama yang berpendapat semacam ini, ada yang berkata, orang ini menjadi kafir karena ulahnya itu. Sebagaimana dikatakan oleh sekelompok ulama, di antaranya adalah Abu Ahmad al-Jauni sampai perkataan Ibnu 'Uqail dari guru atau syaikhnya Abu al-'Uqail al-Hamadani, seorang yang berbuat bid'ah di dalam Islam, berdusta, dan memalsukan hadits ini lebih parah daripada kaum atheis, mengingat mereka bermaksud merusak agama dari luar, sedangkan orang-orang ini bermaksud merusak agama dari dalam. Mereka seperti penghuni negeri yang berusaha merusak suasana negeri tersebut, sedangkan kaum atheis seperti musuh yang datang mengepung dari luar. Lalu, orang-orang yang menyusup ini pun membukakan pintu bentengnya, dan mereka ini adalah musuh yang lebih jahat terhadap Islam daripada orang-orang yang tidak berbaju Islam (kaum atheis) tersebut.

Alasan pendapat ini antara lain, adalah:

1. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan berdusta atas nama Allah .Dan, barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama Allah, maka dia adalah orang kafir.

2. Bahwa berdusta atas nama Nabi sama saja dengan mendustakannya. Padahal, mendustakan Nabi berarti kekufuran sebaggaimana yang telah disepakati.

3. Bahwa berdusta dengan sengaja atas nama Nabi berarti menghina dan merendahkan Nabi . Karena, orang yang berdusta atas nama orang yang semestinya diagungkannya, berarti dia meremehkan dan merendahkan hak Nabi ; dan itu adalah suatu kekufuran.
4. Bahwa orang yang berdusta atas nama Nabi pasti mencela dan mencoreng nama baik beliau dengan ulahnya tersebut, dan barangsiapa yang telah mencoreng nama baik Nabi , berarti dia telah menjadi kafir.

5. Ketahuilah, bahwa pendapat ini sangat kuat sekali seperti yang Anda lihat sendiri. Akan tetapi, dia berusaha membedakan antara orang yang berdusta atas nama Nabi melalui ucapan langsung dengan orang yang berdusta atas nama beliau melalui perantara, seperti misalnya dia mengatakan, "Si fulan bin fulan telah mengatakan kepadaku begini." Maka, orang semacam ini tidak lain telah berdusta dengan mengatasnamakan si fulan tadi dan menyandarkan hadits itu kepadanya. Adapun bila dia mengatakan, "Hadits ini shahih," atau terbukti dia mengatakan itu atas pengetahuannya bahwa dia telah berdusta, maka berarti dia telah berdusta atas nama orang tersebut. Sedangkan jika dia mereka-reka dan meriwayatkannya sebagai riwayat yang biasa atau wajar saja, maka dalam hal ini terdapat catatan, terlebih lagi bahwa para sahabat itu orang-orang yang sangat adil. Wallahu A'lam.

Kebohongan jika berasal dari salah seorang yang berada di tengah-tengah mereka (para sahabat), maka pastilah besar mudaratnya di dalam agama. Rasulullah di sini menginginkan untuk membunuh orang yang telah berdusta atas nama beliau, dan juga mempercepat proses hukumannya, agar hal itu bisa menjadi benteng/penjaga terhadap masuknya atau menyusupnya — di tengah orang-orang adil (para sahabat) seseorang yang bukan golongan mereka dari kalangan kaum munafik dan yang sejenisnya.

Adapun orang yang meriwayatkan hadits, sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah berdusta, maka tindakannya tersebut hukumnya haram. Sebagaimana terdapat riwayat shahih dari Nabi , yang bersabda: "Barangs/apa yang telah meriwayatkan hadits dariku sedangkan dia mengetahui bahwa dia telah berdusta, maka dia termasuk golongan pendusta.". Di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam Musnad-nya (4/250, 584); dan telah di-takhrij pula oleh ath-Thabrani di dalam al-Kabir (7/180); isnadnya shahih. Di-takhrij pula oleh Muslim di muqaddimahnya Bab Wajibnya Meriwayatkan dari rawi yang tsiqah, juga Ibnu Majah no. 39.

Akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir, kecuali bila dia menyertakan pada riwayatnya itu motif lain yang bisa menyebabkannya menjadi kafir, karena di sini dia jujur ketika mengatakan bahwa gurunya telah menyampai-kan hadits dusta itu. Namun, mengingat dia tahu bahwa gurunya telah berdusta dalam hadits itu, maka riwayat itu pun menjadi tidak halal baginya. Schingga, tindakannya di sini dianggap seperti melakukan kesaksian untuk menetapkan hadits itu, atau menjadi semacam kesaksian atau transaksi Padahal, dia mengetahui bahwa tindakan itu adalah batil. Sesungguhnya kesaksian semacam ini hukumnya haram, akan tetapi dia tidak dinyatakan scbagai saksi palsu.

Atas dasar pendapat inilah, maka tentunya orang yang telah mencaci maki Nabi itu lebih berhak untuk dibunuh daripada orang yang berdusta atas namanya. Karena, orang yang berdusta atas namanya telah menambahkan di dalam agama sesuatu yang bukan termasuk darinya, scdangkan si pencaci maki ini telah mencerca agama secara keseluruhan. Ketika itu, Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang telah berdusta atas namanya tanpa melalui proses istitabah, maka tentunya orang yang mencaci maki beliau lebih sepatutnya lagi diperlakukan seperti itu.

Pendapat kedua, orang yang berdusta atas nama Nabi itu diberatkan sanksi atau hukumannya, akan tetapi dia tidak sampai menjadi kafir dan juga tidak boleh dibunuh, karena faktor-faktor yang menyebabkan orang menjadi kafir dan dibunuh itu sangat jelas (sudah diketahui), dan faktor-faktor tersebut tidak ada di sini. Sehingga, tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu yang tidak punya landasan. Barangsiapa yang berpendapat semacam ini, maka dia harus mengikat pendapatnya itu dengan menyatakan bahwa berbuat dusta atas nama Nabi itu tidak mengandung aib yang terlihat. Adapun bila dia mengabarkan bahwa dia telah mendengar Nabi mengatakan sesuatu yang secara jelas (eksplisit) menunjukkan kekurangan dan aib Nabi , semisal keringat kuda dan kebohongan-kebohongan lainnya, maka berarti dia telah secara jelas menghina Nabi , dan tidak syak lagi bahwa dia itu adalah seorang kafir yang halal darahnya. Orang yang berpendapat semacam ini menjawab hadits di atas dengan mengatakan bahwa Nabi telah mengetahui bahwa orang itu munafik, maka beliau pun membunuhnya karena kemunafikannya itu.

Jawaban ini tidaklah benar dikarenakan alasan-alasan berikut:

1. Karena tidak ada di antara sunnah Nabi bahwa beliau membunuh seseorang dari kaum munafik yang kemunafikannya telah dikabarkan oleh sumber terpercaya atau diwahyukan oleh al-Quran. Lalu bagaimana mungkin beliau membunuh seseorang hanya karena mengetahui kemunafikannya semata? Kemudian beliau juga telah menyebutkan sekelompok kaum munafik kepada Hudzaifah dan sahabat yang lainnya. Namun, beliau tidak pernah membunuh seorang pun dari mereka. Selain itu, sebab yang tersebut dalam hadits di atas adalah bahwa dia mendustakan hadits atas nama Nabi «|t dikarenakan suatu tujuan, dan karenanya dia dihukum mati. Yaitu, karena orang tersebut berdusta hanya untuk memperoleh kesenangan atau syahwatnya saja. Tindakan semacam ini kadang bisa saja dilakukan oleh orang-orang fasik, sebagaimana dilakukan pula oleh orang-orang kafir.

2. Bisa jadi kemunafikan orang tersebut disebabkan oleh kebohongannya ini atau oleh sebab lain yang sebelumnya. Jika ternyata kemunafikannya itu disebabkan oleh kebohongannya ini, maka menjadi jelaslah bahwa melakukan kebohongan atas nama Nabi itu adalah suatu kemunafikan, dan seorang yang munafik itu adalah kafir. Namun, jika sifat munafik itu sudah ada pada dirinya sebelumnya, dan sifat munafik inilah yang menuntut dia harus dibunuh, bukan faktor yang lainnya, maka pertanyaannya adalah: Mengapa perintah untuk membunuhnya ditunda sampai dia melakukan kebohongan atas nama Nabi ini? Dan, mengapa pula Allah tidak mengazabnya karena kemunafikannya itu hingga pada akhimya dia melakukan kebohongan ini?

3. Sesungguhnya orang-orang telah menyampaikan ucapan orang tersebut kepada Nabi , lalu beliau pun berkata: "Telah berdusta musuh Allah." Kemudian beliau pun menyuruh untuk membunuhnya jika dia ditemu-kan dalam keadaan masih hidup. Setelah itu, beliau berkata, "Aku tidak mellhatmu akan menemukannya dalam keadaan hidup," karena beliau mengetahui dosa orang tersebut menyebabkan hukuman atau siksanya dipercepat.

4. Jika Nabi menyuruh untuk membunuh atau menjatuhkan hukuman (sanksi) dan kaffarat (tebusan) setelah dilakukannya suatu sifat atau perbuatan, maka pastilah ganjaran (hukuman) itu ditimpakan kepada perbuatan tersebut. Perbuatan itulah yang menuntut adanya ganjaran tersebut, bukan yang lainnya. Sebagaimana bahwa ketika seorang Arab badui melakukan persetubuhan (jima') pada saat menunaikan puasa Ramadhan, maka Nabi langsung menyuruhnya untuk membayar kaffarat (tebusan), dan ketika Ma'iz bersama wanita al-Ghamidiyyah dan juga yang lainnya mengaku telah berbuat zina, maka Nabi pun menyuruh untuk merajamnya. Yang demikian ini menurut sepenge-tahuan kami termasuk hal-hal yang tidak diperselisihkan lagi di tengah banyak orang. Justeru mereka berselisih pendapat tentang faktor yang menyebabkannya, apakah faktor itu adalah seluruh sifat-sifat tersebut atau hanya sebagiannya saja, sedangkan sifat itu adalah bagian dari bentuk perbaikan parameter atau yang disebut dengan tanqiih al-manaath. Adapun menjadikan perbuatan itu tidak punya dampak dan sebaliknya menganggap yang menyebabkan hukuman itu adalah faktor lain yang tidak tersebut di sini, maka secara pasti ini adalah anggapan yang batil.

Akan tetapi, bisa saja dikatakan di sini pendapat yang lebih dekat atau tepat dari semua ini, yaitu bahwa lelaki ini telah membuat kebohongan atas nama Nabi yang membuat nama beliau tercemar. Karena, dia telah mengklaim bahwa Nabi telah mengangkatnya sebagai hakim dalam urusan darah dan harta mereka, dan juga telah mengizinkannya untuk menginap di rumah siapa saja yang dikehendakinya, padahal maksud dari semua itu adalah agar dia bisa menginap di rumah wanita tersebut untuk melakukan perbuatan mesum dengannya. Di samping bahwa mereka juga tidak akan mungkin mengingkarinya jika memang dia benar-benar ditunjuk oleh Nabi sebagai hakim dalam urusan darah dan harta mereka.

Sudah jelas, bahwa Nabi tidak mungkin menghalalkan sesuatu yang haram. Dan, barangsiapa yang menuduh bahwa beliau telah menghalalkan hal-hal yang diharamkan dalam urusan darah, harta dan perkara-perkara yang keji, maka sungguh dia telah mencoreng dan mencemarkan nama baik Nabi if. Begitu pula jika dia menyandarkan kepada Nabi bahwa beliau memberi izin kepadanya untuk menginap di rumah seorang wanita asing (bukan mahram) untuk berkhalwat dengannya, dan juga bahwa dia boleh menghukumi dengan sekehendak hatinya di tengah-tengah kaum Muslimin, maka hal semacam ini merupakan tindakan pencemaran dan pencorengan terhadap nama baik Nabi .
Atas dasar inilah Nabi menyuruh untuk membunuh orang yang mencela dan mencercanya tanpa melalui proses istitabah, dan hal inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini. Dengan demikian, menjadi nyatalah bahwa hadits di atas sebagai landasan untuk membunuh seorang yang mencerca beliau tanpa melalui proses istitabah menurut salah satu dari dua pendapat.

Pendapat kedua ini diperkuat lagi bahwasanya kaum tersebut jika memang terbukti bagi mereka bahwa ucapan lelaki ini merupakan celaan dan cercaan kepada Nabi , niscaya mereka langsung mengingkarinya. Dan, barangkali bisa dikatakan di sini, "Mereka ragu-ragu terhadap lelaki ini," lalu mereka bersikap diam hingga mereka mengklarifikasikannya terlebih dulu kepada Nabi , sewaktu terjadi pertentangan antara wajib menaati Rasulullah dan betapa besar masalah yang dibawa oleh lelaki laknat ini. Dan, orang yang mendukung pendapat yang pertama telah mengatakan, "Setiap kebohongan atas nama Nabi mengandung cercaan terhadapnya." Sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu.

Selain itu, lelaki ini tidak pemah menyebutkan dalam perkataannya itu bahwa dia bermaksud mencerca dan menghina Nabi . Akan tetapi, dia hanya bermaksud untuk memenuhi syahwatnya dengan membuat kebohongan atas nama Nabi . Dan hal ini merupakan kebiasaan orang-orang yang dengan sengaja melakukan kebohongan atas nama Nabi . Dia hanya bermaksud untuk memperoleh tujuannya semata, jika memang dia tidak bermaksud untuk meremehkan Nabi. Tujuan-tujuan itu umumnya bisa berupa harta atau kehormatan. Sebagaimana bahwa orang jahat jika dia tidak bermaksud sebatas menyesatkan dia hanya bermaksud untuk memperoleh kepemimpinan agar dilaksanakan perintah-nya dan dimuliakan, atau hanya bermaksud memperoleh keinginan-keinginan atau syahwatnya yang kasat mata saja.

Ringkasnya, barangsiapa yang mengucapkan atau melakukan suatu kekufuran, maka dia telah menjadi kafir karenanya, meskipun dia tidak pernah bermaksud untuk menjadi kafir, mengingat tidak ada seorang pun yang bermaksud menjadi kafir kecuali yang telah dikehendaki oleh Allah .

Dalil Keempat:
Yaitu dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan kekufuran orang yang telah menyakiti Rasulullah , beserta syariat untuk membunuhnya.

Di antara hadits-hadits ini adalah sebagai berikut: Hadits tentang seorang badui yang sewaktu Nabi memberinya justeru dia berkata kepada beliau: "Kamu tidak pernah berbuat kebaikan." Sehingga, kaum Muslimin bermaksud untuk membunuhnya , lalu Nabi bersabda, "Jika kalian membiarkan lelaki ini sewaktu mengucapkan apa yang diucapkannya itu, lalu kalian membunuhnya, niscaya dia tetap masuk neraka." Hadits ini akan disebutkan dalam materi hadits-hadits yang membahas tentang pengampunan Nabi terhadap orang-orang yang telah menyakitinya.

Petunjuk dalilnya: Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah menyakiti Nabi jika dia dibunuh, maka dia tetap masuk neraka. Hal itu sebagai dalil kekufurannya dan bolehnya dia dibunuh. Karena jika tidak, maka dia justeru dinyatakan sebagai orang yang mati syahid, sedang pembunuhnya termasuk penghuni neraka. Akan tetapi, Nabi telah memaafkannya, lalu setelah itu orang itu pun memohon keridhaan beliau hingga beliau pun ridha, mengingat sudah kebiasaan Nabi selalu memaafkan orang yang telah menyakitinya, sebagaimana akan kita bahas nanti, insya Allah.

Hadits lainnya, adalah bahwa sewaktu Nabi membagi-bagikan harta rampasan perang (ghanimah), ada seorang lelaki yang berkata kepada beliau: "Sungguh, ini pembagian yang tidak semata-mata karena Allah ." Lalu Umar bin Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, biarkanlah aku membunuh orang munafik ini." Namun, Nabi bersabda, "Ma'aadzallah (aku berlindung kepada Allah) bila orang-orang sampai berkata aku membunuh para sahabatku.".Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam Muslim, dalam kitab pembahasan Zakat (2/740); juga telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarh al-Bukhari, (12/291); juga telah di-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/244); dan juga telah di-takhrij oleh ath-Thabarani di dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, (2/185). Kemudian beliau mengabarkan bahwa akan muncul dari anak cucu orang itu nanti kaum yang akan membaca al-Quran, namun bacaan itu tidak sampai melewati pangkal tenggorokan mereka, lalu beliau menyebutkan hadits tentang kelompok Khawarij, (HR. Muslim).

Dalil petunjuknya: Di sini, Nabi sebenamya tidak melarang Umar bin Khattab untuk membunuh orang tersebut, jika bukan karena beliau khawatir orang-orang akan berkata, "Muhammad membunuh para sahabat-nya." Beliau juga tidak melarang itu untuk dirinya meskipun dia seorang yang ma'shum (terhindar dari dosa). Sebagaimana beliau telah berkata di dalam hadits tentang kisah Hatib bin Abu Balta'ah, yaitu sewaktu Hatib mengatakan, "Aku tidak melakukan itu karena kufur, juga bukan karena benci terhadap agamaku, dan juga bukan karena ridha dengan kekufuran setelah masuk Islam." Ketika itu Nabi ^ berkata, "Dia sungguh telah membenarkan (agama) kalian.". Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang tafsir, hadits no. 4608; juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang keutamaan, (4/1941, 1942); dan juga telah d'htakhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (1/80).

Lalu Umar berkata, "Biarkanlah aku memenggal leher orang munafik ini." Namun, Nabi berkata, "Dia pernah ikut perang Badar. Tahukah kamu, bahwasanya Allah melihat kepada sahabat yang ikut perang Badar dan Dia berfirman, "Berbuatlah sekehendakmu, sungguh Aku telah mengampuni dosa-dosa kalian." Di sini, Nabi menjelaskan bahwa Hatib tetap dalam keimanannya dan bahwa dosa-dosa yang telah dilakukannya itu termasuk kategori dosa-dosa yang akan diampuni. Dengan demikian, maka darah atau keselamatannya pun harus dilindungi.

Di sini, beliau ber'illat (berargumen) dengan kerusakan yang telah hilang (tiada). Dari sini jelaslah, bahwa membunuh orang yang mengucapkan perkataan semacam itu, jika tidak berekses atau berbuntut timbulnya kerusakan setelah itu, hukumnya boleh-boleh saja. Dan, begitu pula jika kerusakan ini tidak ada, maka Allah telah menurunkan firman-Nya, "Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka," (at-Taubah: 73), setelah sebelumnya Dia berfirman kepada Nabi , "Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka," (Al-Ahzab: 48). Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ayat, "Ber-jihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik ...," (at-Taubah: 73), itu me-nasakh (menghapus) ayat yang sebelumnya.

Di antara peristiwa yang serupa dengan kejadian ini adalah bahwa Abdullah bin Ubay sewaktu berkata, "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madlnah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya," (al-Munafiqun: 8), dan berkata, "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)," (al-Munafiqun: 7). Maka, seketika itu Umar pun meminta izin untuk membunuhnya. Namun, Nabi malah berkata, "Kalau demikian, banyak orang di Madinah nanti yang akan gemetar/lari karenanya," dan beliau juga berkata, "Niscaya orang-orang akan berbicara bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya." Kisah ini sudah sangat masyhur dan disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Dalil petunjuknya: Bahwa orang yang telah menyakiti Nabi dengan melontarkan perkataan semacam ini boleh dibunuh, dan hal itu jika bisa dilakukan. Namun, Nabi mengabaikan untuk membunuh orang tersebut jika dikhawatirkan pembunuhannya itu justru berimplikasi larinya banyak orang dari ajaran Islam sewaktu Islam masih dalam kondisi lemah. Di antara hadits lainnya, adalah bahwa Nabi ketika bertanya, "Siapa yang mau memahami uzurku terhadap seseorang yang telah menyakiti keluargaku?" Lalu Sa'ad bin Mu'adz berkata, "Saya mau memahami uzurmu. Jika temyata dia berasal dari suku Aus, maka pasti aku penggal lehemya." Kisah ini sangat masyhur.

Dalil petunjuknya: Ketika hal itu tidak dipungkiri atas beliau, maka beliau menyatakan bahwa orang yang telah menyakiti dan mencela Nabi itu boleh dipenggal lehernya. Perbedaan antara Ibnu Ubay dan orang-orang lainnya yang berbicara tentang Aisyah , adalah bahwa Ibnu Ubay sewaktu membicarakan Aisyah (atau menuduhnya berzina), itu sebenarnya bermaksud untuk mencela Nabi , mencercanya, menimpakan aib kepadanya, dan mengucapkan kata-kata yang berpretensi untuk mencorengnya. Oleh karena itu, para sahabat pada saat itu berkata, "Kami akan membunuhnya." Berbeda dengan Hassan, Misthah, dan Hamnah. Mereka sama sekali tidak bermaksud demikian, dan tidak pula mengucapkan kata-kata yang berpretensi kepada hal-hal tersebut. Karena itulah, Nabi meminta maaf untuk membunuh Ibnu Ubay dan tidak membunuh yang lainnya. Dan karena itu pula, orang-orang ribut hingga hampir terjadi perang antara dua perkampungan.

Dalil Kelima:
Yaitu dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan kekufuran orang yang telah mencerca Rasulullah beserta syariat untuk membunuhnya.

Di antara hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini adalah sebagai berikut: Hadits yang diriwayatkan dari asy-Sya'bi yang berkata: Ketika Rasulullah menaklukkan kota Makkah, beliau meminta harta Uzza lalu menabur-kannya di hadapannya. Kemudian beliau memanggil seseorang yang beliau sebut namanya, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil Abu Sufyan bin Harb, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil Sa'ad bin Harits, lalu memberikan kepadanya bagiannya. Kemudian beliau memanggil sekumpulan orang-orang Quraisy, lalu beliau pun memberi mereka. Beliau memberi seseorang sebutir emas seberat 50 mitsqal dan seberat 70 mitsqal dan yang semisalnya. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Sungguh, engkau sangat tahu kemana engkau meletakkan biji emas!" Lalu lelaki kedua mengucapkan perkataan yang sama, namun Nabi berpaling darinya. Lalu lelaki ketiga berkata: "Sungguh engkau menghukumi, tapi aku tidak melihatmu berlaku adil." Beliau pun berkata, "Celakalah kamu! Kalau begitu, tidak ada seorang pun yang adil setelahku." Kemudian Nabi memanggil Abu Bakar dan berkata, "Pergilah dan bunuhlah dial" Lalu Abu Bakar pun pergi, namun dia tidak menemukan lelaki tersebut. Lalu Nabi pun bersabda, "Sekiranya engkau membunuhnya, aku berharap dia sebagai orang yang pertama dan yang terakhir dari mereka."

Dalil petunjuknya: Hadits ini menetapkan untuk membunuh seseorang yang mencerca Rasulullah tanpa melalui proses istifabah. Dan, ini bukanlah kisah pembagian harta rampasan perang Hunain, dan juga bukan pembagian emas lantak (batangan) yang dibawa Ali dari Yaman, melainkan kisah tentang pembagian harta Uzza yang terjadi sebelum peristiwa-peristiwa tersebut. Penghancuran patung Uzza itu terjadi sebelum peristiwa Fathu Makkah, tepatnya pada akhir bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Sementara harta rampasan perang Hunain dibagi-bagikan setelahnya di suatu tempat yang bemama Ji'ranah pada bulan Dzulqa'dah, dan pembagian emas yang dibawa Ali teijadi pada tahun kesepeluh Hijriyah.

Hadits ini hukumnya mursal dan bersumber dari Majalid. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang lemah. Akan tetapi, ada riwayat lain yang bisa menguatkan maknanya, yaitu bahwa Umar telah membunuh seorang lelaki yang tidak puas terhadap putusan Nabi , dan juga rurun wahyu yang membenarkan tindakan tersebut. Dan, dosanya pun lebih ringan daripada dosa ini.

Selain itu, disebutkan pula dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim riwayat dari Sa'id, dari Nabi berkaitan dengan hadits orang yang mencela beliau dalam masalah pembagian emas yang dibawa Ali dari Yaman, dan orang itu pun mengatakan, "Wahai Rasulullah, takutlah kepada Allah ." Pada wakru itu, beliau pun bersabda: "Sesungguhnya akan muncul dari anak cucu orang ini suatu kaum yang afcan membaca Kitab Allah dengan suara yang merdu, namun bacaan itu tidak sampai ke pangkal tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Mereka membunuhi orang-orang Islam dan meninggalkan para penyembah berhala. Jika aku sampai menemui mereka, niscaya aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakukan terhadap kaum 'Aad. ". Hadits ini di-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/665, hadits no. 4351); dan juga telah di-takhrij oleh Imam Muslim di dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/742, 743).

Dalil petunjuknya: Hadits ini dan yang semisalnya sebagai dalil bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh golongan dari lelaki yang telah mencela beliau, dan memberitahukan bahwa orang yang mampu membunuh mereka akan mendapatkan pahala. Beliau juga bersabda, "Jikalau aku sampai menemui mereka, niscaya akan aku bunuh mereka seperti pembunuhan yang dilakuksn terhadap kaum 'Aad," dan juga menyebutkan bahwa mereka adalah kaum yang paling buruk akhlak dan bentuk ciptaannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dan yang lainnya dan Abu Umamah disebutkan, bahwa Nabi bersabda: "Mereka adalah sejelek-jelek kaum yang mati terbunuh di bawah kolong langit (atau di bumi), sedangkan sebaik-baik orang yang mati terbunuh adalah orang-orang yang telah mereka bunuh."

Intinya, barangsiapa yang meyakini bahwa Nabi tidak adil dalam pembagiannya, sedangkan Nabi mengatakan bahwa beliau melakukan itu atas perintah Allah , maka orang itu tidak lain adalah orang yang mendustakan Nabi. Barangsiapa yang mengklaim bahwa Nabi tidak adil dalam masalah putusan atau pembagiannya, maka berarti dia telah mengklaim bahwa beliau berlaku zalim dan bahwa mengikutinya menjadi tidak wajib, dan dia pun menyelisihi apa yang terkandung dalam risalah yang berupa keamanahan Nabi, kewajiban unruk menaatinya, serta hilangnya dosa dari badan oleh karena keputusan beliau melalui perkataan dan perbuatannya. Karena, Nabi telah menyampaikan dari Allah bahwa Dia (Allah) telah mewajibkan untuk menaatinya dan tunduk terhadap hukumnya, dan bahwa dia tidak akan menzalimi siapa pun. Maka, barangsiapa yang mencerca putusan dan pembagiannya ini, maka dia sungguh telah mencerca ajakannya; dan itu berarti dia mencerca kerisalahannya. Dengan demikian, maka terbuktilah keshahihan riwayat orang yang telah meriwayatkan hadits: "Lalu siapa lagi orang yang berbuat adil, bila ternyata aku saja tidak bisa berbuat adil? Sungguh, kamu pasti merugi jika aku saja tidak bisa berbuat adil." .Hadits ini di-takhrij oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab pembahasan tentang istitabah terhadap orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga telah di-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (8/171); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam al-Hakim di dalam a/-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang, (2/145).

Karena, orang yang mencerca ini juga mengatakan bahwa beliau (Muhammad) adalah utusan Allah dan bahwa wajib baginya untuk membenarkan dan menaatinya. Jika dia mengatakan bahwa Nabi tidak berbuat adil, maka berarti dia telah membenarkan seseorang yang tidak adil dan tidak dapat dipercaya (tidak amanah), dan barangsiapa yang mengikuti orang semacam ini, pastilah dia akan merugi.

Sebagaimana Allah telah menyifati atau menggambarkan bahwa mereka termasuk orang-orang yang benar-benar merugi, sekalipun mereka menganggap bahwa mereka selalu melakukan sesuatu yang terbaik. Di samping bahwa orang yang tidak percaya terhadap masalah harta, berarti dia tidak akan pemah percaya terhadap masalah yang lebih besar darinya. Oleh karena itu, Nabi bersabda: "Tidakkah kalian mempercayaiku, padahal aku adalah kepercayaan yang ada di langit?! Berita dari langit selalu datang kepadaku pagi dan sore.". Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam al-Bukhari dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/666, hadits no. 4351); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan zakat, (2/742); dan juga telah di-takrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnaf-nya, (3/4). Sabda Nabi : "Mereka adalah kaum yang paling jelek akhlak dan bentuk ciptaannya.".

Hadits ini telah disebutkan oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Ban Syarfi al-Bukhari, (12/286); juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Abu Dzar yang berkaitan dengan gambaran kelompok Khawarij, yaitu, "Mereka adalah kelompok yang paling buruk akhlak dan ciptaannya." Juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang jayyid (baik), semisal dari Anas. Dan sabda beliau: "Mereka adalah sejelek-jelek orang yang mati terbunuh di bawah kolong langit." .Hadits ini telah dt-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (5/256); juga telah di-takhrij oleh Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dalam kitab pembahasan tentang pembunuhan terhadap kaum pembangkang (bughat), (2/149); dan Imam al-Hakim berkata: Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

Ini sebagai dalil bahwa mereka termasuk golongan orang-orang munafik. Sebab, orang-orang munafik itu lebih buruk keadaannya daripada orang-orang kafir. Sebagaimana disebutkan bahwa firman Allah :

"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat."(at-Taubah:58)

Ayat ini turun berkenaan dengan mereka. Demikian pula dinyatakan dalam hadits Abu Umamah, bahwa firman Allah: “Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman." (AH Imran: 106)

Ayat ini juga turun berkenaan dengan mereka. Yang demikian ini bukan termasuk masalah yang diperselisihkan jika mereka secara terang-terangan mencerca dan mencela Nabi , seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang mencela beliau itu. Jika telah nyata melalui hadits-hadits shahih ini bahwa Nabi menyuruh untuk membunuh orang-orang yang termasuk kelompok lelaki yang telah mencela beliau ini di manapun mereka berada, juga mengabarkan bahwa mereka itu orang-orang yang paling buruk bentuk ciptaannya, serta telah terbukti bahwa mereka termasuk golongan orang-orang munafik, maka hal itu adalah sebagai dalil tentang keshahihan makna hadits asy-Sya'bi yang berkenaan dengan kelayakan atau keabsahan mereka untuk dibunuh.

SYUBHAT(Sanggahan) :Mengapa Nabi Mencegah Membunuh Orang yang Telah Mencelanya Tersebut? Kini, pertanyaan yang tersisa adalah: Mengapa Rasulullah mencegah untuk membunuh orang yang telah mencelanya itu, walaupun beliau telah menyuruh untuk membunuh golongannya, dan mengabarkan bahwa mereka adalah sejelek-jelek makhluk ciptaan, dan juga bahwa mereka adalah sejelek-jelek orang yang mati terbunuh di bawah kolong langit?

Kita jawab: Hadits asy-Sya'bi memaparkan tentang awal mula muncul-nya orang-orang semacam ini. Yang lebih serupa lagi, Wallahu A'lam, bahwa Nabi menyuruh untuk membunuh orang itu untuk pertama kali semata-mata agar selesai atau tuntas urusan mereka, meskipun beliau akhirnya memaafkan kebanyakan orang-orang munafik itu, mengingat beliau khawatir pembunuhan orang itu bisa berekses pada tersebarnya kerusakan terhadap umat ini setelahnya. Oleh karena itu, beliau bersabda, "Kalaupun engkau membunuhnya, maka aku berharap dia adalah orang yang pertama dan yang terakhir dari mereka." Dan, kemaslahatan yang diperoleh pun lebih besar dari kekhawatiran Nabi akan larinya banyak orang, karena membunuh orang itu.

Manakala orang itu tidak diketemukan dan dia pun urung dibunuh, sedangkan Nabi sebenamya memiliki ilmu yang telah diwahyukan Allah kepadanya yang merupakan keutamaan yang diberikan Allah kepadanya, dan seolah-olah beliau telah mengetahui bahwa orang-orang seperti mereka ini pasti muncul, dan bahwa beliau tidak berkeinginan untuk mengusut mereka, seperti ketika beliau mengetahui bahwa Dajjal pasti akan keluar, maka pada saat itu, beliau pun melarang Umar untuk membunuh Ibnu Shayyad dan bersabda: "Jika dia memang benar adalah (Dajjal-ed.), maka kamu tidak akan bisa menguasainya, dan jika bukan, maka tidak ada kebaikan bagimu membunuhnya."

Hal ini pula yang menyebabkan beliau setelah itu melarang Umar untuk membunuh Dzulkhuwaishirah sewaktu dia mencela Nabi dalam masalah pembagian harta rampasan perang Hunain. Begitu pula ketika Umar berkata: "Izinkanlah aku untuk memenggal lehernya," beliau bersabda, "Biarkanlah dia, karena dia punya banyak kroni (pengikut), yang membuat seorang dari kalian akan menghinakan shalatnya bersama mereka dan puasanya bersama mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari busurnya " Lihat Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang meminta bertaubat bagi orang-orang yang murtad, (12/303, hadits no. 6933); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/744); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/56); dan juga telah d\-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (8/171).

Sampai perkataan beliau , "Mereka akan keluar pada saat muncul sekelompok manusia." Di sini, Nabi menyuruh untuk membiarkan orang itu mengingat dia mempunyai banyak kroni (pengikut) yang akan muncul setelah itu. Dengan demikian, nyatalah bahwa ilmu Nabi tentang kepastian akan keluar atau munculnya kroni-kroni itu mencegah beliau membunuh orang, mengingat hal itu menyebabkan orang-orang akan mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya yang shalat bersamanya, dan juga menyebabkan banyak orang lari (keluar) dari ajaran Islam, tanpa ada suatu kemaslahatan yang bisa menghapus kerusakan ini. Di samping bahwa kebiasaan Nabi itu selalu memaafkan orang-orang yang telah menyakiti-nya secara mutlak.

Dengan demikian, jelaslah sebab mengapa beliau dalam sebagian hadits berdalih bahwa orang itu masih melakukan shalat, lalu dalam sebagian hadits lain berdalih dengan alasan agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh para sahabatnya, dan pada sebagian hadits lainnya lagi berdalih bahwa orang itu punya banyak kroni yang akan keluar. Dan, insya Allah, hadits-hadits tersebut akan disebutkan nanti, meskipun sebenarnya hadits-hadits itu juga selayaknya disebutkan dalam ruang pembahasan ini.

Dari sini, maka nyatalah bahwa setiap orang yang mencela Nabi berkaitan dengan putusannya atau pembagiannya, maka dia wajib dibunuh, sebagaimana beliau menyuruh itu pada masa hidupnya dan setelah wafatnya. Adapun beliau memaafkan orang yang mencelanya itu semasa hidupnya, seperti juga beliau memaafkan orang-orang munafik yang telah menyakitinya, itu dikarenakan beliau telah mengetahui bahwa mereka akan muncul dalam umat ini secara pasti, di samping bahwa manfaat dari membunuh orang itu pun tidak banyak. Justeru, membunuh seluruh orang-orang munafik itu bisa mendatangkan kerusakan yang lebih besar. Perbedaan Antara Celaan yang Menyebabkan Pelakunya Menjadi Munafik dan Kafir dan Antara Koreksi yang Dilakukan Sejumlah Kalangan Sahabat Terhadap Rasulullah

Dalam konteks ini bisa saja muncul pertanyaan: Apakah perbedaan antara ucapan para pengumpat Nabi ini dalam artian sebagai bentuk kemunafikan yang bisa menyebabkan mereka menjadi kafir dan halal darahnya, dan bahkan menjadikan keturunan mereka sebagai makhluk yang paling jelek dan antara riwayat yang mengisahkan tentang kemarahan kaum Quraisy dan kaum Anshar terhadap beliau ?

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan Abu Sa'id disebutkan, bahwa Nabi sewaktu membagikan emas hanya di antara empat orang saja. Maka, orang-orang Quraisy dan kaum Anshar menjadi berang dan berkata, "Engkau memberikannya kepada para pembesar Najed dan mengabaikan kami?" Lalu beliau menjawab, "Sesungguhnya hal itu aku lakukan untuk melunakkan hati mereka. "35 Lalu menghadaplah seorang lelaki yang cekung kedua matanya, lalu Nabi pun menyampaikan hadits tentang orang yang mencelanya.. Lihat Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/649-650, hadits no. 4331); juga telah d'\-takhrij oleh Imam Nasa'i dalam kitab pembahasan tentang pengharaman darah, bab: orang yang menghunus pedangnya, (7/118); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (3/73); dan juga telah di-takhrij oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (6/339).

Imam Muslim telah meriwayatkan hadits tentang kemarahan kaum Anshar berkenaan dengan pembagian harta rampasan perang Hunain. Dari Anas bin Malik bahwa beberapa orang dari kaum Anshar pada waktu perang Hunain—tepatnya ketika Allah menganugerahkan harta rampasan perang milik kaum Hawazin kepada Rasulullah -H, lalu beliau memberi orang-orang Quraisy seratus onta—mereka berkata: "Semoga Allah mengampuni dosa Rasulullah yang hanya memberi orang-orang Quraisy dan melupakan kami, sementara pedang-pedang kami meneteskan darah mereka?!"

Dalam riwayat lain disebutkan: Ketika Makkah telah ditaklukkan, maka dibagilah harta rampasan di antara orang-orang Quraisy, lalu kaum Anshar berkata, "Betapa ini sangat aneh! Sungguh pedang-pedang kami bersimbah darah mereka, sementara harta rampasan perang kami malah dikembalikan kepada mereka!" Dalam riwayat lain, kaum Anshar berkata, "Ketika kondisi susah, maka kami dipanggil, namun ternyata harta rampasan perang (ghanimah) diberikan kepada selain kami!" Anas berkata: Lalu aku sampaikan ucapan mereka itu kepada Rasulullah, lalu beliau mengirim utusan kepada kaum Anshar untuk mengumpulkan mereka pada suatu kubah dari kuburan, dan tidak mengundang selain mereka. Ketika mereka telah berkumpul, maka Rasulullah pun mendatangi mereka dan bersabda: "Apa komentar / ucapan yang bisa kudengar dan kalian?". Lalu para ahli fiqih dari kaum Anshar berkata, "Adapun orang-orang yang berakal dari kami, mereka tidak mengucapkan komentar apa pun, sedangkan sebagian orang dari kami ada yang berkata, "Semoga Allah mengampuni Rasulullah yang hanya memberi kaum Quraisy dan meninggalkan kami, padahal pedang-pedang kami bersimbah dengan darah-darah mereka?" Lalu Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya aku memberi kepada orang-orang yang baru saja meninggalkan kekufuran guna melunakkan hati mereka. Tidakkah kalian ridha bila orang-orang itu pergi dengan membawa harta sedangkan kalian pulang ke rumah kalian dengan membawa Rasulullah ? Apa yang kalian dapat itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa." Mereka berkata, "Benar, wahai Rasulullah, sungguh kami telah ridha/rela." Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kalian akan memperoleh kekayaan setelahku, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa dengan Allah dan Rasul-Nya." Mereka berkata, "Kami akan selalu bersabar." Lihat Fathul Bari dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (7/649, 650, hadits no. 4331); hadits ini juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang zakat, (2/735); dan juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnacf-nya, (3/166).

Tidak ada sedikit pun dalam perkataan salah seorang dari kaum mukminin Quraisy, Anshar, dan yang lainnya berisi tuduhan tentang kelaliman Rasulullah , pembolehan hal itu terhadapnya, juga tuduhan kepadanya bahwa beliau telah membuat pengkhususan dalam pembagian itu karena menuruti hawa nafsu dan mencari kekuasaan, serta pe-nyandaran/penisbatan kepadanya bahwa beliau tidak meniatkan keridhaan Allah dengan pembagian itu, dan lain sebagainya dari perkataan-perkataan kaum munafik yang sejenisnya. Kelompok yang menggunakan akal mereka alias kelompok mayoritas /jumhur sama sekali tidak mengeluarkan komentar apa pun. Mereka ridha terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada mereka. Mereka malah berkata, "Allah telah mencukupi kami. Allah dan Rasul-Nya nanti akan memberikan keutamaan-Nya kepada kami." Sebagaimana yang telah dituturkan oleh para ahli fiqih Anshar, "Adapun orang-orang itu, maka mereka tidak mengatakan apa pun."

Sedangkan orang-orang yang mengucapkan komentar dan yang lainnya, maka mereka berpendapat bahwa Nabi membagi-bagikan harta itu tidak lain demi kemaslahatan agama Islam. Nabi tidak akan menempatkan harta itu di suatu tempat melainkan penempatannya itu pasti lebih utama daripada penempatannya di tempat lainnya; dan ini merupakan suatu hal yang tidak pernah mereka ragukan lagi.

Adapun ilmu untuk mengetahui sisi maslahat itu terkadang diperoteh melalui perantaraan wahyu, dan terkadang diperoleh melalui upaya ijtihad. Mereka tidak mengetahui tindakan itu dari diri Nabi , sedangkan Nabi bersabda, "Sesungguhnya itu atas perintah wahyu dari Allah." Karena, barangsiapa yang membenci tindakan itu atau menentangnya setelah Nabi mengatakan hal itu, maka dia adalah seorang kafir yang mendustakan Nabi . Mereka juga memperbolehkan bilamana pembagian Nabi itu merupakan ijtihad. Mereka selalu berkonsultasi kepada Nabi dalam melakukan ijtihad tentang urusan-urusan duniawi yang berkaitan dengan kemaslahatan agama; dan itu adalah pembahasan yang boleh dia lakukan atas dasar ijtihadnya sendiri menurut kesepakatan umat Islam. Terkadang mereka menanyakan kepada Nabi suatu masalah, namun bukan untuk mengkonsultasikannya, akan tetapi agar merasa mantap terhadapnya, memahami sunnah-sunnah beliau, dan mengetahui 'illat atau alasannya. Dan, bentuk konsultasi mereka yang sangat masyhur itu tidak terlepas dari dua faktor ini, yaitu:


1.Bisa jadi konsultasi itu untuk melengkapi pandangan Nabi terhadap masalah itu, jika memang masalah itu termasuk masalah-masalah politik yang boleh diselesaikan melalui pintu ijtihad.

2.Atau, agar semuanya menjadi jelas bagi mereka jika Nabi telah menyebutnya, dan mereka pun akan semakin bertambah ilmu dan keimanannya, serta terbuka baginya jalan untuk memahami masalah tersebut.

3.Di antara bentuk-bentuk konsultasi itu, adalah konsultasi yang dilakukan oleh Hubab bin Munzir sewaktu beliau , mengambil sebuah posisi di Badar. Hubab bertanya, "Wahai Rasulullah, tempat yang engkau duduki ini, apakah ini adalah tempat yang diperintahkan Allah kepada engkau untuk diduduki, sehingga kami tidak bisa menentangnya? Ataukah ini hanya sebuah pendapat, bentuk perang dan tipu muslihat strategi?" Lalu Rasulullah menjawab, "Ini hanya pendapat, perang dan tipu muslihat." . Hubab kemudian berkata, "Bukanlah tempat ini posisi ideal untuk berperang." Lalu Rasulullah pun menerima pendapatnya dan berpindah ke tempat yang lainnya .Lihat Jafsir al-Qurthubi, (7/375); Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam di dalam kitab S/ra/5-nya, (2/66); al-Albani berkata; Ibnu Ishaq berkata: Aku sampaikan hadits ini dari orang-orang Bani Salamah. Mereka menuturkan bahwasanya orang tersebut adalah Hubab bin Munzir. Hadits ini sanadnya dha'if (lemah) mengingat tidak diketahuinya perantara antara Ibnu Ishaq dan orang-orang dari Bani Salamah itu. Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Imam al-Hakim di dalam kitabnya al-Mustadrak (3/426), dan diikuti oleh Imam Dzahabi, dan dia berkata, "Hadits munkar dan sanadnya lemah."

4.Begitu pula sewaktu Nabi ingin berdamai dengan Bani Ghathfan pada perang Khandaq atas separoh kurma Madinah, lalu Sa'ad bin Mu'adz datang bersama sekelompok kaum Anshar dan berkata, "Wahai Rasulullah, bapak dan ibuku jadi tebusan, apakah sesuatu yang akan engkau berikan kepada mereka ini berasal dari perintah Allah kepadamu, sehingga yang ada hanya mendengar dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ataukah itu berangkat dari pendapatmu sendiri?" Nabi menjawab, "Ini berasal dari pendapatku sendiri, karena aku melihat kaum ini memberikan harta, lalu mengumpulkan untuk kalian apa yang kalian lihat dari berbagai kabilah. Sesungguhnya kalian adalah sebuah kabilah, maka aku ingin membayar sebagian mereka. Kita akan memberi mereka sesuatu dan menegakkan bagi sebagian mereka yang telah membeli dengan sesuatu tersebut apa yang turun, wahai kaum Anshar." Lalu Sa'ad berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh kami pernah berada dalam kesyirikan dan mereka tidak berambisi untuk mengambil dari kami separuh bagian itu." Atau seperti yang dikatakannya. Dalam riwayat lain disebutkan: "Mereka tidak akan memakan kurma kecuali senang atau karena itu makanan jamuan. Lalu bagaimana dengan hari ini, sementara Allah bersama kita dan engkau di antara kami?! Kami tidak akan memberi mereka, dan tidak ada kemuliaan untuk mereka!" Kemudian dia pun meraih lembar kertas kertas itu, lalu meludahinya dan membuangnya.

Adapun dari segi pendapat dan dugaan di dunia, sungguh Nabi sewaktu ditanya tentang talqiih (penyerbukan kurma) beliau menjawab, "Aku tidak menduga bisa memuaskan itu. Sebenamya aku hanya menduga saja, maka janganlah kalian menyalahkanku oleh karena dugaan itu. Akan tetapi, jika aku mengatakan sesuatu dari Allah kepada kalian, maka lakukanlah itu. Sungguh, aku tidak akan pernah berdusta atas nama Allahj."38 (HR. Muslim) 38. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang keutamaan, (4/1835); juga telah d\-takhrij olejh Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang gadaian (rahn), hadits no. 2470; juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (1/162, 163); dan juga disebutkan di dalam kitab Musykil al-Atsaar, (2/294).

Dalam hadits lain disebutkan sabda Nabi: "Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian, sedang apa yang berkenaan dengan masalah agama kalian maka hal itu serahkan kepadaku. ". Hadits telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang keutamaan, (4/1836).[/b]

Di antara dalil lainnya dari pembahasan ini adalah hadits Sa'ad bin Abu Waqqash yang berkata, "Rasulullah telah memberi sekelompok orang dan waktu itu aku sedang duduk. Lalu beliau melupakan salah seorang dari mereka yang paling aku kagumi, lalu aku pun berdiri dan berkata kepada beliau, wahai Rasulullah, engkau memberi si fulan dan si fulan, namun melupakan si fulan, padahal dia adalah seorang yang beriman." Lalu beliau berkata, ". . . atau dia adalah seorang Muslim. " Sa'ad menanyakan hal ini kepada beliau sampai tiga kali, dan beliau pun menjawabnya dengan jawaban yang sama. Kemudian beliau bersabda, "Sesungguhnya aku memberi seseorang dan juga yang selainnya itu lebih aku sukai daripadanya karena takut dia akan dijungkirkan di dalam neraka. " (Muttafaq 'Alaih). Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang Jum'at, (2/468, hadits no. 923); dan hadits ini juga telah d\-takhhj oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang Iman, (1/132).

Di sini, Sa'ad bin Abu Waqqash mengkonsultasikan masalah ini kepada Nabi agar beliau menjelaskan tentang orang itu. Hal itu tidak lain karena Sa'ad berpandangan bahwa orang itu sepatutnya diberi, atau agar dia tahu alasan mengapa Nabi mengabaikannya, padahal beliau memberi yang lainnya. Lalu, Nabi pun menjawabnya tentang dua hal dimuka. Beliau berkata: Sesungguhnya pemberian itu bukan karena faktor iman, akan tetapi aku memberi dan menahannya. Dan, orang yang tidak aku beri itu lebih aku sukai daripada orang yang aku beri. Sebab, orang yang aku beri itu, jikalau dia tidak aku beri, niscaya dia akan menjadi kafir.

Karena itu, aku memberinya agar bisa menjaga keimanannya dan tidak memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang menyembah Allah karena ragu-ragu. Sedangkan orang yang tidak aku beri, dia mempunyai keyakinan dan keimanan yang membuatnya tidak akan tergiur terhadap materi. Orang semacam ini lebih aku sukai dan bahkan bagiku dia jauh lebih mulia. Dia berpegang teguh kepada tali Allah dan Rasul-Nya dan meminta ganti bagian dunianya dengan bagian agamanya, seperti yang telah diperlihatkan oleh Abu Bakar dan sahabat lainnya, dan seperti yang ditunjukkan pula oleh kaum Anshar manakala orang-orang Thalqa' dan Najed pergi dengan membawa kambing dan onta sementara mereka pulang hanya bersama Rasulullah .

Kemudian, kalaupun pemberian itu hanya diukur menurut tingkat keimanan semata, lalu dari mana kamu tahu bahwa dia adalah seorang yang beriman? Bahkan, bisa jadi dia seorang Muslim, akan tetapi di dalam hatinya tidak ada keimanan! Sesungguhnya Nabi lebih tahu daripada Sa'ad untuk memilah mana orang yang beriman dan yang bukan, mengingat beliau sangat mampu untuk melakukan hal itu. Di antara dalil lainnya lagi, adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits, bahwa ada seseorang yang berkata, "Wahai Rasulullah, engkau telah memberi 'Uyainah bin Hishn dan Aqra' bin Haabis seratus, sementara engkau melupakan Ju'ail bin Suraqah adh-Dhamri. Lalu Rasulullah bersabda: "Ketahuilah, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh Ju'ail bin Suragah lebih bumi seluruhnya, seperti 'Uyainah dan Aqra'. Akan tetapi, aku bermaksud melunakkan hati keduanya demi keislaman mereka, sedangkan aku serahkan bagian Ju'ail bin Suraqah kepada ke-Islamannya. "

Berkenaan dengan hadits kaum Anshar di atas, kalangan ulama yang membahas kisah-kisah peperangan mengatakan, "Kami ingin sekali mengetahui dari manakah ini berasal, jika ini berasal dari Allah maka kami akan bersabar. Namun, jika dia berasal dari pendapat Rasulullah sendiri, maka kami akan minta keridhaannya." Dengan demikian, jelaslah bahwa jika ada salah satu dari mereka membolehkan pembagian itu dilakukan menurut ijtihad Nabi berkaitan dengan suatu kemaslahatan, maka sebaiknya dia mengetahui alasan mengapa Nabi memberi orang yang satu dan mengabaikan orang yang selainnya, meski sebenarnya orang yang selainnya ini lebih unggul dalam tingkat keimanan, pengorbanan (jihad), dan yang lainnya daripada orang tersebut.

Hal ini secara jelas sebagai faktor yang melatarbelakangi pemberian itu, dan bahwa Nabi memberinya seperti memberi orang yang selainnya. Dan, ini merupakan makna ucapan mereka, "... maka kami meminta keridhaannya." Yaitu, kami meminta beliau agar menghilangkan teguran kami dengan cara menjelaskan alasan beliau memberi orang lain atau malah dengan memberi kami. Dan, sungguh Nabi telah bersabda, "Tidak seorang pun menginginkan uzur dari Allah .Oleh karena itulah, Dia mengutus para rasul sebagai penggembira dan pemberi peringatan. " Lalu, Nabi menginginkan agar mereka minta maaf kepadanya atas apa yang diperbuatnya, untuk selanjutnya beliau pun menjelaskan kepada mereka alasan yang sebenarnya. Ketika duduk perkaranya sudah jelas bagi mereka, maka mereka seketika menangis hingga air mata mereka membasahi jenggot mereka dan mereka pun ridha terhadap Nabi dengan setulus hati.

Perkataan mereka tersebut menunjukkan bahwa mereka melihat pembagian itu terjadi karena ijtihad dan bahwa mereka lebih berhak untuk mendapatkan harta itu daripada yang lainnya. Lalu, tiba-tiba mereka diherankan oleh pemberian Nabi kepada selain mereka, dan mereka pun ingin tahu apakah pemberian itu atas dasar wahyu atau hasil ijtihad yang wajib diikuti mengingat iru adalah suatu kemaslahatan? Atau, juga sebagai hasil ijtihad yang mungkin saja Nabi akan memakai yang selainnya jika temyata beliau melihat yang selainnya itu lebih tepat.
Adapun perkataan sebagian kaum Quraisy dan kaum Anshar berkenaan dengan pembagian emas yang dibawa oleh Ali dari Yaman, "Apakah Nabi memberi para pembesar Najed sedangkan beliau melupakan kami?" Maka, itu termasuk dalam pembahasan ini pula, yaitu bahwa mereka menanyai beliau semata-mata karena alasan ini. Di sini, juga ada dua jawaban yang lain, yaitu: Pertama, orang yang berkata itu sebelumnya adalah orang munafik yang boleh dibunuh, seperti seseorang yang terdengar oleh Ibnu Mas'ud mengomentari pembagian harta rampasan perang Hunain. Dia berkata, "Sesungguhnya pembagian ini bukan semata-mata karena Allah ." Dan, di tengah orang-orang Quraisy dan kaum Anshar itu terdapat banyak sekali orang munafik. Sehingga, kata-kata yang terlontar itu pun tidak lain berasal dari mulut seorang munafik.

Kedua, tindakan menentang Nabi bisa jadi merupakan suatu dosa dan maksiat yang dikhawatirkan pelakunya adalah orang munafik, meskipun sebenamya dia bukan orang munafik. Seperti finnan Allah , "Mereka membantahmu dengan kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang)." (al-Anfaal: 6), dan seperti koreksi mereka terhadap beliau dalam masalah batalnya beliau menunaikan haji kepada umrah, penundaan mereka untuk mencari solusi, juga keengganan mereka untuk mencari solusi sewaktu perjanjian Hudaibiyah, keengganan mereka untuk berdamai, serta koreksi yang telah dilakukan oleh sebagian mereka.

Sesungguhnya orang yang melakukan hal itu, maka sungguh dia telah melakukan dosa yang harus dimintakan ampunannya dari Allah , sebagaimana bahwa orang-orang yang mengangkat suara mereka melebihi suara Nabi juga telah berbuat dosa dan harus bertaubat darinya. Sungguh, Allah telah berfirman, "Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan ...," (al-Hujurat: 7). Sahal bin Hanif berkata, "Sangkakanlah pendapat itu atas nama agama. Sungguh, aku hadir pada waktu peristiwa Abu Jandal. Seandainya aku bisa menolak perintah Rasulullah, niscaya akan aku lakukan itu!"

Ini adalah sesuatu yang berangkat dari nafsu syahwat dan ketergesa-gesaan, bukan dari keragu-raguan dalam agama, seperti juga pengintaian yang dilakukan oleh seorang pencari kayu bakar terhadap orang-orang Quraisy, meskipun itu adalah perbuatan dosa dan maksiat yang mewajibkan pelakunya untuk bertaubat. Perbuatan semacam itu sama saja dengan membangkang perintah Rasulullah

Di antara Dalil lainnya yang termasuk pembahasan ini adalah hadits Abu Hurairah berkenaan dengan peristiwa Fathu Makkah; dia berkata, "Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman. Barangsiapa yang membuang senjatanya, maka dia akan aman. Dan faarangsfapa yang menutup rapat-rapat pintu rumahnya, maka dia akan aman. " .Hadits ini telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang jihad, (3/1408); juga telah d\-takhrij oleh Imam Ahmad di dalam kitab Mosnad-nya, (2/292); dan juga telah di-takhrijoleb al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (9/117).

Lalu kaum Anshar berkata, "Adapun lelaki ini (baca: Nabi ) maka ia lebih suka kepada kerabatnya dan kasihan terhadap kabilahnya." Abu Hurairah berkata, "Lalu turunlah wahyu. Dan, jika wahyu telah turun, maka itu tidak samar lagi bagi kami. Jika wahyu telah turun, maka tidak ada seorang pun dari kami yang mengarahkan pandangannya kepada Rasulullah hingga wahyu itu selesai." Rasulullah bersabda, "Wahai kaum Anshar." Mereka menjawab, "Baik, wahai Rasulullah." Beliau bertanya, "Benarkah kalian telah mengatakan, "Adapun lelaki ini, maka ia lebih suka terhadap kerabatnya dan kasihan terhadap kabilahnya?" Mereka menjawab, "Sungguh, itu telah terbukti." Lalu beliau pun berkata, "Tidak benar, sesungguhnya aku adalah hamba dan sekaligus utusan Allah . Aku berhijrah kepada Allah dan kepada kalian. Kehidupan itu adalah kehidupan kalian, dan kematian itu juga kematian kalian." Seketika mereka pun menghadap kepada Nabi , lalu mereka menangis dan berkata, "Demi Allah, kami tidak mengucapkan itu melainkan karena kikir terhadap Allah dan Rasul-Nya." Lalu Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya membenarkan kalian dan memaafkan kalian," (HR. Muslim).. Hadits ini telah di-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang jihad, (3/1406); juga telah d\-takhrij oleh al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra dalam kitab pembahasan tentang sirah, (9/117); dan juga disebutkan dalam kitab Mushannaf Ibn Abi Syaibah, (12/164).

Hal itu, dikarenakan sewaktu kaum Anshar melihat Nabi menjamin keselamatan warga Makkah dan menyetujui untuk melindungi darah dan harta mereka, padahal beliau masuk kepada mereka dalam keadaan susah dan berat, sementara beliau waktu itu bisa saja membunuh mereka dan merampas harta mereka jika beliau mau. Pada saat itulah, maka kaum Anshar takut jika Nabi bermaksud menjadikan Makkah sebagai negerinya dan bergabung kepada orang-orang Quraisy. Sebab, negeri Makkah sebagai negeri asalnya dan kabilah Makkah juga sebagai kabilahnya, dan bahwa pertentangan dirinya kepada negeri dan keluarganya menyebabkan beliau menyingkir dari mereka.

Akhirnya, salah seorang dari mereka pun mengeluarkan perkataan semacam itu, sedangkan kalangan ulama dan cendikiawan yang mengetahui bahwa Nabi tidak punya cara untuk menjadikan Makkah sebagai tanah air tidak pemah mengatakannya. Mereka mengatakan ucapan semacam itu bukan sebagai cercaan maupun celaan, namun lebih sebagai bentuk kebakhilan mereka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Lalu Allah dan Nabi pun memaafkan mereka atas apa yang telah mereka katakan sewaktu mereka melihat dan mendengar, dan bahwa memisahkan diri dari Nabi itu sangat berat bagi kaum Mukminin selaku maskot Islam pada saat orang-orang lainnya justeru menjadi perusak.

Dan, perkataan yang keluar karena kecintaan, pengagungan, pemuliaan, dan penghormatan ini membuat dosa pengucapnya diampuni, dan bahkan perkataan itu dipuji. Jika perkataan yang sama diucapkan bukan karena alasan tersebut, maka pengucapnya berhak diingkari dan ditentang.

Demikian pula dari segi perbuatan. Tidakkah engkau mengetahui ketika Nabi berkata kepada Abu Bakar , di mana ketika itu Abu Bakar ingin mundur dari tempatnya sebagai imam dalam shalat tatkala ia mengetahui kehadiran Nabi , "Tempatmu," namun Abu Bakar mundur (meninggalkan tempatnya-ed.). Maka, Nabi pun bertanya kepadanya, "Apa yang mengha/angimu untuk menempati tempatmu (atau menjadi imamj, padahal aku telah menyuruhmu. " Lalu Abu Bakar menjawab, "Tidaklah pantas Ibnu Abi Qahafah (maksudnya: Abu Bakar) berada di depan Nabi " Lihat dalam kitab Fathul Ban, dalam kitab pembahasan adzan, (2/196, hadits no. 684); juga telah d\-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang shalat, (1/316); juga disebutkan pula oleh Imam Ahmad di dalam kitab Musnad-nya, (5/331); dan juga disebutkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam kitab as-Sunan al-Kubra, (3/113).

Begitu pula Abu Ayyub al-Anshari sewaktu minta izin kepada Nabi H agar dia berpindah ke bawah lalu meminta beliau agar naik ke atas. Dia merasa berat hati untuk berada di atas Rasulullah sewaktu beliau tinggal di rumahnya. Lalu Nabi ^ mengatakan kepadanya bahwa rumahnya bagian bawah itu lebih cocok (akrab) bagi beliau agar orang-orang lebih mudah untuk masuk menghadap beliau. Di sini, Abu Ayyub tidak mau seperti itu demi kesopanan dan penghormatan kepada Nabi . Maka, perkataan kaum Anshar di atas termasuk dalam bagian ini.

Ringkasan:
Secara keseluruhan, maka pembahasan dalam bab ini terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama, merupakan suatu bentuk kekufuran, seperti ucapan, "Sungguh, ini pembagian yang bukan semata-mata karena Allah."

Kedua, adalah sesuatu yang merupakan dosa dan maksiat yang di-khawatirkan bisa membatalkan semua amalan pelakunya, seperti meng-angkat suara melebihi suara Nabi , juga seperti koreksi yang dilakukan oleh seseorang kepada Nabi sewaktu peristiwa Hudaibiyah setelah terjadinya kcsepakatan damai, dan juga bantahan yang dilakukan seseorang terhadap beliau pada waktu perang Badar setelah nyata baginya suatu kebenaran. Semua ini termasuk bentuk menyelisihi perintah Nabi .

Ketiga, sesuatu yang bukan termasuk keduanya. Bahkan, pelakunya dipuji karenanya atau tidak dipuji, seperti ucapan Umar, "Mengapa kita mengqashar shalat sementara kita telah beriman?" Juga seperti ucapan Aisyah , "Bukankah Allah berfirman, "Adapun orang-orang yang dlberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya ...," (al-Haqqah: 19). Juga seperti ucapan Hafshah, "Bukankah Allah berfirman, "Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu," (Maryam: 71). Juga seperti koreksi Sa'ad sewaktu perjanjian Ghathfan atas separuh kurma Madinah. Juga seperti koreksi mereka terhadap Nabi sewaktu beliau menyuruh mereka memecahkan wadah yang berisi daging onta, lalu mereka berkata, "Tidakkah kita mencucinya," lalu Nabi pun berkata, "Cucilah!" Juga seperti bantahan Umar kepada Abu Hurairah sewaktu dia keluar membawa kabar gembira dan mengoreksi Nabi dalam masalah itu. Dan, juga seperti koreksi Umar terhadap Nabi sewaktu beliau mengizini mereka untuk membunuh di beberapa peperangan, dan permintaannya kepada beliau agar mengumpulkan bekal dan berdoa kepada Allah , lalu Umar pun melakukan apa yang telah dimusyawarahkan itu, dan lain-lain sebagainya semisal menanyakan suatu persoalan agar jelas duduk perkaranya bagi mereka atau menawarkan suatu kemaslahatan yang bisa saja dilakukan oleh Rasulullah .

PASAL KETIGA:
Dalil dari as-Sunnah yang Menyatakan Batalnya Sumpah Janji Seorang Kafir Dzimmi dan Mu'ahid Karena Mencaci Nabi dan Kewajiban Membunuhnya

Batalnya sumpah janji seorang kafir dzimmi dan mu'ahid akibat mencaci Nabi serta syariat untuk membunuhnya menurut Dalil as-Sunnah yang telah masyhur; dan di antara Dalil-dalil tersebut antara lain, adalah:


Dalil Pertama:
Kisah Ka'ab bin Asyraf al-Yahudi

Kisah ini adalah di antara dalil yang dijadikan hujah oleh Imam asy-Syafi'i bahwa seorang kafir dzimmi apabila mencaci, maka dia harus dibunuh dan menjadi batallah ikatan janjinya. Kisah ini sangat masyhur dan populer. 'Amr bin Dinar telah meriwayatkannya dari Jabir bin Abdullah yang berkata, Rasulullah telah bersabda: "Siapakah yang mau menangani (membunuh) Ka'ab bin Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?". Lihat kitab Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang gadaian (rahn), (5/169, hadits no. 2510); dan juga telah dt-takhrij oleh Imam Muslim dalam kitab pembahasan tentang jihad, (3/1425).

Lalu, Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, "Saya, wahai Rasulullah, apakah engkau ingin aku membunuhnya?" Nabi menjawab, "Benar." Muhammad bin Maslamah berkata, "Izinkan aku untuk mengatakan sesuatu." Nabi , "Katakanlah. " Dikisahkan: Lalu dia pun mendatanginya dan mengatakan apa yang terjadi di antara mereka. Dia berkata, "Sungguh lelaki ini menginginkan sedekah dan tali kekang lawan." Maka, ketika dia mendengamya, dia pun berkata, "... begitu juga, demi Allah, niscaya kamu akan membosaninya." Dia berkata, "Sungguh kami telah mengikutinya sekarang, dan kami tidak mau membiarkannya hingga kami dapat melihat ke manakah duduk perkaranya akan berujung."

Dia berkata, "Sungguh, aku ingin kamu memberiku pinjaman hutang." Dia berkata, "Apa yang akan kalian gadaikan kepadaku? Wanita-wanita kalian?!" Dia menjawab, "Engkau adalah sebaik-baik orang Arab, pantaskah aku menggadaikan kepadamu para wanita kami?!" Dia bertanya, "Apakah kalian akan menggadaikan anak-anak kalian kepadaku?" Dia menjawab, "Nanti anak dari salah seorang kami akan mencaci maki, lalu akan diucapkan: Aku gadaikan dua wasaq kurma! Akan tetapi, kami akan menggadaikan baju besi kepadamu." (alias senjata).

Dia berkata, "Baiklah," dan dia pun berjanji kepadanya akan memeranginya. Kemudian datanglah 'Abas bin Habar dan 'Ibad bin Basyar. Mereka datang lalu pergi meninggalkannya pada malam hari. Lalu dia pun menginap di rumah mereka. Sufyan berkata: Dia berkata, "Bukan 'Amr." Istrinya berkata kepadanya, "Sesungguhnya aku mendengar suara seolah-olah suara darah!" Dia berkata, "Sejujurnya ini adalah Muhammad dan anak sesusuannya, Abu Nailah.

Sesungguhnya orang yang dermawan jika diundang untuk menyerang pada malam hari, niscaya dia akan memenuhi panggilan." Muhammad berkata, "Sungguh aku—jika dia telah datang— maka akan aku julurkan tanganku ke kepalanya. Jika aku bisa merengkuh-nya, berarti itu selain kalian." Dia berkata, "Ketika dia menginap dan dia menyandang pedang, maka mereka berkata, "Kami mencium bau wangi dari dirimu." Dia berkata, "Benar, di bawahku ada seorang wanita Arab yang paling harum baunya!" Dia berkata, "Apakah engkau membolehkanku untuk mencium baunya?" Dia berkata, "Boleh." Lalu dia pun menciumi baunya. Kemudian dia berkata, "Apakah engkau membolehkanku untuk kembali?" Dia berkata, "Maka, dia pun bisa merengkuhnya, lalu dia berkata, "Selain kalian." Akhimya, mereka pun membunuhnya. (Muttafaq 'Alaih)

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah bahwa Ka'ab bin Asyraf telah berjanji kepada Rasulullah untuk tidak menolongnya dan tidak akan memeranginya, lalu dia pergi/membelot ke Makkah. Kemudian dia datang ke Madinah untuk menyatakan permusuhan kepada Rasulullah . Maka, caci makian yang pertama kali diucapkannya terhadap Nabi adalah, "Apakah kamu pergi dan enyah dengan tidak mendiami murfi'ah atau keutamaan itu ada di al-Haram?" Semua ini terdapat dalam bait-bait syairnya yang berisikan caci makian terhadap Nabi . Sehingga, pada saat itulah, Rasulullah pun menyuruh untuk membunuhnya.

Beberapa Aspek Petunjuk dari Kisah Ka'ab bin Al-Asyraf Menjadikan pembunuhan Ka'ab bin al-Asyraf sebagai dalil berdasarkan dua aspek:

ASPEK PERTAMA
Ka'ab seorang kafir mu'ahid muhadin (atau kafir yang tidak boleh diperangi), dan ini tidak diperselisihkan di antara kalangan ulama spesialis di bidang peperangan dan sejarah. Menurut mereka, hal itu juga sudah merupakan pengetahuan umum yang tidak perlu diriwayatkan lagi oleh orang-orang tertentu.

Dalil yang menunjukkan bahwa caci makiannya itu bisa merusak sumpah janjinya, adalah perkataan Nabi , "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin al-Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini, Nabi menyatakan alasannya menyuruh orang untuk membunuh Ka'ab karena dia telah menyakiti beliau. Dan, bentuk penyakitan/penyiksaan secara mutlak adalah dengan memakai lisan. Sebagaimana firman Allah : "Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati." (Ali Imran: 186) "Mereka sekali-kali tidak akan dapat membuat mudharat kepada kamu, selain dari gangguan-gangguan celaan saja ...." (Ali Imran: 111) "Di antara mereka (orang-orang munaflk) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan, "Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya." (at-Taubah: 61) "Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan." (al-Ahzab: 69)


Nabi telah bersabda dari apa yang telah beliau riwayatkan dari Allah: "Anak Adam menyakiti-Ku, ia mencaci maki masa, sedang Aku adalah masa itu. " Dan, riwayat yang semacam ini sangat banyak sekali. Sudah disebutkan terdahulu bahwa penyakitan/penyiksaan juga sebutan bagi kejahatan yang sedikit dan suatu yang dibenci yang ringan pula. Hal itu,berbeda dengan kemudharatan. Oleh karena itu, penyakitan/penyiksaan tersebut dimutlakkan pada ucapan. Karena, sebenamya dia tidak men-datangkan kemudharatan apa pun bagi orang yang disakiti. Begitu pula, kemutlakan bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya itu juga dijadikan sebagai faktor penyebab dibunuhnya seorang kafir mu'ahid. Dan sudah diketahui, bahwa mencaci maki Allah dan Rasul-Nya itu sebagai bentuk penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Jika suatu sifat (washaf) menghasilkan suatu hukum dengan bantuan huruf faa, maka itu menunjukkan bahwa sifat itu merupakan 'illat (sebab) bagi hukum tersebut, terlebih lagi jika sifat itu temyata sesuai.

Hal itu menunjukkan bahwa penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya merupakan 'illat adanya perintah Rasulullah kepada kaum Muslimin untuk membunuh orang-orang dari kalangan kafir mu'ahid yang melakukan hal tersebut. Hal ini merupakan dalil nyata yang menunjukkan rusak atau batalnya sumpah janji orang kafir mu'ahid tersebut dengan menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, mencaci maki juga termasuk bentuk menyakiti Allah H dan Rasul-Nya menurut kesepakatan kaum Muslimin. Bahkan, caci makian tersebut merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan yang paling khusus. Selain itu juga telah kita sebutkan di dalam hadits Jabir , bahwa yang pertama kali merusak sumpah janji, adalah qasidahnya Ka'ab yang di-lantunkannya setelah dia kembali ke Madinah untuk mencaci Rasulullah iH, dan bahwa Rasulullah sewaktu dicaci maki oleh Ka'ab dengan qasidah ini, beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab. Ini saja sudah cukup sebagai dalil bahwa sumpah janji tersebut bisa batal oleh karena syair cacian (hi/era') tersebut, bukan karena kepergian atau pembelotannya ke Makkah.

Jika dikatakan: Ibn al-Asyraf telah dating dengan selain cacian dan ejekan terhadap Nabi dengan meratapi orang-orang Quraisy yang terbunuh dan dia menyuruh mereka untuk memerangi Nabi.. Dia juga mengklaim bagi mereka bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Sungguh, Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas yang berkata: Sewaktu Ka'ab bin al-Asyraf datang di Makkah, maka orang-orang Quraisy bertanya, "Coba lihatlah kepada benalu/parasit yang membelot dari kaumnya. Dia mengklaim bahwa dia lebih baik daripada kita, padahal kami adalah para ahli haji, pelayan K'abah, dan ahli siqayah/ahli pengairan?!"

Ka'ab berkata, "Kalian lebih baik!!" Ibnu Abbas berkata: Lalu turunlah ayat tentang mereka, "Sesungguhnya orang-orang yang membenci kami dialah yang terputus." (al-Kautsar: 3). Ibnu Abbas berkata: Dan berkenaan dengan mereka, diturunkan pula ayat :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kifab. Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman. Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan mempero/eh penolong baginya." (an-Nisa: 51-52)

Terdapat riwayat dari 'Ikrimah bahwa Ka'ab bin al-Asyraf pergi kepada orang-orang musyrik dari kalangan kaum kafir Quraisy, lalu dia meminta bantuan kepada mereka terhadap Nabi dan menyuruh mereka untuk memerangi beliau. Dia berkata kepada mereka, "Sesungguhnya kami bersama kalian." Lalu, mereka pun berkata, "Sesungguhnya kalian adalah ahlu kitab dan dia (Muhammad) juga pemilik kitab. Kami khawatir bilakah itu adalah makar dari kalian. Jika kamu menghendaki kami keluar bersamamu, maka bersujudlah kepada kedua berhala ini dan berimanlah kepadanya."

Maka, Ka'ab pun melakukannya. Kemudian mereka berkata kepadanya, "Bandingkan, apakah kami yang lebih benar (lurus) ataukah Muhammad? Kami menyambung silaturahim, menjamu tamu, memutari Ka'bah (thawaf), mengorbankan kauma'(onta yang besar punuknya) dan menuangkan susu pada air? Sedangkan Muhammad, dia telah memutus sanak kerabatnya dan keluar dari negerinya." Ka'ab berkata, "Bahkan, kalian lebih baik dan lebih benar!!" Ikrimah berkata, " Lalu turunlah ayat tentang mereka, "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari A/-Kitab. Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkahj, bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman," (an-Nisa': 51).

Sungguh, telah terkumpul dalam diri Ka'ab bin al-Asyraf berbagai dosa, yaitu: bahwa dia telah meratapi/menangisi orang-orang Quraisy yang mati terbunuh, lalu dia telah menyuruh mereka untuk memerangi Nabi dan menyetujui mereka untuk hal itu, lalu dia telah membantu mereka untuk memerangi Nabi dengan memberitahukan bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Nabi , lalu dia juga telah mencerca Nabi dan kaum Mukminin melalui bait-bait syaimya.

Kami katakan: Jawaban dari kesemuanya itu terdiri dari beberapa aspek, di antaranya:

Aspek pertama, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh Ka'ab dikarenakan dia telah pergi/membelot ke pihak Makkah dan telah mengucapkan apa-apa yang telah diucapkannya di sana. Akan tetapi, beliau menyuruh untuk membunuhnya karena Ka'ab telah datang ke Madinah dan mencerca beliau dengan bait syaimya. Sebagaimana hal itu telah dijelaskan di dalam hadits Jabir terdahulu yang berbunyi, "... lalu Ka'ab datang ke Madinah dengan menyatakan permusuhannya terhadap Nabi ." Selanjutnya, Jabir menjelaskan pula bahwa yang pertama-tama merusak sumpah janjinya adalah bait-bait syair tersebut yang dilontarkannya setelah dia kembali. Dan, bahwa Nabi pada saat itu langsung menyuruh untuk membunuhnya. Begitu pula terpapar dalam hadits Musa bin 'Uqbah yang berbunyi, "Siapakah yang mau membunuh Ibnu al-Asyraf untuk kami, karena dia telah menyatakan permusuhan terhadap kami dan mencerca kami?"

Hal tersebut diperkuat pula bahwa apa yang telah dilakukan oleh Ka'ab bin al-Asyraf, yaitu berupa pertemuannya dengan penduduk Makkah pada suatu musim, dan juga pengakuannya di hadapan mereka bahwa agama mereka lebih baik daripada agama Nabi Muhammad , semua itu juga pemah dilakukan oleh Huyay bin Akhthab. Meskipun demikian, Nabi hanya menyuruh untuk membunuh Ibnu al-Asyraf dan membiarkan Ibnu Akhthab hingga dia terbunuh bersama Bani Quraidhah. Dari sini bisa diketahui, bahwa apa yang telah keduanya lakukan di Makkah bukan merupakan faktor keluarnya perintah Nabi untuk membunuh Ibnu al-Asyraf, melainkan faktor yang sebenamya, adalah cercaan dan yang sejenisnya yang secara khusus telah dilontarkan oleh Ibnu al-Asyraf. Sedangkan apa yang telah dia lakukan di Makkah semakian menjadi penguat dan penopang. Sebagaimana hal itu diperkuat lagi oleh adanya riwayat yang menyebutkan, bahwa Ibnu al-Asyraf mengasingkan diri di Makkah sewaktu terjadi perselisihan antara Nabi H dan Bani Qainuqa'. Pada saat itu, dia berkata, "Saya tidak akan menolongnya dan tidak akan memeranginya." Hal itu sebagai petunjuk bahwa dia tidak pemah menampakkan permusuhannya terhadap Nabi .

Aspek kedua, bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Asyraf berupa ratapannya terhadap orang-orang musyrik yang mati terbunuh, juga ajakannya, caci makiannya, dan cercaannya terhadap agama Islam, serta pengunggulannya terhadap agama orang-orang kafir (daripada agama Nabi ), tidak lain merupakan bentuk penyakitan dengan lisan. Karena itu, barangsiapa yang menentang pendapat tentang rusak atau batalnya sumpah janji dan halalnya darah Ka'ab bin al-Asyraf oleh karena telah mencaci Nabi , maka tentunya dia lebih menentang lagi hal itu berlaku untuk perbuatan Ka'ab bin al-Asyraf yang lainnya. Karena, orang yang berpendapat tidak rusak/batalnya sumpah janji Ka'ab oleh karena telah mencaci maki Nabi H itu, dia juga berpendapat tidak batal/rusaknya sumpah janji Ka'ab itu oleh karena perbuatan-perbuatanya yang lain. Namun, kisah ini sebagai hujah bagi orang yang menentang pendapat berkaitan dengan masalah-masalah ini, dan kami katakan, "Sesungguhnya semua tindakan Ka'ab ini merusak sumpah janjinya."

Aspek ketlga, bahwa pengunggulan agama orang-orang kafir atas agama kaum Muslimin—tanpa diragukan lagi—bukanlah caci makian terhadap Nabi . Karena, keadaan sesuatu yang diutamakan itu kondisinya masih lebih baik daripada orang yang dicaci maki. Jika pengunggulan agama orang-orang kafir atas agama kaum Muslimin itu saja bisa merusak sumpah janji, maka tentunya mencaci maki lebih bisa merusak sumpah janji.

Adapun ratapan Ka'ab bin al-Asyraf terhadap orang-orang Quraisy yang mati terbunuh, juga ajakannya kepada mereka untuk membalas dendam kepada Nabi , maka hal itu lebih sebagai pendorong/penggerak orang-orang Quraisy untuk memerangi Nabi , mengingat orang-orang Quraisy waktu itu sudah bersepakat untuk memerangi Nabi setelah peristiwa Badar, dan mereka telah mengawasi rombongan dagang yang di dalamnya ada Abu Sufyan untuk membiayai perang terhadap Nabi tersebut.

Sehingga, dalam hal ini mereka sebenarnya tidak membutuhkan lagi ucapan Ka'ab bin al-Asyraf. Memang benar, ratapan terhadap mereka yang terbunuh dan pengunggulan agama mereka atas agama Islam yang dilakukan Ka'ab termasuk salah satu faktor yang semakin menambah mereka marah dan memusuhi Nabi . Namun, caci makian dan cercaan Ka'ab terhadap Nabi ;H dan agamanya (Islam) itu juga termasuk salah satu faktor yang bisa memotivasi dan mendorong mereka untuk memerangi Nabi .

Dari sini bisa diketahui, bahwa cercaan Ka'ab (melalui syaimya) mengandung kerusakan yang terdapat dalam ucapannya yang lain, atau bisa jadi lebih rusak lagi. Jika ucapan Ka'ab yang lainnya saja bisa merusak sumpah janjinya, maka tentunya cercaannya (melalui syaimya) itu juga bisa merusak sumpah \ janjinya. Oleh karena itu, Nabi telah membunuh sekelompok wanita yang telah mencela dan mencerca beliau, meskipun di satu sisi beliau memaafkan seorang wanita yang telah membantu hal itu dan memprovokasi untuk memerangi beliau.

Aspek keempat, adanya beberapa aspek yang sudah populer di kalangan ulama, yaitu bahwa firman Allah , "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab ... dst." (an-Nisa: 51), turun berkenaan dengan Ka'ab bin al-Asyraf atas apa yang telah diucapkannya kepada orang-orang Quraisy, dan sungguh Allah ifi telah mengabarkan dalam ayat ini bahwa Dia telah mengkutuknya, dan bahwa orang yang dikutuk-Nya, maka dia tidak akan mendapati baginya seorang penolong.

Hal itu sebagai dalil bahwa dia tidak mempunyai sumpah janji lagi, alias sumpah janjinya telah batal. Sebab, jikalau dia masih mempunyai sumpah janji, maka niscaya wajib bagi kaum Muslimin untuk menolong/ membelanya. Dari sini bisa diketahui, bahwa ucapan semacam ini menyebabkan rusak atau batalnya sumpah janjinya dan tidak adanya orang yang menolong/membelanya.

Lalu, bagaimana dengan ucapan yang lebih parah dari semua itu, semisal caci makian dan celaan? Sebenarnya, Nabi —Wallahu A'lam—tidak pemah menjadikan Ka'ab hanya dengan cercaannya (melalui bait syair) itu sebagai penyebab rusaknya sumpah janjinya, mengingat Ka'ab tidak pemah secara terang-terangan menyatakan ucapannya tersebut. Akan tetapi, Allah memberitahukan hal itu dalam bentuk wahyu kepada Nabi , sebagaimana yang telah disebutkan dalam beberapa hadits terdahulu.

Dan, Nabi tidak pemah membunuh seorang pun dari kaum Muslimin maupun dari kalangan kafir mu'ahid, melainkan karena dosa yang benar-benar nyata. Maka, ketika Ka'ab bin al-Asyraf kembali ke Madinah dan menyatakan cercaannya terhadap Nabi «H dan permusuhannya, maka dia pun berhak untuk dibunuh, dikarenakan dia telah secara jelas dan nyata menyakiti Nabi di hadapan banyak orang.

Apakah Syair atau Pengulang-Ulangan dalam Mencaci Maki Itu Sebagai Landasan Dihalalkannya Darah Seorang Pencaci? Jika dikatakan: Sungguh, cacian yang dilontarkan Ibnu al-Asyraf terhadap Nabi itu berupa syair, dan syair itu punya pengaruh dalam menyakiti dan menghalang-halangi upaya sabilillah yang tidak sama atau berbeda dengan ucapan yang berbentuk natsar (tidak bersajak)? Se-sungguhnya Ibnu al-Asyraf sudah berulang-ulang dan seringkali melakukan hal itu, dan sesuatu jika telah dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus, maka tentunya mempunyai kondisi yang jelas berbeda halnya bila itu dilakukan hanya sekali saja?!

Kami katakan: Jika Ibnu al-Asyraf telah menyakiti Nabi dengan cara melontarkan cacian makian yang tersusun dalam bait syair (mandhum), maka sungguh wanita Yahudi itu telah menyakiti Nabi dengan ucapannya yang berbentuk natsar (prosa), dan keduanya telah dihalalkan darahnya. Dari sini bisa diketahui, bahwa bait syair (nadham) itu tidak mempunyai pengaruh apa pun pada asal atau dasar hukum, mengingat seorang penya'ir tersebut tidak pemah melakukan pengkhususan. Dan, sifat (looshqf)—jika hukum tersebut telah nyata tanpa sifat itu—maka sifat tersebut tidak mempunyai pengaruh apa pun, sehingga sifat itu pun tidak dikategorikan sebagai bagian dari 'illat (sebab) hukum tersebut.

Dari segi lain, maka juga tidak diragukan lagi, bahwa jenis yang me-nyebabkan hukuman (sanksi) itu terkadang sebagian jenis-jenisnya sangat berat sifat atau kadamya, atau sekaligus sifat dan kadarnya. Karena, membunuh salah seorang dari kaum Muslimin itu tidaklah sama dengan membunuh seorang anak atau bapak yang alim dan shalih. Akan tetapi, hadits ini sebagaimana halnya hadits-hadits yang lainnya, menunjukkan bahwa jenis penyakitan/penyiksaan terhadap Allah dan Rasul-Nya dan juga caci makian secara umum itu bisa menghalalkan darah seorang kafir dzimmi dan merusak sumpah janjinya, meskipun sebagian orang-orang itu lebih berat dosanya daripada sebagian yang lainnya, mengingat begitu beratnya caci makiannya itu dari segi macam atau kadarnya.

Hal itu didasari oleh beberapa aspek berikut ini:

Pertama, bahwa Nabi telah bersabda, "Siapakah yang mau membereskan Ka'ab bin al-Asyraf, karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya?" Di sini, Nabi menjadikan 'illat (sebab) beliau menyuruh untuk membunuh Ka'ab adalah karena dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, menyakiti Allah dan Rasul-Nya itu, adalah nama atau sebutan mutlak, tidak terikat dengan suatu macam dan kadar tertentu. Maka, wajib menjadikan tindakan menyakiti Allah dan Rasul-Nya, itu sebagai "illat (sebab) adanya perintah untuk membunuh orang yang melakukan hal itu dari kalangan kafir dzimmi maupun yang lainnya. Caci makian tersebut, baik sedikit ataupun banyaknya, dan disusun dalam bentuk bait syair (nadham) ataupun prosa (natsar), merupakan bentuk penyakitan/penyiksaan, tanpa diragukan lagi.

Sehingga, hukum itu pun sangat berkait dengan caci makian tersebut. Yaitu, perintah Allah dan Rasul-Nya untuk membunuh pelakunya. Seandainya memang makna hadits di atas tidak seperti ini, niscaya Nabi akan bersabda, "Siapakah yang mau membunuh Ka'ab bin al-Asyral, karena dia telah sangat berlebihan dalam menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau, "... karena dia sudah seringkali menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Atau, "...karena didaterus-menerus menyakiti Allah dan Rasul-Nya." Padahal, Nabi adalah orang yang diberi jawami' al-kalim (kalimat yang paripuma), tidak pemah berbicara berdasarkan hawa nafsu, dan tidak pernah keluar dari kedua bibirnya melainkan suatu kebenaran (haq) dalam kemarahan maupun keridhaannya ...."

Kedua, jenis yang bisa menghalalkan darah itu tidak ada bedanya antara jenis yang sedikit maupun yang banyak, dan jenis yang berat maupun yang ringan dalam kapasitasnya sebagai faktor penyebab dihalalkannya darah. Hal ini merupakan qiyas al-ushul. Dan, barangsiapa yang menyatakan selain itu, maka sungguh dia telah keluar dari koridor qiyos al-ushul ini. Padahal, dia tidak boleh melakukan hal itu kecuali atas dasar nash yang menjadi landasan itu sendiri. Dan, tidak ada satu pun nash yang menunjukkan diperbolehkannya perbuatan itu hanya dalam yang banyak saja, tanpa yang sedikit.

Hal itu diperjelas bahwa ucapan-ucapan yang merusak iman atau sumpah janji, sama saja antara sekali diucapkan ataupun seringkali diucapkan. Sebagaimana jikalau seseorang mengingkari satu ayat atau satu kewajiban yang jelas, atau dia mengucapkan sekali saja, "Aku melanggar sumpah janji dan keluar dari perlindunganmu," maka sesungguhnya yang demikian ini akan menetapkan konsekuensi akibatnya (atau batalnya sumpah janji tersebut), dan hal itu tidak membutuhkan pengulangan lagi.

Begitu pula, dampak yang diakibatkan oleh caci makian dan cercaan terhadap agama tersebut juga tidak membutuhkan pengulangan lagi. Ketiga, jika dia seringkali melakukan dan mengucapkan hal semacam ini, maka kemungkinan dia dibunuh karena jenis perbuatan dan ucapan yang menghalalkan darahnya itu, atau bisa jadi karena faktor yang menghalalkan darahnya itu adalah kadar atau jumlah tertentu.

Jika temyata hal itu dikarenakan oleh faktor yang pertama, maka memang itulah yang diharapkan, dan jika temyata itu lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, maka berapakah batasan jumlah yang bisa menghalalkan darahnya itu? Dan, tidak boleh bagi siapa pun untuk menentukan jumlah tersebut, kecuali atas dasar nash, ijma' atau qiyas. Namun, ketiganya tersebut tidak ada di dalam ketiga hal semacam ini.

Keempat, membunuh seseorang ketika dia sering melakukan hal-hal semacam ini, bisa jadi sebagai had (sanksi) atau sebagai ta'ziryang terpulang kepada pendapat seorang Imam (pemimpin). Jika itu berupa had (sanksi), maka sudah semestinya ada pembatasan faktor yang menyebabkannya. Dan, tidak ada suatu had (sanksi) pun melainkan dia bergantung kepada jenisnya, mengingat berkata/berpendapat sesuatu selain hal itu disebut tahakkum (kesewang-wenangan). Namun, jika temyata hal itu sebagai ta'zir, maka tidak ada di dalam ushul ta'zir dalam bentuk pembunuhan. Maka, tidak boleh menetapkan hukum tersebut kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Dan, keumuman-keumuman yang terdapat pada semisal ucapan Nabi : "Tidak halal darah seorang Muslim melainkan oleh karena salah satu dari tiga faktor." yang menunjukkan tentang hal tersebut .Lihat Fathul Bari, kitab pembahasan tentang diyat (denda) (12/209), hadits no. 6878; Muslim dalam bab perdamaian (qasamah) hadits no. 1676; Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits no. 2768; dan Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra, (8/118). Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang diyat, hadits no. 2688; Musykil al-Atsaar, (1/77); Hilyat al-Auliyaa', (3/324); .


ASPEK KEDUA
Adalah bahwa lima orang kaum Muslimin yang telah membunuh Ka'ab, yaitu: Muhammad bin Maslamah, Abu Nailah, Ibad bin Basyar, Harits bin Aus, dan Abu 'Abas bin Jibr telah mendapat izin dari Nabi untuk memperdayai dan menipu Ka'ab dengan suatu ucapan yang memperlihatkan/ mengesankan bahwa mereka telah menjamin keamanan Ka'ab dan telah menyetujuinya, namun temyata mereka kemudian membunuhnya.

Dari apa yang sudah diketahui, bahwa orang yang memperlihatkan kepada seorang kafir suatu jaminan keamanan, maka setelah itu orang kafir tersebut tidak boleh dibunuh karena kekufurannya itu. Bahkan, jikalau seorang kafir harbi tersebut sampai meyakini bahwa orang Muslim itu telah menjamin keselamatannya dan mengucapkan hal itu kepadanya, maka jadilah dia seorang yang mendapat jaminan keamanan (musfa'man). Nabi telah bersabda dalam hadits yang telah diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Hamq: "Barangsiapa yang memberikan jaminan keamanan kepada seseorang atas nyawa dan hartanya, lalu dia membunuh orang tersebut, maka aku berlepas diri darinya, meskipun orang yang terbunuh itu adalah orang kafir." (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Majah) .Musnad Ahmad, (5/223, 224); dan isnad hadits ini shahih

Dan Sulaiman bin Shard dari Nabi , beliau telah bersabda: "Jika seseorang telah mempercayakan keselamatan nyawanya kepadamu, maka janganlah kamu membunuhnya." (HR. Ibnu Majah). Ibnu Majah dalam kitab pembahasan diyat, hadits no. 2689; Musnad Imam Ahmad, (6/394); dan isnad hadits ini dha'if (lemah), akan tetapi hadits yang terdahulu menguatkan maknanya. Abu Daud dalam kitab pembahasan tentang jihad, hadits no. 2769;

Dari Abu Hurairah , dari Nabi H, beliau telah bersabda: "Iman itu sebagai pengikat kematian, (oleh karena itu) seorang yang beriman tidak akan dibunuh." (HR. Abu Daud dan yang lainnya)..Musnad Imam Ahmad, (1/167); Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir, (19/319); Imam al-Hakim dalam kitabnya al-Mustadrak, yaitu dalam kitab pembahasan tentang hudud (sanksi), (4/352); dan isnad hadits ini shahih menurut syarat Imam Muslim, dan telah disepakati oleh Imam adz-Dzahabi.

Perkataan yang telah mereka ucapkan kepada Ka'ab ini merupakan suatu jaminan keamanan, dan setidaknya itu akan menjadi syubhat keamanan baginya. Dan, yang semacam itu membuat Ka'ab tidak boleh dibunuh hanya semata-mata karena kekufurannya. Karena, keamanan tersebut bisa melindungi nyawa seorang kafir harbi dan paling tidak seorang kafir tersebut akan terjamin keselamatannya karena itu, sebagaimana itu sudah diketahui dalam beberapa hal.

Akan tetapi, alasan mereka membunuh Ka'ab di sini dikarenakan Ka ab telah mencaci maki dan menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Dan, karena bolehnya untuk membunuh Ka'ab oleh faktor inilah, maka darahnya tidak lagi terlindungi dengan adanya jaminan dan juga perjanjian. Sebagaimana jikalau seorang Muslim menjamin keselamatan orang yang wajib dibunuh karena telah membegal/merampok, memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan berusaha membuat kerusakan di bumi yang mengharuskan dia untuk dibunuh, atau dia menjamin orang yang wajib dibunuh karena perzinaannya, atau dia menjamin keselamatan orang yang wajib dibunuh karena kemurtadannya atau karena meninggalkan rukun-rukun Islam dan lain sebagainya. Tidak diperbolehkan baginya untuk membuat perjanjian kepadanya baik perjanjian keamanan, perdamaian, ataupun perjanjian perlindungan. Karena, membunuhnya itu merupakan salah satu had (sanksi), dan bukanlah membunuhnya itu semata-mata karena dia seorang kafir atau harbi, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.


Syubhat yang Gugur Berkaitan dengan Pembunuhan Ibnu al-Asyraf

Telah dimunculkan kepada sebagian kalangan orang bodoh sebuah syubhat berkaitan dengan pembunuhan Ibnu al-Asyraf ini, lalu dia menduga bahwa darah yang semacam ini akan dijaga oleh perjanjian/perlindungan yang terdahulu atau dengan jaminan keamanan secara zahir. Hal itu seperti halnya syubhat yang telah dihadapkan kepada sebagian kalangan ahli fiqih, sehingga dia juga menduga bahwa sumpah janji itu tidak bisa rusak karena hal tersebut. Maka, Ibnu Wahab telah meriwayatkan dengan sanadnya dari 'Ibayah yang berkata, "Pembunuhan terhadap Ibnu al-Asyraf ini telah disampaikan di hadapan Mua'awiyah, lalu Ibnu Yamin berkata, "Pembunuhan ini adalah pengkhianatan!" Lalu Muhammad bin Maslamah berkata, "Wahai Mu'awiyah, apakah dia mengkhianati Rasulullah di hadapanmu, lalu kamu tidak mengingkari?! Demi Allah, selamanya tidak ada atap yang akan melindungiku dan dirimu, dan mereka pun tidak bakhil kepadaku atas darah orang ini, melainkan aku telah membunuhnya."

Dalil Kedua:
Kisah Abu 'Afak al-Yahudi (kakek tua berumur 120 thn)

Sungguh, al-Waqidi telah meriwayatkan bahwa seorang syaikh (orang yang sudah tua) dari Bani 'Amr bin 'Auf yang disebut Abu 'Afak, dan dia adalah seorang syaikh (orang yang sudah tua) yang sudah berusia 120 tahun sewaktu Nabi datang di Madinah pemah memprovokasi orang-orang untuk memusuhi Nabi , dan dia tidak pemah masuk ke dalam agama Islam. Ketika Nabi keluar ke medan Badar dan Allah telah memberinya keberuntungan atas kemenangan yang dicapainya, maka dia merasa iri dan benci kepada Nabi, sehingga dia pun melantunkan sebuah qasidah yang mengandung unsur celaan kepada Nabi dan juga terhadap para pengikut beliau. Dia mengucapkan, "Maka, seorang penunggang (kuda) itu merampas harta mereka, baik yang haram maupun yang halal untuk mereka sekalian."

Salim bin 'Umair berkata, "Aku bemadzar akan membunuh Abu 'Afak atau malah akulah yang akan mati." Maka, dia pun sabar menunggu kesempatan dan mencari kelengahan Abu 'Afak hingga akhimya tiba suatu malam yang panas (gerah). Kala itu, Abu 'Afak tidur di serambi rumah dari Bani 'Amr bin 'Auf pada musim kemarau lalu datanglah Salim bin 'Umair. Maka, Salim pun menusukkan pedang ke arah perut/hati Abu 'Afak hingga pedang tersebut menembus/menancap di alas tikamya, dan musuh Allah itu pun seketika menjerit /menyeringai. Lalu, orang-orang yang termasuk dalam ucapannya tersebut mengerumuninya, lalu mereka memasukkan tubuhnya ke dalam rumahnya dan menguburkannya. Mereka bertanya, "Siapakah yang telah membunuhnya? Demi Allah, seandainya kami mengetahui pembunuhnya, niscaya kami pasti telah membunuhnya!"

Hal ini juga telah dituturkan oleh Muhammad bin Sa'ad, yaitu bahwa Abu 'Afak adalah seorang Yahudi. Dan, sungguh kami telah menyebutkan bahwa kaum Yahudi di Madinah semuanya telah berjanji kepada Rasulullah , dan manakala seorang dari mereka ada yang mencerca dan menunjukkan celaan terhadap Nabi, maka dia harus dibunuh. Dalam kisah ini terdapat petunjuk yang jelas bahwa seorang kafir mu'ahid jika dia menampakkan caciannya, berarti dia sudah merusak sumpah janjinya dan boleh dibunuh melalui tipu muslihat. Hanya saja, pendapat ini berasal dari riwayat para ulama di bidang peperangan. Dan, tanpa diragukan lagi, hal ini sah-sah saja bila dijadikan sebagai penguat di sini.

Dalil Ketiga:
Hadits Anas bin Zanim ad-Daili

Hadits ini sangat populer menurut kalangan ahli sejarah (sirah), dan telah disebutkan oleh Ibnu Ishaq, al-Waqidi, dan yang lainnya. Al-Waqidi sungguh telah meriwayatkan dari Mihjan bin Wahab yang berkata, "Puncak permusuhan antara Khuza'ah dan Kinanah, adalah bahwa Anas bin Zanim ad-Dailami telah mencerca Rasulullah, dan ternyata hal itu didengar oleh seorang pemuda dari kubu Khuza'ah. Seketika, pemuda itu pun menimpuknya dan melukainya. Lalu Anas pun bergegas kepada kaumnya dan memperlihatkan lukanya itu. Sehingga dari situ, berkobarlah pertikaian beserta apa yang sudah terjadi di antara mereka sebelumnya dan juga tuntutan kematian oleh Bani Bakar terhadap pihak Khuza'ah.

Al-Waqidi berkata: Haram bin Hisyam bin Khalid al-Ka'bi telah menyampaikan hadits kepadaku dari bapaknya yang berkata, '"Amr bin Salim al-Khuza'i telah keluar bersama 40 orang penunggang dari kubu Khuza'ah untuk meminta pertolongan kepada Rasulullah dan mengabarkan kepada beliau atas apa yang telah menimpa mereka." Al-Waqidi berkata: Ketika rombongan tersebut telah sampai, mereka pun berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas bin Zanim ad-Daili telah mencerca engkau." Maka, seketika Rasulullah pun menghalalkan darahnya. Hal itu terdengar oleh Anas bin Zanim ad-Daili, maka dia pun datang untuk meminta maaf kepada Rasulullah atas apa yang telah diucapkannya terhadap Nabi, lalu dia pun melantunkan qasidah yang berisi pujian terhadap diri Rasulullah , dan telah diucapkan oleh Naufal bin Muawiyah sewaktu meminta maaf kepada beliau, sehingga beliau pun memaafkannya.

Dalil petunjuknya, adalah bahwa Nabi telah melakukan perjanjian damai dengan kaum Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah selama sepuluh tahun, dan Bani Khuza'ah termasuk di dalam perjanjiannya itu. Adapun kebanyakan mereka adalah kaum Muslimin, dan mereka adalah pemberi kabar bagi Rasulullah , baik orang Islam maupun orang kafir. Sedangkan Bani Bakar termasuk di dalam janji kaum Quraisy. Sehingga, semua orang-orang ini terlibat dalam perjanjian. Ini menurut riwayat yang telah mutawatir dan tidak diperselisihkan lagi oleh kalangan ulama.

Sesungguhnya seorang kafir mu'ahid ini telah mencerca Nabi menurut apa yang diceritakan darinya, lalu seorang pemuda dari Bani Khuza'ah melukainya, lalu mereka melaporkan kepada Nabi bahwa orang tersebut telah mencerca beliau. Laporan tersebut mereka maksudkan agar Nabi memerangi Bani Bakar, lalu Nabi seketika menghalalkan darah orang tersebut, dan tidak menghalalkan darah orang yang selainnya. Kalau bukan karena mereka telah mengetahui bahwa mencerca Nabi oleh seorang kafir mu'ahid itu bisa menyebabkan balasan/dendam beliau, maka mereka tidak akan pernah melakukan hal itu. Kemudian, Nabi pun menghalalkan darah orang tersebut karenanya, meskipun cercaan tersebut dilontarkan dalam masa perjanjian. Hal ini sebagai nosh (ketetapan) bahwa seorang kafir mu'ahid yang mencerca Nabi itu dihalalkan darahnya.

Kemudian, pada saat Anas bin Zanim datang, maka dia pun masuk Islam di dalam syairnya. Oleh karena itu, mereka pun memasukkannya ke dalam daftar sahabat Rasulullah, dan karenanya pula, dia sangat mengingkari telah mencerca Nabi , dan menampik kesaksian orang-orang tersebut bahwa mereka adalah musuh-musuhnya, mengingat di antara dua kabilah tersebut terdapat pertumpahan darah dan peperangan. Jika saja apa yang dilakukannya itu tidak sampai menghalalkan darahnya, niscaya dia tidak memerlukan sedikit pun dari semua itu. Kemudian setelah dia masuk Islam, mengungkapkan apologi (permintaan maaf)nya, menyangkal ucapan para pembawa berita dan memuji Rasulullah , dia meminta ampunan kepada Nabi atas penghalalan darahnya.

Dan, ampunan tersebut hanya terwujud dengan diperbolehkannya menimpakan sanksi (hukuman) atas dosa yang telah diperbuatnya. Dari sini bisa diketahui, bahwa Nabi semestinya berhak menjatuhkan hukuman terhadapnya sewaktu dia datang untuk menjadi seorang Muslim, akan tetapi beliau memaafkannya karena kearifan dan kemurahannya. Di dalam hadits ini disebutkan, bahwa Naufal bin Mu'awiyahlah yang menjadi mediatomya kepada Nabi. Dan, umumnya para ulama sejarah (sirah) menyebutkan, bahwa Naufal ini merupakan biangnya orang-orang yang sombong yang telah memusuhi Bani Khuza'ah dan membunuh mereka. Dan untuk tugas itu, mereka telah dibantu oleh orang-orang Quraisy. Oleh karena itulah, maka sumpah janji orang-orang Quraisy dan Bani Bakar menjadi batal/terlanggar. Kemudian, Naufal masuk Islam pada waktu sebelum peristiwa Fathu Makkah hingga dia menjadi mediator bagi orang yang telah mencerca Nabi ini.

Dari sini bisa diketahui, bahwa mencerca Nabi (melalu syair) ini lebih berat dari sekadar melanggar / membatalkan janji dengan memerangi. Mengingat jika seseorang melanggar janji dengan cara memerangi, sedangkan yang lain mencerca Nabi , lalu keduanya masuk Islam, maka orang yang memerangi tersebut dilindungi darahnya, sementara orang yaqg mencerca tersebut boleh dibalas. Oleh karena itu, pemuda ini menyertakan dosa "pencorengan kehormatan" tersebut dengan dosa "penumpahan darah atau pembunuhan". Dari sini bisa diketahui, bahwa keduanya sama-sama menyebabkan dirinya dibunuh, dan bahwa mencoreng kehormatan Nabi menurut mereka lebih besar dosanya daripada membunuh kaum Muslimin dan kafir mu'ahid.

Hal itu diperjelas bahwa Nabi tidak pernah menghalalkan darah seorang pun dari Bani Bakar yang melanggar/merusak sumpah janjinya itu sendiri. Justeru, beliau telah mempersilahkan Bani Bakar untuk membalas dendam mereka terhadap Bani Khuza'ah sewaktu Fathu Makkah, tepatnya di tengah siang belong, dan beliau juga menghalalkan darah orang ini sendiri hingga dia masuk Islam dan memohon maaf.

Hal ini mengingat perjanjian tersebut adalah perjanjian untuk damai dan gencatan senjata, bukan perjanjian jizyah (upeti) dan dzimmah (perlindungan). Dan, seorang kafir muhadin (yang terikat janji damai) yang bertempat tinggal di negerinya bisa melakukan di negerinya tersebut segala bentuk kemungkaran ucapan maupun perbuatan yang berkaitan dengan agama dan dunianya dengan sesuka hatinya.

Dan, hal itu tidak membuat sumpah janjinya batal hingga dia harus diperangi. Dari sini bisa diketahui, bahwa cercaan (dalam bentuk syair) merupakan salah satu jenis/bentuk peperangan dan bisa jadi lebih berat daripada hal itu, dan bahwa orang yang mencerca Nabi itu tidak mempunyai perlindungan keamanan.

PASAL KEEMPAT:
Halalnya Darah Seorang Kafir Harbi Karena Mencaci Maki Nabi Meskipun Dia Bertaubat

Halalnya darah seorang kafir harbi oleh karena telah mencaci maki Nabi dan adanya syariat untuk membunuhnya meskipun dia datang bertaubat setelah mampu melakukannya, berdasar pada banyak dalil dari as-Sunnah, di antaranya: Bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh sekelompok orang dikarenakan telah mencaci maki beliau, dan juga membunuh sekelompok orang lainnya dikarenakan alasan yang sama. Namun, pada satu sisi beliau menahan diri (tidak membunuh) dan membiarkan orang yang memiliki posisi/kedudukan yang sama dengan mereka, mengingat dia adalah seorang kafir harbi.

Dalil lainnya, adalah riwayat yang telah disampaikan oleh Sa'id bin al-Musayyib bahwa Nabi sewaktu peristiwa Fathu Makkah telah menyuruh untuk membunuh Ibnu az-Zaba'ri. Dan, di sini Sa'id bin al-Musayyib merupakan perawi hadits-hadits mursal yang paling baik kualitasnya, dan tidaklah menjadi masalah bila riwayat ini tidak disebut-kan oleh sebagian kalangan ulama spesialis di bidang peperangan. Hal itu mengingat mereka berselisih pendapat tentang jumlah orang yang dikecualikan dari jaminan keamanan yang diberikan Nabi waktu itu. Masing-masing mengabarkan apa yang telah diketahuinya.

Adapun orang yang menetapkan dan menyebutkan sesuatu itu menjadi hujah bagi orang yang tidak menetapkannya. Dalil petunjuk dari kisah Ibnu az-Zaba'ri ini adalah bahwa dosa yang diperbuat oleh Ibnu az-Zaba'ri bahwa dia orang yang sangat memusuhi Rasulullah dengan lisannya. Dia adalah orang yang paling hebat membuat syair. Dia pernah mencerca para penyair Islam, semisal Hassan bin Tsabit dan Ka'ab bin Malik. Adapun dosa-dosanya yang lain telah terbawa ke dalam dosanya ini. Cukup banyak orang dari kaum Quraisy yang telah terdidik di bawah asuhannya. Kemudian Ibnu az-Zaba'ri lari ke Najran, dan setelah itu dia menghadap Nabi untuk masuk Islam.

Dia mempunyai banyak syair indah/bagus berkaitan dengan tema taubat dan apologi (permintaan maaf). Lalu, Nabi pun menghalalkan darahnya karena pemah mencerca beliau (dalam syaimya), padahal waktu itu beliau telah memberi jaminan kemananan kepada seluruh penduduk kota Makkah, selain orang yang melakukan kejahatan semacam ini dan yang sejenisnya. Di antara dalil lainnya adalah kisah Abu Sufyan bin al-Harits bin Abdul Mutthalib. Hal itu, mengingat kisah tentang caci makiannya terhadap Nabi dan berpalingnya muka Nabi dari dirinya sewaktu dia datang menghadap beliau untuk masuk Islam, sudah sangat masyhur dan populer.

Ibnu Ishaq berkata: Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah bin al-Mughirah telah menemui Rasulullah di Tsaniyat al-'Uqab yang berada di antara Madinah dan Makkah. Keduanya memohon untuk menghadap beliau. Lalu, Ummu Salamah pun mengatakan kepada beliau tentang keduanya, dan berkata, "Wahai Rasulullah, mereka adalah putera pamanmu dan putera bibimu dan sekaligus iparmu." Namun, Nabi menjawab, "Aku tidak peduli terhadap mereka berdua! Adapun putera pamanku itu, dia telah merusak kehormatanku, sedangkan putera bibiku dan iparku itu, maka dialah orang yang telah mengucapkan apa yang telah diucapkannya di Makkah. ". Imam ath-Thabarani dalam kitab al-Kabir, (8/11); Imam al-Haitsami di dalam kitab Majma' az-Zawaaid (6/167) berkata: rijal atau perawi hadits ini adalah rijal yang shahih.

Ketika kabar tersebut terdengar oleh keduanya dan Abu Sufyan waktu itu ditemani oleh puteranya maka dia pun berkata, "Demi Allah, sungguh Rasulullah mengizinkanku ataukah aku akan menyeret tangan puteraku ini untuk enyah/berkelana di muka bumi ini hingga kami mati dalam keadaan dahaga atau kelaparan." Ketika Rasulullah mendengar ucapan Abu Sufyan tersebut, maka hatinya merasa miris/iba kepada keduanya, sehingga keduanya boleh menemuinya.

Lalu, Abu Sufyan menyatakan keIslamannya dan permohonan maafnya atas apa yang telah diperbuatnya terhadap Nabi di masa lampau. Dalil petunjuk dari kisah Abu Sufyan ini adalah bahwa Nabi telah menghalalkan darah Abu Sufyan bin al-Harits, bukan darah para pemuka kaum musyrikin lainnya yang sangat berandil besar dalam memerangi Nabi dengan tangan dan harta. Nabi datang ke Makkah bukan untuk menumpahkan darah atau membunuh penduduknya, melainkan untuk mengasihi mereka di bawah naungan Islam.

Dan, tidak ada sebab atau alasan yang mengkhususkan penghalalan darah Abu Sufyan itu, melainkan karena cercaannya terhadap diri Nabi . Kemudian Abu Sufyan pun datang untuk masuk Islam, namun Nabi memalingkan muka darinya. Padahal, tujuan semula Nabi adalah mempersatukan orang-orang yang berjauhan atas landasan Islam, terlebih-lebih terhadap keluarga terdekatnya. Semua itu dikarenakan Abu Sufyan telah merusak kehormatan Nabi , sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam hadits.

Di antara dalil lainnya lagi, adalah bahwa Nabi pada waktu Fathu Makkah juga telah menyuruh untuk membunuh al-Huwairits bin Naqid, dan kisah ini pun sangat populer di mata kalangan ulama sejarah (sirah). Musa bin 'Uqbah di dalam kitab Maghozi-nya mengatakan dari az-Zuhri—dan ini merupakan kitab tentang peperangan yang paling shahih—. Dia menuturkan, "Rasulullah menyuruh mereka agar menahan diri untuk tidak memerangi seorang pun kecuali orang-orang yang telah memerangi mereka. Beliau menyuruh untuk membunuh empat orang yang salah satunya adalah al-Huwairits bin Nuqaid." Konon, al-Huwairits termasuk daftar orang yang telah menyakiti Rasulullah , dan akhimya Ali bin Abu Thalib pun membunuhnya. .Lihat as-Sunan al-Kubra karya Imam al-Baihaqi, (9/121).

Dalil petunjuk dalam kisah ini adalah bahwa Nabi telah menyuruh untuk membunuh orang ini hanya karena dia telah menyakiti Nabi , meskipun waktu itu beliau telah memberi jaminan keamanan kepada penduduk Makkah yang pernah memerangi Nabi beserta para sahabatnya, dan bahkan telah melakukannya berulang-ulang kali.

Di antara dalil lainnya, adalah bahwa Nabi sewaktu pulang dari Badar untuk kembali ke Madinah, beliau membunuh Nadhar bin al-Harits dan 'Uqbah bin Abu Mu'ith, namun beliau tidak membunuh para tawanan perang Badar yang lainnya. Dan, kisah ini sudah sangat terkenal.

Al-Waqidi berkata: Rasulullah menghadap para tawanan hingga ketika mereka tiba di 'Irq adh-Dhibyah. Beliau menyuruh 'Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah untuk memenggal leher 'Uqbah bin Abu Mu'ith. Sehingga, 'Uqbah pun bertanya, "Sungguh celakalah aku, atas dasar apakah aku dibunuh di antara para tawanan yang hadir di sini, wahai kaum Quraisy?" Lalu Rasulullah pun menjawab: "... karena permusuhanmu terhadap Allah dan rasul-Nya." Dalil petunjuk yang terdapat dalam kisah Nadhar dan 'Uqbah, bahwa mencaci maki yang menyebabkan kedua orang ini dibunuh di antara seluruh tawanan perang adalah karena ucapan dan perbuatan mereka yang telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya ayat-ayat yang turun berkenaan dengan Nadhar ini sudah terkenal.

Begitu pula penyiksaan oleh Ibnu Abi Mu'ith juga sangat masyhur, baik itu melalui lisannya ataupun tangannya, yaitu semisal ketika dia menjerat dengan sangat kuat leher Nabi dengan selendangnya karena menginginkan kematian beliau, dan ketika dia melemparkan duri pohon kurma ke atas punggung Nabi , sementara beliau waktu itu sedang melakukan sujud, dan lain sebagainya.

Di antara dalil lainnya lagi, adalah perintah Nabi untuk membunuh siapa saja dari kaum Quraisy dan seluruh bangsa Arab yang telah mencercanya setelah Fathu Makkah, semisal Ka'ab bin Zuhair dan yang lainnya. Di antara kisah Ka'ab, yaitu setelah dia mendengar bahwa Nabi telah menghalalkan darahnya, dia segera menghadap Nabi untuk meminta perlindungan, bertaubat dan masuk agama Islam. Ketika itu, dia melantun-kan qasidahnya yang terkenal dengan judul, Baanat Su'aadu. Lalu, Nabi pun memaafkannya dan menerima taubatnya. Penghalalan darah Ka'ab bin Zuhair oleh Nabi atas apa yang telah diucapkannya itu, meski sebenarnya ucapan itu bukan merupakan cercaan yang mendalam, lebih dikarenakan dia telah mencerca agama Islam, mencela diri Nabi dan mencela ajaran yang diserukan oleh Rasulullah .

Sedang permohonan maaf oleh Ka'ab meskipun dia telah bertaubat sebelum mampu melakukan taubat itu dan telah datang sebagai seorang Muslim sedangkan dia adalah seorang kafir harbi adalah sebagai dalil akan kepatutan/kemestian seorang kafir harbi untuk dibunuh, meskipun dia telah masuk Islam dan datang untuk bertaubat. Di antara dalil lainnya juga, adalah kisah Abu Rafi' al-Yahudi. Dia termasuk salah seorang yang diceritakan telah dibunuh karena menyakiti Nabi. Dan, kisah orang ini sudah sangat populer di kalangan para ulama. Maka di sini, kami akan menuturkan tempat petunjuk atau Dalil dari kisah tersebut.

Dari Barra' bin 'Azib yang berkata, "Rasulullah telah mengutus beberapa pemuda dari kalangan Anshar kepada Abu Rafi' al-Yahudi. Beliau menyerahkan kepemimpinan atas mereka kepada Abdullah bin 'Atik. Ketika itu, Abu Rafi' telah menyakiti Nabi dan membantu hal itu, dan dia berada dalam suatu benteng di daerah Hijaz. Ketika para pemuda itu sudah dekat, sementara matahari telah terbenam dan orang-orang pun telah pulang dari bepergiannya, Abdullah pun berkata kepada kawan-kawannya, "Duduklah kalian di tempat kalian, karena aku akan pergi dan berlaku sopan kepada penjaga pintu agar aku bisa masuk." Setelah itu, dia pun berjalan dan mendekati pintu.

Kemudian, dia bertutup dengan pakaiannya, seakan-akan dia sedang memenuhi hajatnya. Orang-orang pun masuk pintu, lalu penjaga pintu itu pun berbisik kepadanya, "Wahai Abdullah, jika kamu ingin masuk, maka masuklah, karena aku ingin menutup pintu." Abdullah bertutur, "Maka, aku segera masuk lalu bersembunyi/menyelinap. Ketika orang-orang telah masuk, maka penjaga pintu itu pun menutup pintunya dan meng-gantungkan kunci-kuncinya pada sebuah pasak/gantungan." Abdullah bertutur, "Lalu aku pun berdiri menghampiri kunci-kunci itu, lalu meng-ambilnya dan membuka pintu.

Malam itu, Abu Rafi' sedang mengobrol/ bercengkrama dengan orang yang bersamanya, dan dia berada dalam ruangan atas. Ketika teman-teman cengkrama/ngobrolnya telah pergi, maka aku pun segera naik. Dan setiap kali aku membuka pintu, maka aku tutup Jika telah aku nadzarkan, maka mereka tidak akan selamat dariku hingga aki bisa membunuhnya. Lalu aku pun sampai kepadanya. Ternyata dia berada dalam rumah/ruangan gelap yang terletak di tengah-tengah keluarganya. Aki tidak bisa melihat di rumah/ruangan manakah dia berada. Aku pun bersuare "Wahai Abu Rafi'." Dia pun menyahut, "Siapa ini?" Lalu aku segera turun mendatangi arah suara itu, dan langsung menebaskan pedang ke arahnya; dengan sekali tebasan. Aku sangat takut dan tidak mempunyai seorang penolong pun. Seketika itu Abu Rafi' pun menjerit.

Lalu aku keluar dai rumah/ruangan itu dan berdiri tidak jauh darinya. Kemudian aku kembal kepadanya dan berkata, "Apakah teriakan ini, wahai Abu Rafi?" Di; berkata, "Sungguh celaka, seorang lelaki di dalam rumah/ruangan telal menebaskan pedang kepadaku tadi." Abdullah bertutur, "Lalu aku menebas kan pedang ke arahnya lagi dengan tebasan yang bisa membunuhnya. Namun, temyata aku belum mampu membunuhnya. Kemudian aku menusukkan mata pedang ke arah perutnya hingga menembus punggung nya, sehingga aku pun tahu bahwa aku telah membunuhnya.

Lalu, aku membuka pintu-pintu tersebut satu per satu hingga sampai pada tangga. Lalu aku langkahkan kakiku dan temyata aku telah sampai di tanah/lantai dasar Namun, aku terjatuh dalam malam yang diterangi oleh cahaya bulan itu hingga betisku retak/patah, dan aku pun membalutnya dengan sorban Kemudian aku pergi untuk kemudian duduk di depan pintu. Aku katakah: Aku tidak akan keluar malam ini hingga aku mengetahui benar apakah aku telah membunuhnya atau belum? Ketika ayam jantan telah berkokok, seseorang yang meratapi kematian Abu Rafi' berdiri di atas pagar dan aerkata, "Seorang pedagang dari penduduk Hijaz meratapi Abu Rafi'."

Lalu aku pergi menghampiri kawan-kawanku dan aku katakan, "Suatu keberhasilan, sungguh Allah telah membunuh Abu Rafi'." Lalu aku sampai ke hadapan Nabi dan menceritakan semuanya kepada beliau. Kemudian beliau berkata, "Rentangkan kakimu." Lalu, aku pun merentang-tan kakiku, dan Nabi pun mengusapnya, dan seolah-olah aku tidak jemah mengeluhkannya," (HR. Imam al-Bukhari di dalam Shahih-nya).. Lihat Fathul Ban dalam kitab pembahasan tentang peperangan, (71395, 396, hadits no. 4039).

Dalil petunjuk dari kisah Abu Rafi': Sungguh, telah terlihat jelas dalam usah ini, bahwa kaum Muslimin atas seizin Nabi telah secara sembunyi-sembunyi membunuhnya dikarenakan dia telah menyakiti dan memusuhi, dan bahwa dia seperti Ibnu al-Asyraf, hanya saja Ibnu al-Asyraf adalah seorang kafir mu'ahid. Lalu, Abu Raff menyakiti Nabi ljg dan Rasul Nya. Sehingga, Nabi pun menyuruh kaum Muslimin untuk membunuh-nya, dan dia bukanlah seorang kafir mu'ahid.

Di antara dalil lainnya adalah riwayat yang menyatakan bahwa Nabi pemah keluar untuk membunuh orang yang mencercanya (melalui syair) dan bersabda, "Siapakah yang mau membelaku terhadap musuhku?" Al-Umawi di dalam kitab Maghazi-Nya telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki dari kaum musyrikin telah mencela Rasulullah , lalu Rasulullah pun bersabda, "Siapakah yang mau me/indungilcu terhadap musuhku?". Lihat Mushannaf Abdurrazzaq, hadits no. 9477, 9704. Telah disebutkan takhrijnya. Derajat hadits ini dhaif.

Maka, Zubair bin 'Awam berdiri dan berkata, "Aku." Lalu Zubair membunuh lelaki itu, dan Rasulullah pun memberi harta rampasan dari lelaki itu kepada Zubair, dan saya menduga itu hanya terjadi pada perang Khaibar sewaktu Yasir terbunuh. Dan, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa seorang lelaki telah mencaci maki Nabi , lalu beliau pun bersabda, "Siapakcah yang mau membelaku terhadap musuhku." Lalu Khalid berkata, "Aku." Lalu Nabi pun mengirimnya kepada lelaki itu, hingga Khalid membunuhnya.

Di antara dalil lainnya adalah bahwa para sahabat Nabi jika mereka mendengar ada orang yang mencaci maki dan menyakiti Nabi , maka mereka akan membunuhnya, meskipun orang itu adalah kerabatnya. Maka, Nabi pun mengakui hal itu kepada mereka dan meridhainya. Dan, terkadang orang yang melakukan hal itu disebut sebagai pembela Allah dan Rasul-Nya. Abu Ishaq al-Fazari di dalam kitabnya yang terkenal tentang sirah (sejarah) telah meriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri, dari Isma'il bin Sami', dari Malik bin 'Umair yang berkata, "Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah dan berkata, "Sesungguhnya aku bertemu ayahku di antara kaum musyrikin, lalu aku mendengar darinya ucapan kotor yang ditujukan kepadamu. Maka, aku pun tidak sabar untuk menusuknya dengan tombak dan membunuhnya.

Abu Ishaq al-Fazari di dalam kitab yang sama juga telah meriwayatkan dari al-Auza'i, dari Hassan bin 'Athiyah yang berkata: Rasulullah H telah mengutus satu pasukan yang di di dalamnya terdapat Abdullah bin Rawahah dan Jabir. Ketika mereka telah berhadapan dengan kaum musyrikin, maka terdapat seseorang dari kaum musyrikin yang mencaci maki Rasulullah . Lalu, seseorang dari kaum Muslimin berdiri dan berkata, "Aku adalah fulan bin fulan, dan ibuku adalah fulanah, maka caci makilah aku dan ibuku, dan janganlah kamu mencaci maki Rasulullah " Namun, hal itu malah menambah permusuhan si pencaci maki itu.

Lalu dia pun mengulangi kata-katanya itu, dan begitu pula lelaki musyrik itu pun mengulangi tindakannya. Lalu pada ucapan yang ketiga kalinya lelaki Muslim itu berkata, "Jikalau kamu ulangi lagi, niscaya akan aku serang kamu dengan pedangku." Lalu temyata lelaki musyrik itu mengulangi tindakannya itu, sehingga lelaki Muslim itu pun menyerangnya. Namun, lelaki musyrik itu kabur/lari, dan lelaki Muslim itu pun mengejarnya hingga dia merobek/membelah barisan kaum musyrikin, lalu menebas lelaki musyrik itu dengan pedangnya, dan akibatnya kaum musyrikin pun mengepungnya dan membunuhnya. Pada saat itu, Rasulullah bersabda, "Apakah kalian terkesima dari lelaki yang telah membela Allah dan Rasul-Nya ini?" Kemudian, lelaki musyrik itu pun sembuh dari lukanya, untuk kemudian masuk Islam. Konon, lelaki itu bemama ar-Rahil. Kisah ini juga telah diriwayatkan oleh al-Umawi di dalam kitab Maghazi-nya persis seperti ini.

Semua hadits-hadits ini menunjukkan bahwa orang yang telah mencaci maki dan menyakiti Nabi dari kalangan kaum kafir, itu dikehendaki kematiannya oleh Nabi dan diperintahkan untuk dibunuh karena tindakannya itu. Begitu pula, para sahabatnya juga akan melakukan hal yang sama. Namun, pada sisi yang lain beliau membiarkan orang lain yang sepertinya, meskipun sebenarnya orang itu adalah seorang kafir yang tidak terikat perjanjian. Bahkan, beliau malah memberi jaminan keamanan bagi orang-orang tersebut dan berbuat baik kepada mereka tanpa suatu perjanjian antara beliau dengan mereka sama sekali. Kewajiban Membunuh Seorang Pencaci Maki Nabi dengan Memberi Maaf Kepada Pelaku Kekufuran yang Sejenisnya, Itu Sudah Terpatri dalam Sanubari Para Sahabat.

Sunnah Rasulullah yang telah kita sampaikan ini yang berkaitan dengan kewajiban membunuh orang yang telah mencaci maki beliau dari kalangan kaum musyrikin, serta pemberian maaf kepada pelaku kekufuran yang sejenisnya, sudah terpatri dalam hati sanubari para sahabat pada masa Nabi . Mereka menghendaki pencaci maki itu dibunuh dan menganjurkan hal itu, meskipun mereka tidak melakukan itu terhadap yang lainnya. Mereka juga menjadikan hal itu sebagai faktor yang menyebabkan pelakunya harus dibunuh, dan mempertaruhkan jiwanya untuk itu. Dalam hal ini telah disebutkan beberapa hadits; di antaranya, adalah:

• Hadits tentang seseorang yang mengatakan, "... Caci makilah aku dan ibuku, dan janganlah itu kamu lakukan terhadap Rasulullah ." Kemudian dia pun menyerang pelakunya hingga dia sendiri terbunuh.

• Hadits tentang seorang yang telah membunuh bapaknya sewaktu dia mendengar bapaknya mencaci maki Nabi .

• Hadits tentang seseorang dari kaum Anshar yang telah bemadzar untuk membunuh al-Ashma', lalu dia pun membunuhnya.

• Hadits tentang seseorang yang telah bernadzar untuk membunuh Ibnu Abi Sarah, dan Nabi menahan diri untuk memba'iatnya hingga dia memenuhi nadzarnya.

• Dan riwayat yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abdurrahman bin Auf tentang kemauan keras dua orang pemuda Anshar yang ingin membunuh Abu Jahal pada waktu perang Badar, dikarenakan dia telah mencaci maki Rasulullah . Kisah ini sudah sangat populer, yaitu tentang kegembiraan Nabi t akan kematian Abu Jahal dan sujudnya beliau karena syukur.

Beliau bersabda, "Orang ini adalah fir'aunnya umat ini.".Musnad Imam Ahmad, (1/444); Imam ath-Thabarani dalam al-Kabir, (9/82, 83); Kisah pembunuhan Itu termuat dalam Shahih Bukhari dan Muslim; dan lihat Gath al-Bari, (7/293).

Hal ini terlepas adanya larangan beliau untuk membunuh Abu al-Bukhturi Ibnu Hisyam, padahal dia adalah seorang kafir yang tidak punya ikatan perjanjian, mengingat Ibnu Hisyam telah menghindari perbuatan itu dan malah berbuat baik dengan berusaha merusak lembar kezaliman. Dan juga Nabi telah berkata, "Seandainya Muth'im bin 'Adi masih hidup, kemudian dia berkata kepadaku tentang para tawanan ini, niscaya aku bebaskan mereka semua untuknya." Beliau memberi hadiah kepada Muth'im karena telah memberi sewaan kepadanya sewaktu berada di Makkah, dan Muth'im bukanlah seorang yang terikat perjanjian. Dari sini bisa diketahui, bahwa seorang yang menyakiti Nabi wajib dibunuh dan dibalas. Berbeda dengan orang yang menjauhi hal itu, meskipun mereka berdua sama-sama orang kafir. Sebagaimana Nabi *jg malah memberi hadiah kepada orang yang berbuat baik kepadanya karena kebaikannya itu, meskipun dia adalah seorang kafir.

Balasan Allah untuk Nabi-Nya Terhadap Orang-Orang yang Menyakitinya, Jika Kaum Mukminin Tidak Mampu Melakukannya Di antara sunnatullah adalah bahwa jika kaum Mukminin tidak sanggup menyiksa seseorang dari golongan orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah akan membalasnya untuk Rasul-Nya dan akan menjaga beliau terhadap kejahatan orang tersebut. Sebagaimana hal itu telah kita sampaikan dalam kisah seorang penulis yang mereka-reka atas nama Nabi , dan sebagaimana Allah telah berfirman:

"Maka sampaikanlah olehmu segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu. (Al-Hijr: 94-95)

Kisah tentang pembinasaan yang dilakukan Allah terhadap satu per satu dari orang-orang yang mengejek Nabi ini sudah sangat populer, dan para ulama ahli sejarah dan tafsir telah mengisahkannya. Mereka berdasarkan apa yang telah dikisahkan adalah sejumlah orang yang merupakan pemuka-pemuka kaum Quraisy. Di antaranya adalah: al-Walid bin al-Mughirah, al-'Ash bin Wail, dua orang hitam yang merupakan putera dari Abdul Mutthalib, dan putera dari Abdu Yaghuts, serta Hants bin Qais.

Sungguh, Nabi telah menulis surat kepada Kisra dan Kaisar, dan keduanya tidak masuk Islam, akan tetapi Kaisar sangat menghormati surat Nabi tersebut dan memuliakan utusannya, sehingga tetap kokohlah kekuasaannya, sedangkan Kisra merobek-robek surat Rasulullah tersebut dan sebaliknya malah mengejek Rasulullah , sehingga tidak berselang lama Allah pun membunuhnya dan mengkoyak-koyak kekuasaannya, dan tidak tersisa sedikit pun kekuasaan bagi para Kisra. Hal ini Wallahu A'lam, merupakan pembuktian terhadap firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang membend kamu, dialah yang terputus." (al-Kautsar: 3)

Karena itu, semua orang yang membenci dan memusuhinya, maka Allah akan memutus asal pangkalnya dan menghilangkan dirinya dan jejaknya. Dan dikatakan, sesungguhnya ayat ini turun kepada al-'Ash bin Wail, atau 'Uqbah bin Abu Mu'ith, atau kepada Ka'ab bin al-Asyraf, dan sungguh Anda tclah melihat apa yang telah diperbuat oleh Allah terhadap mereka semua. Di antara ungkapan yang sudah sangat populer adalah, "Daging para ulama itu beracun." Lalu, bagaimana dengan daging para Nabi? Disebutkan dalam hadits shahih dari Anas dari Nabi, bahwa bcliau bersabda, "Allah berfirman, "Barangsiapa yang memusuhi salah seorang waliku, maka sungguh dia telah menantang Aku untuk perang. " Lalu, bagaimana dengan orang yang telah memusuhi para Nabi sendiri, dan juga orang yang memusuhi Allah.

Kewajiban Membunuh Seorang Pencaci Maki Dikarenakan Caci Makiannya, Bukan Semata-Mata Karena Kekufurannya Jika telah ditetapkan secara kuat melalui sunnah Rasulullah, sirah para sahabat dan lain sebagainya yang telah kita sebutkan di atas, bahwa seorang pencaci maki Rasulullah itu wajib dibunuh, maka di sini akan kami katakan: bahwa kewajiban untuk membunuh orang tersebut tidak lain dikarenakan dia seorang kafir harbi atau karena caci makiannya yang mengandung hal tersebut. Faktor yang pertama dinyatakan batil, karena hadits-hadits tersebut menetapkan bahwa orang tersebut tidak dibunuh hanya semata-mata karena dia seorang kafir harbi, melainkan kebanyakan hadits-hadits tersebut menetapkan bahwa faktor yang menyebabkan orang tersebut dibunuh tidak lain adalah caci makiannya itu.

Oleh karena itu, kami katakan di sini: Jika seorang kafir harbi itu wajib dibunuh karena dia telah mencaci maki Rasulullah, maka tentunya seorang Muslim dan kafir dzimmi juga demikian. Karena, faktor yang menyebabkannya dibunuh adalah caci makiannya tersebut, bukan semata-mata karena kekufuran dan permusuhannya terhadap Nabi, seperti yang telah dijelaskan. Maka, di mana saja faktor ini berada, maka di situ pula terdapat kewajiban untuk membunuh. Hal itu mengingat kekufuran hanya menghalalkan darah, tidak menyebabkan pembunuhan terhadap seorang kafir dalam kondisi apa pun. Sehingga, pada waktu itu, boleh baginya mendapatkan keamanan, melakukan perjanjian damai dengannya, memberi hadiah kepadanya dan membayar tebusannya. Akan tetapi, jika seorang kafir itu memiliki janji yang melindungi darahnya yang telah dihalalkan oleh kekufurannya itu, maka hal ini sebagai perbedaan antara seorang kafir harbi dan dzimmi. Adapun faktor-faktor lainnya yang menyebabkan dia dibunuh, maka hal itu tidak termasuk dalam hukum perjanjian ini.

Telah nyata melalui as-Sunnah bahwa Nabi pernah menyuruh untuk membunuh seorang yang mencaci maki beliau hanya semata-mata karena caci makiannya itu, bukan karena kekufuran yang tidak punya ikatan perjanjian dengannya. Jika telah didapati caci makian ini dan caci makian itu merupakan penyebab si pelakunya dibunuh, sedangkan pada satu sisi sumpah janji tidak bisa melindungi dari keharusan itu maka pada saat itulah dia wajib dibunuh. Hal itu juga karena kebanyakan perkara tersebut disebabkan karena dia adalah seorang kafir harbi yang mencaci maki Nabi. Adapun seorang Muslim jika dia mencaci maki Nabi maka dia menjadi seorang murtad yang mencaci maki Nabi .

Dan, membunuh seorang yang murtad itu lebih diwajibkan daripada membunuh seorang kafir tulen (asli). Begitu pula, seorang kafir dzimmi, jika dia mencaci maki Nabi , maka dia berubah menjadi seorang kafir yang mencaci maki Nabi setelah sumpah janjinya yang terdahulu, dan membunuh orang semacam ini lebih ditekankan lagi. Dari hadits-hadits tersebut tampak jelas bahwa seorang pencaci maki Nabi wajib dibunuh.

Karena, Nabi dalam beberapa tempat/kesempatan telah menyuruh untuk membunuh seorang pencaci maki tersebut, dan suatu perintah menuntut suatu kewajiban. Dan, Nabi tidak pernah mendengar cacian atas dirinya dari seseorang, melainkan beliau telah menghalalkan darah orang tersebut, dan begitu pula sikap para sahabatnya. Hal ini terlepas adanya kemungkinan beliau untuk memaafkannya.

Maka, jika sekiranya beliau tidak mungkin memaafkan orang tersebut, perintah membunuh seorang pencaci itu menjadi lebih kuat dan keinginan untuk itupun menjadi lebih mendesak. Dan, tindakan beliau ini merupakan salah satu bentuk jihad dan sikap keras/tegas terhadap orang-orang kafir dan munafik, di samping sebagai upaya menampakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, dan tindakan ini sebagaimana diketahui, hukum-nya adalah wajib.

Dari sini bisa diketahui, bahwa secara umum membunuh seorang yang mencaci maki Nabi hukumnya wajib. Dan sekiranya Nabi sampai memaafkannya, maka dia tidak lain adalah orang-orang yang ditakdirkan menjadi penegak agama Islam yang taat kepadanya, atau termasuk orang yang datang dalam keadaan menyerah (masuk Islam). Adapun orang-orang yang tidak mau atau tercegah untuk itu, maka Nabi tidak pemah memaafkan seorang pun dari mereka.

Tidak disangkal lagi, bahwa sebagian sahabat ada yang memberi jaminan keamanan kepada seorang dari dua biduanita (wanita penyanyi), dan sebagian mereka ada yang memberi jaminan keamanan kepada Ibnu Abi Sarh, karena kedua orang ini telah tunduk dan ingin masuk Islam dan taubat. Dan, barangsiapa yang demikian, maka sungguh Nabi telah memaafkannya, sehingga dia tidak wajib dibunuh. Jika telah nyata bahwa seorang pencaci Nabi itu wajib dibunuh, sedangkan seorang kafir harbi yang tidak pernah mencaci maki Nabi itu tidak wajib dibunuh hanya boleh saja dia dibunuh maka sudah semestinya jika perlindungan itu tidak bisa melindungi nyawa orang yang wajib dibunuh itu, dan hanya bisa melindungi nyawa orang yang boleh dibunuh saja.

Ketahuilah, bahwa seorang yang murtad itu tidak punya perlindungan, dan bahwa seorang pembegal dan pezina sewaktu mereka harus dibunuh tidak bisa dilindungi hanya karena statusnya sebagai seorang dzimmi. Begitu pula, tidak ada keistimewaan bagi seorang kafir dzimmi atas kafir harbi selain dengan ikatan janjinya itu. Dan berdasarkan dalil Ijma', ikatan janji itu tidak berarti sebagai justifikasi dia boleh mencaci maki Nabi. Dengan demikian, seorang kafir dzimmi boleh jadi telah bersekutu (bekerja sama) dengan kafir harbi dalam hal mencaci maki Nabi yang menyebabkan dia dibunuh, sementara dia tidak mengakuinya, maka wajib dia dibunuh secara paksa.

Di samping itu, Nabi juga telah menyuruh untuk membunuh orang yang telah mencaci makinya, meskipun di satu sisi beliau memberi jaminan keamanan bagi orang yang pemah memerangi dirinya dan hartanya. Dari sini bisa diketahui, bahwa seorang pencaci maki Nabi itu lebih berat ancamannya daripada ancaman karena memusuhi Nabi dan yang sejenisnya. Adapun seorang kafir dzimmi, jika dia memerangi, maka dia harus dibunuh. Maka, jika dia mencaci maki Nabi , justeru lebih layak lagi harus dibunuh. Rahasia menjadikan hadits ini sebagai dalil adalah bahwa seorang kafir dzimmi tidak dibunuh hanya semata-mata karena sumpah janjinya telah batal. Karena, pembatalan sumpah janji itu membuatnya seperti seorang kafir yang tidak punya ikatan perjanjian. Dan, telah terbukti melalui berbagai sunnah ini, bahwa Nabi tidak pemah menyuruh untuk membunuh seorang pencaci makinya itu hanya semata-mata karena dia seorang kafir yang tidak terikat perjanjian. Akan tetapi, beliau membunuhnya karena caci makiannya itu, di samping sebenamya caci makiannya itu menyebabkan bentuk kekufuran, pemnusuhan dan perlawanan. Tindakannya ini menyebabkan dia harus dibunuh di mana pun dia berada. Dan, insya Allah pembahasan tentang kewajiban membunuh orang ini akan disampaikan nanti.

Sebab-Sebab Terlindunginya Darah Sebagian Orang dari Kalangan Kaum Kafir Harbi yang Dihalalkan Darahnya Akibat Telah Mencaci Maki Nabi Di antara orang-orang yang sepatutnya dibunuh akibat mencaci maki Nabi ini, ada orang yang telah dibunuh, namun di antara mereka ada yang datang untuk masuk agama Islam dan bertaubat, sehingga darahnya pun terlindungi karena tiga faktor:

Pertama, dia telah bertaubat sebelum hukuman mati tersebut sempat dilakukan. Seorang Muslim yang wajib dikenai sanksi (had) atas dirinya, jikalau dia telah bertaubat sebelum hukuman tersebut sempat dilakukan, maka secara otomatis gugurlah hukuman tersebut. Oleh karena itu, hal ini sudah sepatutnya pula berlaku bagi seorang kafir harbi.

Kedua, Di antara budi pekerti Rasulullah adalah dengan memaafkan mereka.

Ketiga, seorang kafir harbi, jika dia telah masuk Islam, maka dia tidak dikenai hukuman atas apa yang telah dilakukannya semasa berada dalam masa Jahiliyah, baik itu berkaitan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia lainnya. Hal ini menurut sepengetahuan kami tidak ada perselisihan di antara para ulama, mengingat firman Allah : "Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, 'Jika mereka berhenti (dari kekaflrannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka yang telah lalu'." (al-Anfal: 38) Juga sabda Nabi: "Islam itu memutus/menghapus apa yang sebelumnya." (HR. Muslim) .Muslim dalam kltab pembahasan tentang Iman, (1/112); Musnad Imam Ahmad, (4/199, 204, 205); dan ath-Thabaqaat al-Kubraa, (7: 2/191). Dan juga sabda Nabi : "Barangsiapa yang berbuat baik di dalam Islam, maka dia tidak dikenai hukuman atas apa yang telah diperbuatnya semasa berada di dalam masa Jahiliyah." (Muttafaq 'Alaih) .Muslim, dalam kitab pembahasan tentang Iman, (1/111); Ibnu Majah dalam kitab pembahasan tentang Zuhud, hadits no. 4242; dan Musnad Imam Ahmad, (1/409, 431). Lihat Fathul Bari, dalam kitab pembahasan tentang jihad, (6/39);

Karena inilah, banyak sekali orang yang telah masuk Islam. Sedangkan mereka pernah membunuh orang-orang terkcnal, namun tidak seorang pun dan mereka yang dituntut dengan hukuman mati (qishash), diyat (denda) dan kaffarat (tebusan). Di antara kasus-kasus semacam ini, adalah: Telah masuk Islam Wahsyi, sang pembunuh Hamzah; Ibn al-'Ash, sang pembunuh Ibnu Qauqal; 'Uqbah bin al-Harits, sang pembunuh Khubaib bin 'Adi, dan masih ada lagi orang yang tidak terhitung yang telah tersebut di dalam riwayat yang shahih bahiwa dia telah masuk Islam, padahal telah dikenal dengan jelas bahwa dia telah membunuh dengan tangannya sendiri salah seorang dari kaum Muslimin. Namun, meskipun demikian, Nabi tidak menimpakan kepada seorang pun dari mereka hukuman mati (qishash).

Bahkan, beliau malah bersabda: "Allah tertawa kepada dua orang yang salah satunya akan membunuh teman yang lainnya, namun keduanya sama-sama masuk surga. Orang yang satunya ini mati terbunuh fi sabilillah, sehingga Allah pun memasukkannya ke dalam surga. Kemudian, Allah akan mengampuni dosa si pembunuh, lalu dia masuk Islam dan mati terbunuh fi sabilillah, sehingga dia pun akan masuk surga." (Muttafaq 'Alaih).Muslim dalam kitab pembahasan tentang kepemerintahan (imarah), (3/1504); dan Musnad Imam Ahmad, (2/464).

Begitu pula, Nabi tidak pemah membebankan kepada seorang pun dari mereka tanggungan harta milik kaum Muslimin yang telah dirusaknya, juga tidak pemah menegakkan kepada seorang pun sanksi (had) atas pcrbuatan zina, pencurian, meminum minuman keras, atau sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), baik dia masuk Islam sebelum ataupun sesudah menjadi tawanan perang. Hal ini merupakan masalah yang sepengetahuan kami tidak pemah ada perselisihan di antara kaum Muslimin, baik dalam riwayat maupun di dalam fatwa. Bahkan, jika seorang kafir harbi masuk Islam sementara di tangannya terdapat harta orang Islam yang pemah diambilnya dari tangan kaum Muslimin dengan cara rampasan atau yang semisalnya yaitu dari harta yang tidak boleh dimiliki oleh siapa pun dari orang Islam mengingat harta tersebut diharamkan di dalam agama Islam maka harta tersebut menjadi hak miliknya, dan tidak perlu dipulangkan kepada orang Islam yang pernah memilikinya, menurut pendapat jumhur ulama dari kalangan tabi'in dan generasi setelahnya.

Pendapat ini sebagai makna/tafsiran yang berasal dari Khulafaur Rasyidin, dan juga merupakan mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, ketetapan dari pendapat Imam Ahmad serta pendapat mayoritas pengikut-nya. Hal itu berdasarkan bahwa Islam atau ikatan janji telah menetapkan harta yang ada di tangannya yang diyakininya sebagai hak miliknya itu.

Karena, harta tersebut telah keluar dari pemiliknya yang Muslim yang telah menyerahkannya fi sabilillah dan mengharapkan pahala dari sisi Allah , dan harta tersebut menjadi halal bagi si perampas harta tersebut (disebabkan) Allah telah mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya berkaitan dengan darah/nyawa dan harta kaum Muslimin dengan masuknya dia ke dalam agama Islam. Maka, Nabi tidak membebankan kepadanya untuk mengembalikan harta tersebut kepada sang pemiliknya, sebagaimana beliau tidak pernah membebankan kepadanya nyawa dan harta yang telah dirusaknya.

Dia juga tidak usah mengqadha atau mengganti semua ibadah yang telah ditinggalkannya, karena semua itu telah ikut kepada keyakinan yang dulu. Ketika dia berhenti dari keyakinan tersebut, maka terampunilah dosa-dosa yang menyertainya. Sehingga, harta yang ada di tangannya itu tidak dibebankan kepadanya. Maka, harta itu pun tidak diambil darinya, seperti halnya semua yang ada di tangannya berupa akad-akad atau transaksi-transaksi rusak yang pernah dihalalkannya, semisal riba dan yang lainnya.

Jika seorang musyrik dari kalangan kafir harbi tidak dituntut—karena kelslamannya ituatas apa yang telah diperbuatnya terhadap darah/nyawa dan harta kaum Muslimin serta hak-hak Allah, dan juga tidak diminta semua yang ada di tangannya, berupa hcirta-harta yang pemah dirampasnya dari tangan mereka, maka tentunya dia juga tidak dijatuhi hukuman atas caci makian dan yang lainnya yang telah dilakukan di masa lampau. Kesemuanya ini merupakan bentuk ampunan terhadap orang-orang semacam ini.

PEMBAHASAN KETIGA
Ijma' Sahabat dan Tabiin atas Kekafiran dan Hukuman Mati bagi Pencaci Maki Nabi

Terdapat kesepakatan (ijma') sahabat tentang hukum caci maki yang membatalkan keimanan dan hak perlindungan bagi pelakunya, serta mewajibkan hukuman mati. Kesepakatan ini dikutip dari berbagai kasus yang tersebar dan teijadi semisalnya, tidak ada seorang pun sahabat yang meng-ingkarinya, sehingga kesimpulan hukumnya menjadi Ijma' (kesepakatan). Di antara kutipan tersebut adalah:

• Seperti disebutkan Saif bin Umar at-Tamimi dalam kitabnya ar-Riddah wa al-Futuh yang dikutip dari beberapa gurunya, mengatakan: cerita berikut dihubungkan kepada Muhajir bin Abi Umaiyyah, seorang Gubemur Yamamah, yang di kedua sisinya ada dua orang biduanita, yang salah satunya menyanyi dengan mencaci maki Rasulullah sehingga Gubemur memotong tangannya dan mencabut gigi taringnya. Sedangkan biduanita yang satunya menyanyi dengan mencaci maki kaum Muslimin. Kemudian Abu Bakar menulis surat kepadanya: Aku dengar apa yang engkau lakukan atas wanita yang menyanyi dan mencaci maki Rasulullah andaikan engkau tidak mendahuluiku (dengan keputusanmu), maka aku pasti akan memerintahkan untuk membunuhnya. Karena, hukuman atas pelanggaran terhadap hak para Nabi, tidak seperti hukuman untuk pelanggaran lainnya. Maka, barangsiapa dari seorang Muslim yang meringankan hukumannya, maka ia dianggap murtad, dan jika ia orang kafir yang meminta perlindungan (mu'ahid) maka ia disebut kafir muharib yang berkhianat.

Pada pernyataan di atas secara tegas menunjukkan diwajibkannya hukuman mati bagi orang yang mencaci maki Rasulullah , baik seorang Muslim atau mu'ahid (orang kafir yang mendapat perlindungan jiwa karena kesepakatan yang ia lakukan bersama kaum Muslimin), meskipun ia perempuan. Dan pelakunya wajib dibunuh tanpa diminta untuk taubat terlebih dahulu. Sangat berbeda dengan orang yang mencaci maki manusia biasa. Hukuman mati baginya adalah hukuman yang menjadi hak para Nabi, sebagaimana hukuman cambuk untuk orang yang mencaci maki selain mereka adalah hukuman yang menjadi haknya sendiri.

Namun, alasan Abu Bakar tidak memerintahkan untuk membunuh wanita tersebut karena Muhajir (sebagai Gubernur) telah terlebih dahulu memberikan hukuman baginya atas dasar Ijtihad yang dilakukan oleh Muhajir, sehingga Abu Bakar tidak menginginkan bertumpuknya dua hukuman. Mungkin saja wanita itu masuk Islam atau taubat dan Muhajir menerima taubatnya sebelum surat yang dia terima dari Abu Bakar, dan menjadi bagian ijtihad yang dilakukan lebih awal menjadi sebuah hukum. Maka, beliau tidak berkenan meng-ubahnya. Karena, sebuah ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad. Pemyataan Abu Bakar ini menunjukkan bahwa hal yang menghalangi dijatuhkannya hukuman mati atas wanita tersebut adalah keputusan Muhajir yang jatuh lebih dahulu.

• Termasuk riwayat yang menunjukkan adanya Ijma', seperti diungkapkan oleh Harb dalam Mosail-nya dari Laits bin Abi Sulaim, dari Mujahid berkata: Umar membawa seorang pemuda yang mencaci maki Rasulullah lalu beliau membunuhnya, kemudian beliau mengatakan: "Siapa saja yang mencaci maki Allah, atau mencaci maki salah seorang dari para Nabi, make bunuhlah orang itu!" Dari Abu Masja'ah bin Rubai berkata: tatkala Umar datang ke Syam, warga Konstantinopel berdiri di jalan menuju Syam. Lalu, Abu Masja'ah menyebutkan perjanjian Umar dan butir-butir yang diajukannya kepada mereka, riwayat selengkapnya: Maka, Umar berdiri di hadapan massa, seraya memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, kemudian beliau berkata: Segala puji hanya milik Allah, aku memuji dan meminta pertolongan-Nya. Siapa saja yang Allah berikan petunjuk, maka Dia tidak akan menyesat-kannya, dan siapa saja yang Allah sesatkan, maka Dia tidaklah menjadi petunjuk untuknya. Tiba-tiba ada seorang pendeta menyela, "Sesungguhnya Allah tidak menyesatkan siapa pun!" Umar berkata, "Sesungguhnya kami tidak memberikan perjanjian kepada kalian agar engkau masuk ke agama kami. Dan, demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, jika engkau ulangi, maka aku pasti akan memenggal kepalamu!"

Inilah Umar. Di hadapan sahabat Muhajirin dan Anshar mengatakan kepada orang-orang yang menandatangani perjanjian dengannya, Sesungguhnya kami tidak memberikan perjanjian agar engkau masuk ke agama kami. Dan beliau bersumpah jika ia mengulangi perbuatannya, maka beliau akan memenggal kepalanya. Maka dari sini diketahui adanya Ijma' (kesepakatan) sahabat tentang penduduk yang melakukan perjanjian kesepahamari dengan kaum Muslimin agar mereka tidak menampakkan pertentangan mereka terhadap agama kita, karena hal itu menghalalkan darah mereka, dan bentuk pertentangan yang paling besar adalah mencaci maki Nabi kita . Ini adalah hal yang sangat jelas bagi mereka.

Namun, sesungguhnya alasan Umar tidak membunuhnya karena bagi pendeta tersebut belum sepenuhnya mengerti bahwa pernyataannya adalah bagian dari cacian terhadap agama kita. Di samping adanya kemungkinan bahwa ia menyakini hukum yang dikeluarkan oleh Umar berasal dari ijtihadnya sendiri. Maka, tatkala Umar mendekatinya dan menjelaskan kepadanya bahwa ini adalah agama kami, Umar mengatakan, "Jika engkau ulangi sekali lagi, aku pasti akan membunuhmu!"

• Termasuk dalam pembahasan ini, seperti alasan Imam Ahmad, yang beliau riwayatkan dari Ibnu Umar, berkata: Suatu hari di hadapan Ibnu Umar, lewatlah seorang pendeta. Kemudian, beliau diberitahu bahwa pendeta ini sering mencaci maki Rasulullah . Maka, beliau berkata, "Seandainya aku mendengarnya, maka aku pasti akan membunuhnya. Sesungguhnya kita tidak memberi mereka perlindungan untuk mencaci maki Nabi kita ." Riwayat-riwayat yang menyebutkan peristiwa ini semuanya memuat redaksi hukum bagi seorang dzimmi dan dzimmiyah (orang kafir yang meminta perlindungan kepada kedaulatan Islam), dan sebagian riwayat mencakup orang kafir dan Muslim secara umum, atau bahkan sebagiannya mengandung arti kedua-duanya.

• Kisah seorang pemuda yang dibunuh oleh Umar dengan tanpa diminta untuk bertaubat terlebih dahulu, ketika ia menolak untuk rela dengan keputusan hukum Nabi serta peristiwa dibukanya kepala Shabigh bin 'Asal olehnya dan perkatannya, "Jika aku melihatmu mencukur rambut, aku pasti akan memenggal kepalamu," dengan tanpa memintanya bertaubat, sedangkan kesalahan kaumnya adalah berpaling dari Sunnah Rasulullah .

• Dari Ibnu Abbas , dalam penafsirannya atas firman Allah: "Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat...." Beliau mengatakan, ayat tersebut tentang Aisyah dan istri-istri Nabi . Secara khusus tidak ada taubat bagi penuduh, sementara bagi orang yang menuduh wanita beriman (yang lain), Allah menjadikan baginya untuk bertaubat. Beliau mengatakan: Ayat ini turun tentang Aisyah secara khusus, sedangkan laknat untuk kaum munafik secara umum. Ini dapat dimengerti karena menuduh Aisyah atas perbuatan seperti itu sama halnya dengan menyakiti Rasulullah dan berbuat munafik, sedangkan seorang munafik wajib dibunuh tatkala tidak diterima taubatnya.

• Imam Ahmad meriwayatkan dengan silsilah sanadnya bahwa seorang wanita mencaci maki Rasulullah . Maka, Khalid bin Walid membunuhnya. Dan, wanita ini tidak dikenal dalam riwayat-riwayatnya.

• Kisah Muhammad bin Maslamah bersama dengan Ibnu Yamin yang mengaku telah membunuh Ka'ab bin al-Asyraf yang dikenal sebagai pengkhianat. Muhammad bin Maslamah bersumpah jika ia bertemu dengannya sendirian, ia pasti akan membunuhnya, karena ia menuduh Rasulullah sebagai penghianat, dan kaum Muslimin tidak ada satupun yang mengingkari perbuatan Muhammad bin Maslamah. Pemuda (Ka'ab) tersebut adalah seorang Muslim, karena pada saat itu tidak ada seorangpun penduduk Madinah yang bukan Muslim. Dalam pemuatan argumen atas kisah ini, tidak disebutkan pelarangan penguasa pada saat itu terhadap pembunuhan atas orang tersebut.

Sedangkan sikap diamnya tidak berarti ia menyalahi Muhammad bin Maslamah atas pemyataannya. Mungkin saja ia (sebagai penguasa) tidak sempat melihat hukum atas orang tersebut, atau sudah melakukan kajian hukum namun tidak menemukan kesimpulan yang tepat. Atau, ia mengira bahwa orang tersebut mengatakan demikian karena keyakinan bahwa ia membunuh karena perintah Rasul, atau karena sebab-sebab yang lain.

• Disebutkan oleh Ibnul Mubarak, bahwa Ghirfah bin Harits al-Kindi seorang sahabat Rasul mendengar seorang Nashrani yang mengumpat Rasulullah. Maka, beliau memukulnya hingga hidungnya terluka, kemudian ia mengadu kepada Amr bin Ash, lalu beliau berkata, "Kita sudah memberikan perjanjian damai kepada mereka." Maka, Ghirfah berkata, "Aku berlindung kepada Allah, jika kita memberikan perlindungan supaya mereka menampakkan umpatan terhadap Rasulullah . Akan tetapi, sesungguhnya kita memberikan perjanjian kepada mereka agar kita memberikan mereka kelonggaran menuju gereja-gereja mereka, agar mereka dapat mengerjakan apa yang layaknya mereka kerjakan, dan kita tidak memaksakan mereka pada sesuatu yang tidak mereka mampu.

Dan, jika ada musuh yang mengincar mereka, maka kita memeranginya demi perlindungan mereka, dan kita membiarkan mereka dengan hukum-hukum yang mereka yakini, kecuali jika mereka rela dengan hukum kita sehingga kita memberikan putusan sesuai dengan hukum Allah dan hukum Rasulullah. Dan, jika mereka tidak mau dengan hukum kita, maka kita tidak memaksakan mereka." Maka Amr berkata, "Engkau benar!"

Amr dan Ghirfah bersepakat bahwa perjanjian (perlindungan) antara kita dengan mereka tidak menjadikan sikap diam terhadap mereka untuk mengumpat Rasul seperti sikap diam terhadap kekufuran dan pendustaan mereka. Maka, bilamana mereka menampakkan umpatan terhadap Rasul , maka mereka telah melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan darah mereka menjadi halal. Tiada lagi perjanjian perlindungan atasnya, sehingga boleh hukumnya untuk membunuh mereka.

Akan tetapi, alasan mengapa orang tersebut tidak dibunuh—Wallahu A'lam—karena belum ada bukti yang kuat, hanya apa yang didengar oleh Ghirfah. Mungkin saja Ghirfah bermaksud membunuhnya dengan pukulannya itu, namun dia tidak melanjutkannya karena belum lengkapnya bukti, karena sikap tersebut mendahului Imam (pemimpin) sedangkan Imam belum menetapkan apapun.

• Dari Khulaid, menceritakan: Ada seseorang yang mencaci maki Umar bin Abdul Aziz, kemudian Umar berkata, "Sesungguhnya ia tidak dibunuh kccuali orang yang mencaci maki Rasulullah . Namun, cambuklah ia pada kepalanya beberapa kali cambukan. Seandainya bukan karena saya mengetahui bahwa hal ini lebih baik baginya, maka pasti tidak akan saya lakukan." Diriwayatkan oleh Harb, dan diceritakan kembali oleh Imam Ahmad. Cerita ini sangat masyhur berasal dari Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dan ahli dalam bidang hadits.

Demikianlah pendapat para sahabat Rasulullah serta para tabi'in (pengikutnya setelah generasi sahabat). Tidak ada satupun sahabat atau tabi'in yang menyalahinya, akan tetapi mengakui dan menganggap baik kesimpulan tersebut.


Karena panjangnya buku ini (411 halaman), posting ini hanya sampai halaman 145 saja! Untuk halaman selebihnya anda dapat membeli dan membaca pada buku aslinya!